Konten dari Pengguna

Bullying Dalam Perspektif Keberadaan Diri

Indra Gustomi
Pendidik di SMPIT Al Fityan Boarding School Bogor
9 Juli 2024 6:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indra Gustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Mikhail Nilov: https://www.pexels.com/id-id/pencarian/bullying%2016%3A9/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Mikhail Nilov: https://www.pexels.com/id-id/pencarian/bullying%2016%3A9/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
dalam beberapa tahun terakhir kasus bullying di Indonesia terus menjadi sorotan, khususnya dalam dunia Pendidikan. Sebagian orang tua sering kali terlibat menyalahkan bahkan menghujat tindakan atau perilaku tersebut tanpa memperhatikan akar penyebab. Bahkan lebih parahnya hujatan yang diberikan akan memperparah kondisi mental sang pelaku. Kondisi semakin dibenci akan membawa pelaku menuju hilangnya keberadaan diri. sering kali banyak berita tentang pelaku kejahatan yang bebas dari penjara akan tetapi bukan menyesali tapi malah mengulangi kembali perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Bullying sebenernya suatu sikap hilangnya keberadaan diri. Hal tersebut diakibatkan kurangnya pemahaman terkait emosi atau validasi terhadap perasaan diri sendiri. Terkadang seseorang tidak diperkenankan untuk merasakan emosi yang dirasakan. Misalnya ketika anak sedang menangis karena ingin bermain tetapi reaksi orang tua saat itu justru memarahi, membentak atau bahkan mengalihkan reaksi tersebut. Hal tersebut berdampak pada ketidakmampuan anak mengenali emosi yang bisa mengakibatkan terjadinya konflik dengan dirinya sendiri. Sehingga anak mengalami ketidakpercayaan diri, sulit memilih ketika diberikan pilihan, memiliki perasaan yang mudah bersalah.
Menurut Jung Hyeshin, seorang Psikologis ternama yang berasal dari Korea Selatan, “Emosi adalah spesifikasi yang harus dimiliki seseorang untuk hidup dengan baik. Emosi juga merupakan esensi dari keberadaan seseorang”. Seseorang yang tidak mampu mengenali emosinya bagaikan hidup yang terjebak dalam ruangan yang sempit dan sesak dengan kadar oksigen yang menipis. Sungguh amat menyakitkan. Tapi itulah kondisi yang dialami oleh seseorang yang kehilangan keberadaan diri.
ADVERTISEMENT
Memahami Hilangnya Keberadaan Diri
Ketika seseorang mulai kehilangan keberadaan diri dalam dirinya, alam pikirannya akan merasakan serangan panik. Dalam kasus bullying yang terjadi pada remaja terdapat faktor-faktor penyebab perubahan diri yang mereka rasakan. Erikson, seorang psikolog terkenal, mengemukakan bahwa “remaja berada dalam keadaan kebingungan identitas dan peran”. Menurutnya, “remaja sulit menemukan jati dirinya dan memahami siapa dirinya serta bagaimana ia ingin dilihat oleh dunia”. Pada tahapan ini sebenarnya remaja mulai mengembangkan kepribadian dan mencari contoh disekitar mereka. Mereka mulai mencoba mengidentifikasi diri dengan hal-hal yang disukai dan mencari tahu tentang tren dan keberadaan mereka dalam lingkungan yang lebih luas. maka dalam fase ini peran serta orang tua atau guru dibutuhkan untuk menjadi contoh teladan yang baik bagi remaja.
ADVERTISEMENT
Mulailah dari “Bagaimana Perasaanmu Hari Ini”?
Empat kata sederhana tapi tanpa sadar menjadi pertolongan pertama bagi seseorang yang mulai kehilangan keberadaan diri. Ketika orang tua merasa kebingungan dengan anaknya maka empat kata tersebut menjadi senjata ampuh dalam sebuh obrolan, biasanya muncul rekasi situasi yang tidak terduga, karena pertanyaan sederhana tersebut membuat seorang anak merasa dirinya diperhatikan. Seorang anak yang sedang mengalami konflik batin pada dirinya serta merasakan putus asa dan tidak berdaya, maka hal yang dibutuhkan seorang anak adalah penerimaan akan keberadaan dirinya. Afirmasi “bagaimana perasaanmuhari ini” membuat seorang anak dicintai atau bahkan diakui sebagai individu.
Segera hubungkan hati dan perasaan
Empati selayaknya sebuah jembatan yang menghubungkan antara hati dan perasaan kita dengan seorang anak. Di era disrupsi digital yang terjadi belakangan ini meciptakan tekanan baru berupa tekanan untuk saling terhubung dan perbandingan sosial. Sehingga kemampuan untuk memvalidasi perasaan anak semakin penting. Dengan demikian, orang tua dapat membantu anak mengembangkan kecerdasan emosionalnya. Empati merupakan keterampilan sosial yang dapat dikembangkan atau dipelajari. Empati dapat dipelajari melalui rasa sakit, dengan begitu banyaknya rasa sakit. Dengan cara itu, orang tua dapat melihat isi hati dan memahami perilaku seorang anak berdasarkan dunia mereka dari perspektif mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Dengan maraknya kasus bullying yang terjadi, dibutuhkan pendekatan yang lebih empatik dan konstruktif. Bahwa kita semua memiliki peran untuk mencegah bullying serta menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua individu khususnya remaja. sehingga mereka dapat tumbuh dengan rasa keberadaan diri yang kuat dan sehat.