Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Salah Kaprah Mengatasi Sampah
5 Juni 2024 14:51 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Indra Arif Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menyusuri sepanjang jalan di Desa Burangkeng kita akan menjumpai hamparan bukit sampah yang menggunung. Hembusan angin membuat aroma bau kian menyebar ke berbagai arah. Apalagi jika hujan tiba, pemandangan jalanan becek dengan air lindi kian memperparah keadaan.
ADVERTISEMENT
Pemandangan tersebut menjadi hal lumrah bagi warga sekitar dan ratusan pemulung yang mengadu nasib setiap harinya. Puluhan truk sampah lalu-lalang membongkar muatannya, dikeruk oleh alat berat, lalu dicari sisa sampah ‘berharga’ oleh para pemulung.
Hampir 3 dekade TPA Burangkeng berdiri. Sejumlah masalah dan tantangan di lapangan kian rumit diselesaikan. Mulai dari daya tampung yang terbatas hingga tata kelola keliru yang masih mengandalkan sistem tumpukan terbuka (open dumping). Inilah salah kaprah kita yang dari tahun ke tahun belum ada itikad serius mengatasi persoalan sampah.
TPA Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi adalah tempat pembuangan akhir sampah untuk warganya yang sudah mencapai populasi lebih dari tiga juta jiwa. Diperkirakan Kabupaten Bekasi menghasilkan sampah rata-rata sekitar 2600 ton per hari. Namun, ironinya, hanya sekitar 600 ton sampah yang mampu diangkut ke TPA tersebut. Lalu, kita bertanya: Bagaimana nasib selisih sekitar 2000 ton sampah yang tidak terangkut?
ADVERTISEMENT
Jika kita telusuri beberapa wilayah pemukiman dan fasilitas umum sering dijumpai sampah bertumpukan berbungkus kresek di tempat yang seharusnya steril. Seperti jalan raya hingga tanah kosong. Perilaku-perilaku tidak bertanggung jawab tersebut membuat sampah berhari-hari membusuk menjadi biang penyakit.
Problematika sampah kian tak terarah mulai dari mana kita berbenah?
Pembenahan Tata Kelola TPA Burangkeng
Sudah puluhan tahun tata kelola TPA Burangkeng hanya dengan mengandalkan sistem open dumping atau tumpukan di lahan terbuka. Alat berat lalu lalang untuk memadatkan sampah yang tiap hari kian bertambah. Lalu tak terasa menumpuk bagai bukit-bukit tinggi yang dikhawatirkan berpotensi ‘longsor sampah’.
Tata kelola seperti ini tidaklah berkelanjutan dan hanya untuk jangka pendek. Alih-alih melakukan perluasan lahan untuk meningkatkan daya tampung, justru TPA Burangkeng dihadapkan hambatan karena lokasinya bersinggungan dengan proyek Jakarta-Cikampek 2, belum persoalan dengan payung hukum perlunya perubahan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
ADVERTISEMENT
TPA Burangkeng hanyalah ilustrasi dari sekian TPA di Indonesia yang masih konservatif dalam tata kelola nya.
Peranan pemerintah provinsi hingga pusat diharapkan dapat membantu mengatasi masalah yang sudah berkepanjangan ini. Mengingat pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi di Kabupaten Bekasi sangatlah pesat, karena industri di sini berkembang maju.
TPA Burangkeng haruslah bertransformasi menuju upaya pengelolaan sampah menggunakan teknologi tepat guna agar secara volume kian berkurang. Beberapa teknologi seperti refused derived fuel (RDF) bisa menjadi alternatif pilihan. Realisasinya bisa menggunakan skema kerja sama dengan pihak ketiga.
Pastinya aspek studi kelayakan harus ditempuh terlebih dahulu agar pandangan holistik apakah proyek ini akan berdampak baik bagi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Paradigma yang konservatif seperti mengandalkan perluasan lahan hanyalah mengulur waktu dan tidak tepat secara jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Upaya Minimisasi Sampah, Cerminkan Masyarakat Berkelanjutan
Saat ini perilaku masyarakat cenderung antropsentris. Segala bentuk aktivitasnya hanya fokus terhadap kebutuhan manusia tanpa memikirkan dampak bagi lingkungan sekitarnya.
Sejak era revolusi industri, peradaban kita berfokus bagaimana menciptakan suatu barang atau jasa dengan mengedepankan aspek teknis dan efisiensi setinggi-tingginya hingga abai bahwa lingkungan yang menopang kehidupan manusia mulai terkikis daya dukung dan daya tampungnya.
Sekarang, dunia industri menangkap peluang bahwa masyarakat membutuhkan hal yang praktis dan instan untuk mendukung berbagai jenis kebutuhannya.
Terdapat sebuah ilustrasi, urusan melepas dahaga saja, kita sudah dihadapkan pilihan ingin instan membeli air minum dalam kemasan atau sedikit repot membawa bekal minuman dengan wadah yang bisa dipakai berulang-ulang?
Sampah botol air mineral tersebut mungkin dianggap sepele, tapi data mengatakan bahwa menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menghasilkan sampah plastik sebanyak 64 juta ton per tahun. Sebesar 3,2 juta ton merupakan sampah yang terbuang ke laut. Mengerikan bukan?
ADVERTISEMENT
Masyarakat sebagai bagian sumber penghasil sampah diharapkan dapat mulai berbenah. Mengubah perilaku, memperbaiki pola pikir apa peranan yang dapat dilakukan dalam upaya meminimalisasi jumlah sampah dari setiap aktivitasnya.
Pilihan mengurangi timbulan sampah pada kegiatan sehari-hari itu mudah. Namun sulit untuk konsisten dan berkelanjutan. Inisiasi gerakan 3R (Reduce, reuse, recycle) di lingkungan rumah tangga sebenarnya berdampak agar beban lingkungan TPA kita mulai berkurang. Seperti TPA Burangkeng di atas, tak terasa hampir 3 dekade bahwa kapasitas daya tampungnya kian berkurang, sebagai akumulasi perilaku masyarakat kita yang masih abai menghasilkan sampah Gerakan-gerakan lembaga swadaya masyarakat dalam rangka upaya pengelolaan sampah terpadu patut didukung dan diperluas jangkauan manfaatnya.
Gerakan-gerakan ubah sampah menjadi ‘berkah’ beberapa sudah dilakukan.
Gerakan bank sampah, mengolah sampah plastik menjadi biji plastik untuk kebutuhan industri terkait, mengepul sampah karton dan kertas untuk kebutuhan industri, hingga pendaur ulangan sampah logam pun dapat menjadi pundi-pundi pemasukan bagi yang minat menekuninya.
ADVERTISEMENT
Gerakan-gerakan tersebut diharapkan menggema, menjadi cerminan perilaku berkelanjutan, bahkan pemerintah setempat justru harusnya memberikan insentif dan pendampingan agar masyarakat kita kian termotivasi untuk gotong-royong mengatasi persoalan sampah ini.
Menjadi masyarakat berkelanjutan ialah menjadi peradaban yang menjungjung nilai peduli. Peduli kebutuhan akan masa kini, tanpa mengabaikan kebutuhan untuk generasi yang akan datang.