Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Potensi Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan terkait Rangkap Jabatan Menteri
8 Maret 2025 12:06 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Indra M Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 tentang Organisasi Dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (PP Nomor 10 Tahun 2025), dalam rangka percepatan pelaksanaan tugas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Presiden dapat mengangkat menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi sebagai Kepala Badan Pelaksana. Publik mempertanyakan apakah ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara (UU Nomor 39 Tahun 2008), yang secara tegas mengatur larangan bagi seorang menteri untuk memegang jabatan lain.
ADVERTISEMENT
Sebab, pada Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 diatur bahwa seorang menteri dilarang untuk merangkap jabatan, baik sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi perusahaan negara ataupun swasta, maupun sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk memastikan para menteri dapat fokus pada pelaksanaan tugas kementerian tanpa terbebani oleh kepentingan lain yang bisa mengganggu integritas dan profesionalisme mereka dalam menjalankan tugas negara, juga untuk terhindar dari konflik kepentingan.
Meski demikian, Presiden Prabowo menunjuk Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani sebagai Group CEO atau Kepala Badan BPI Danantara, dan Wakil Menteri BUMN Dony Oskaria sebagai Chief Operational Officer (COO).
ADVERTISEMENT
Selain potensi pelanggaran peraturan perundang-undangan, isu ini juga akan berpotensi menciderai prinsip good governance. Begitupun Di era masyarakat yang semakin kritis dan menuntut transparansi semakin menguat, praktik rangkap jabatan seperti ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 itu memang tidak disebutkan sanksi spesifik bagi pelanggaran rangkap jabatan, implikasi politik dari pelanggaran ini bisa signifikan. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga pengawas memiliki kewenangan untuk meminta klarifikasi terhadap hal tersebut.
Jika ditemukan pelanggaran, seharusnya DPR dapat merekomendasikan kepada Presiden RI untuk mengambil tindakan, termasuk mencopot menteri tersebut dari jabatannya. Akan tetapi, rasanya sulit untuk hal tersebut terjadi karena Presiden sendiri yang menunjuk menteri tersebut menjadi Kepala BPI Danantara dan COO BPI Danantara.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, terkait rangkap jabatan wakil menteri memang belum ada regulasi spesifik yang melarangnya. Namun, pada pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, larangan rangkap jabatan yang berlaku untuk menteri sebagaimana diatur pada Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008, juga berlaku untuk wakil menteri. Dari pihak pemerintah ketika itu terkait rangkap jabatan wakil menteri, menyatakan bahwa MK tidak memberikan putusan, bahkan permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK.
Kedua hal tersebut pun menjadi perdebatan. Ada perbedaan pandangan dari pemerintah dan juga masyarakat. Selain adanya wakil menteri yang menjadi COO BPI Danantara, ada beberapa wakil menteri yang merangkap sebagai komisaris di BUMN.
Oleh karena itu, regulator perlu mempertimbangkan revisi aturan terkait rangkap jabatan untuk lebih memperjelas kategori lembaga yang tidak boleh diisi oleh pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Penegakan hukum yang tegas juga diperlukan bagi menteri/wakil menteri atau pejabat yang terbukti melanggar ketentuan. Pejabat publik perlu meningkatkan transparansi dengan melaporkan secara terbuka semua posisi yang mereka duduki, termasuk di perusahaan atau lembaga negara guna untuk memastikan tidak ada potensi konflik kepentingan dan memastikan kepercayaan publik tetap sejajar dengan pemerintah.