Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Tradisi 100 Hari Pemerintahan Seorang Presiden
31 Januari 2025 14:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Indra Fatwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sistem pemerintahan presidensial di era modern, melahirkan sebuah tradisi atau kebiasaan yang populer dalam rangka mengukur kinerja seorang presiden pada masa jabatannya. Tradisi itu dikenal dengan istilah 100 hari pemerintahan presiden, terhitung sejak hari pengambilan sumpah jabatannya.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat adalah negara yang memperkenalkan tradisi ini dan kemudian banyak ditiru oleh negara-negara lain di dunia. Sejarah presidensialisme Amerika Serikat tecatat sejak era kepemimpinan Presiden Franklin D. Roosevelt di tahun 1933, tradisi ini mulai diterapkan dan bertahan hingga sekarang. Indikator utama yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja presiden adalah, realisasi program dan kebijakan yang bermanfaat dan berdampak luas dalam kurun waktu 100 hari. Oleh sebab itu, presiden sebelum memulai jabatannya biasanya telah menetapkan program andalan yang akan segera dieksekusi pada masa awal pemerintahannya.
Di Indonesia sendiri, kebiasaan mengevaluasi kinerja 100 hari pemerintahan presiden baru dapat terlaksana ketika keran demokrasi dibuka sederas-derasnya saat rezim orde baru berakhir. Dalam rezim orde baru yang sentralistik, presiden sangat berkuasa sehingga mustahil terjadi diskursus dan dialektika di publik dalam rangka mengawal jalannya pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dimulai dengan Presiden B.J. Habibie, yang pada awal masa pemerintahannya langsung bergerak cepat melahirkan kebijakan penyelamatan ekonomi dan politik. Hal tersebut kemudian dinilai oleh banyak kalangan berhasil mengeluarkan Indonesia dari situasi krisis pada masa awal reformasi. Tradisi ini kemudian diteruskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Megawati Soekarnoputri, hingga yang terkini pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Seiring berjalannya waktu, menjadikan 100 hari masa pemerintahan seorang presiden sebagai tolak ukur dalam menilai keberhasilan atau kegagalan suatu pemerintahan tidaklah tepat. Bahkan, pandangan ini belakangan juga muncul dari negara pencetusnya sendiri yaitu Amerika. Di samping persoalan waktu yang masih amat pendek, dampak dari suatu kebijakan yang dapat dirasakan oleh warga negara sering kali memerlukan waktu yang lebih lama. Apalagi jika kita mengingat prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang berkelanjutan, maka tidaklah mungkin hanya dalam waktu 100 hari dapat ditarik kesimpulan atas kinerja presiden.
ADVERTISEMENT
Melalui tulisan ini pula, saya ingin menyampaikan opini yang tidak populer dalam memandang 100 hari pemerintahan presiden. Bahwa seharusnya publik tidak perlu berlebihan dalam menyikapi kinerja presiden pada masa pemerintahannya yang masih seumur jagung. Terlebih lagi sampai memberikan penilaian gagal ataupun berhasil. Hal ini amatlah penting dikarenakan, agar presiden tidak terjebak dalam pembentukan kebijakan yang populis semata demi mengejar legitimasi politik yang semu dari rakyatnya.
Presiden sudah semestinya fokus pada pembentukan kebijakan yang bermanfaat dan berdampak bagi bangsa dan negara saja. Tanpa harus dipusingkan lagi oleh kepentingan untuk membangun citra yang baik di mata publik. Apabila presiden terjebak pada pembentukan kebijakan yang populis, rakyat tentu juga akan ikut menanggung kerugiannya. Berapa banyak anggaran yang digelontorkan dengan percuma, berapa banyak waktu dan momentum yang dilewatkan, serta berapa banyak energi dan perhatian politik presiden teralihkan dari kebijakan yang lebih bermanfaat. Dalam mengelola pemerintahan pula, orientasi
ADVERTISEMENT
Presiden haruslah dibangun tidak hanya untuk masa jabatannya saja, melainkan bagi keberlangsungan negara di masa yang akan datang. Maka dari itu, yang diperlukan adalah konsistensi dan ketahanan dalam mengeksekusi visi besar negara yang kemudian diturunkan menjadi visi presiden, serta dihadirkan kepada warga negara melalui program dan kebijakan presiden yang bermanfaat dan berdampak luas.
Catatan 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
Pemerintahan Prabowo-Gibran yang dilantik pada 20 Oktober 2024 telah genap berusia 100 hari pada tanggal 28 Januari 2025 kemarin. Berbagai kalangan telah memenuhi lini masa dan ruang publik dengan diskursus terkait kinerja pemerintah pada masa awal ini. Presiden Prabowo sendiri dalam sebuah kesempatan telah memberikan pernyataan sikap terkait hal tersebut. Ia mengatakan bersyukur atas penilaian positif yang disematkan kepada pemerintahan yang dipimpinnya, namun juga menegaskan bahwa pemerintahannya bekerja tidak untuk mencari penilaian yang baik.
ADVERTISEMENT
Sebuah pesan yang sangat kuat dari Presiden untuk menepis keraguan, bahwa pemerintahannya hanya akan melahirkan kebijakan populis dan tidak bermanfaat luas bagi negara. Namun, catatan-catatan kritis dari warga negara yang merupakan kekuasaan penyeimbang di dalam negara yang demokratis, selayaknya tetap didengar oleh presiden untuk terus mengupayakan kondisi yang terbaik bagi bangsa dan negara pada hari-hari ke depan pemerintahannya.
Setidaknya terdapat beberapa catatan sekaligus apresiasi yang dapat disematkan pada 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran sebagaimana berikut ini. Pertama, kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan presiden sebagai diplomat tertinggi negara sejauh ini patut diapresiasi. Presiden sekurang-kurangnya telah berhasil menempatkan moral politik Indonesia pada level yang berbeda dari sebelumnya di dalam percaturan global, melalui pernyataan sikap dan keputusan politik luar negeri yang diambil belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan kebijakan politik luar negeri yang sudah baik ini, pemerintah juga harus mampu segera menghadirkan dampak positif bagi kepentingan dalam negeri Indonesia sehingga hal ini dapat menjawab pertanyaan atas manfaat apa yang didapat dari kebijakan luar negeri tersebut.
Kedua, kebijakan ekonomi dengan mendorong hilirisasi dan industrialisasi dalam negeri untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan, telah menunjukkan tren yang positif.
Indonesia memang belum mampu sepenuhnya mewujudkan ekosistem dan pertumbuhan industri yang tangguh. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN seperti Singapura, Vietnam, Thailand, hingga Malaysia saja kita sudah tertinggal. Maka dari itu, hilirisasi dan industrialisasi adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.
Realisasi awal dari kebijakan ekonomi pada 100 hari pemerintahan ini cukup mendatangkan optimisme. Salah satu yang strategis adalah, komitmen investasi perusahaan raksasa teknologi Amerika yaitu Apple dengan membangun pabrik untuk pertama kalinya di Indonesia semakin mendekati kenyataan. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan presiden yang mempertahankan pelarangan penjualan Iphone 16 sebagai produk terbaru dari Apple, sebelum memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang diwajibkan bagi pemasaran barang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kebijakan jaminan sosial yang di dalamnya mencakup program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan program pembangunan 3 juta rumah sebagai program andalan dari pemerintahan Prabowo-Gibran. Meskipun masih terdapat permasalahan dan kontroversi yang muncul di lapangan, khususnya pada program MBG. Namun sebagai realisasi tahap awal, pelaksanaan program ini layak untuk diapresiasi terutama pada program MBG, dikarenakan telah berhasil mewujudkan salah satu janji politik presiden dalam waktu yang relatif singkat.
Ke depannya pemerintah harus segera mengatasi berbagai persoalan yang muncul seperti mekanisme pembiayaan, target sasaran penerima manfaat, dan pelaksanaan program tersebut hingga sampai ke tangan rakyat. Hal ini penting untuk segera disikapi, dalam rangka menjawab berbagai kritik yang berkembang terkait program andalan presiden tersebut.
ADVERTISEMENT
Di samping tiga catatan 100 hari usia pemerintahan Prabowo-Gibran di atas, kita terus mengingatkan dan mendorong adanya kebutuhan yang mendesak terhadap reformasi hukum dan politik di Indonesia.
Jika kita melihat kembali pada Asta Cita yang telah ditetapkan sebagai misi pemerintahan Prabowo-Gibran, salah satu yang termuat di dalamnya adalah memperkuat reformasi hukum, politik dan birokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi. Oleh sebab itu, Presiden harus segera mulai menghadirkan langkah-langkah konkret dalam rangka mewujudkan salah satu Asta Cita terpenting dalam pemerintahannya ini.