Bagaimana Nasib Kebebasan Berserikat Setelah Pembubaran HTI?

9 Mei 2017 8:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Markas HTI di Tebet (Foto: Anggi Dwiky/kumparan)
Ada rasa kekhawatiran pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini akan berujung pada terancamnya kebebasan berserikat. Jangan sampai pemerintah Indonesia sewenang-wenang melarang rakyat berorganisasi.
ADVERTISEMENT
Pembubaran ini memang belum inkracht, masih sebatas pernyataan. Ada proses hukum lewat pengadilan yang mesti dilakukan.
"Lepas dari kontroversi terkait desakan sebagian kelompok kepada pemerintah, untuk segera mengambil langkah tegas terhadap organisasi yang dianggap intoleran, tindakan ini harus dilihat secara cermat dan hati-hati, dalam kerangka demokrasi dan negara hukum," demikian pernyataan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam pernyataan pers, Selasa (9/5).
Menurut ELSAM, jika langkah semacam ini dilakukan secara gegabah, justru dapat mengancam jaminan penikmatan hak atas kebebasan berserikat (right to a freedom of association), sebagaimana ada tertuang dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12/2005.
ADVERTISEMENT
"Meskipun kebebasan berserikat merupakan salah satu hak yang dapat dibatasi, namun sebagian ahli berpendapat bahwa bentuk-bentuk pembubaran merupakan bentuk pembatasan yang paling kejam (Nowak 2005), sehingga harus ditempatkan sebagai upaya terakhir (last resort)," demikian paparan Elsam.
Lambang ormas HTI (Foto: Facebook/Hizbut Tahrir Indonesia)
Dalam ketentuan pasal 22 ayat (2) ICCPR, menyatakan kebebasan berserikat adalah bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights), sepanjang hal itu diatur oleh undang-undang (prescribed by law) dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis, demi kepentingan keamanan nasional (national security) atau keamanan publik (public safety), ketertiban umum (public order), perlindungan akan kesehatan atau moral publik, atau atas dasar perlindungan akan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
 Selain itu, tindakan pembubaran juga harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law sebagai pilar dari negara hukum, di mana pengadilan memegang peranan kunci dalam prosesnya. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi. 
ADVERTISEMENT
"Tindakan pembubaran melalui pengadilan juga hanya bisa ditempuh setelah seluruh upaya lain dilakukan, mulai dari peringatan (notification), penghentian kegiatan, sanksi administratif, hingga pembekuan sementara. Hal ini juga sebagaimana diatur ketentuan Pasal 60-Pasal 78 UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Artinya, tegas pemerintah tidak memiliki hak absolut untuk melakukan pembubaran suatu organisasi, dengan dasar alasan apapun," beber ELSAM.
Maina Kiai, mantan Pelapor Khusus PBB untuk hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai, menyatakan dalam laporannya pada tahun 2012 (A/HRC/20/27) bahwa pembubaran organisasi secara paksa merupakan bentuk pembatasan akan kebebasan berserikat yang paling kejam.
Oleh karenanya, langkah semacam ini hanya dapat dimungkinkan ketika ada bahaya yang jelas dan mendesak yang mengakibatkan adanya pelanggaran yang cukup parah terhadap hukum nasional suatu negara.
ADVERTISEMENT
Kegiatan massa HTI sebelum dibubarkan (Foto: Instagram/@hizbuttahririd)
"Dalam melaksanakan tindakan ini, perlu ditegaskan perihal pentingnya peran pemerintah untuk menjamin proporsionalitas dari tindakan yang dilakukannya tersebut. Agar langkah yang dilakukan berkesesuaian dengan tujuan yang sah yang ingin dicapai, serta pelaksanaan langkah semacam ini hanya dimungkinkan sepanjang langkah-langkah lunak (softer measures) sudah dianggap tidak mampu mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi yang hendak dibubarkan tersebut," ungkap ELSAM.
Pembubaran United Communist Party of Turkey (TBKP) oleh Mahkamah Konstitusi Turki, lantaran MK Turki beranggapan bahwa pendirian TBKP dapat mendorong lahirnya gerakan separatisme yang dapat mengancam keutuhan dan integritas wilayah Turki, dapat menjadi contoh dalam kasus ini.
Terhadap putusan tersebut Pengadilan HAM Eropa (ECHR) menolak langkah yang dilakukan oleh MK Turki tersebut. Tindakan tersebut dianggap sebagai pencideraan terhadap penikmatan akan hak atas kebebasan berserikat. ECHR memandang bahwa pada saat TBKP didirikan, organisasi ini tidak sedikitpun menyatakan dirinya sebagai kelompok minoritas yang akan menggunakan haknya untuk menentukan nasibnya sendiri dan memisahkan diri (secession) dari negara Turki.
ADVERTISEMENT
Menimbang sejumlah prinsip dalam hukum internasional HAM, hukum nasional di Indonesia, pengalaman sejumlah negara terkini, maupun realitas sosial politik Indonesia saat ini, ELSAM melihat: Pertama, perlunya Pemerintah Indonesia untuk menahan diri dan berhati-hati untuk tidak mengambil langkah-langkah represif yang dapat mengancam penikmatan hak atas kebebasan berserikat di Indonesia, dalam kerangka demokrasi hari ini;
"Dan kedua, Pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa langkah-langkah yang dilakukan dalam membatasi penikmatan hak atas kebebasan berserikat, melalui pembubaran Ormas, haruslah berkesesuaian dengan standar pembatasan HAM dalam kerangka hukum internasional dan nasional, serta ketentuan dalam UU Ormas. Termasuk memastikan bahwa langkah pembubaran adalah langkah terakhir (the last resort), jika upaya lain yang sifatnya softer measures telah dilakukan," demikian penjelasan ELSAM.
ADVERTISEMENT