Konten dari Pengguna

Dilema Klasifikasi Usia Penonton Film di Indonesia

Indri Ariefiandi
seorang profesional yang aktif dalam bidang kebudayaan, media, dan advokasi sosial di Indonesia. Saat ini menjadi Tenaga Sensor pada Lembaga Sensor Film Republik Indonesia dan pernah menjadi staf kehumasan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud
14 April 2025 14:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indri Ariefiandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bioskop XXI. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bioskop XXI. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Film Jumbo, animasi karya Ryan Andriandhy, telah mencatat prestasi gemilang dengan meraih 3 juta penonton dalam 13 hari sejak penayangan perdananya pada 31 Maret 2025. Keberhasilan ini menjadi pencapaian penting bagi perfilman animasi nasional dan menandai peningkatan signifikan dalam minat publik terhadap karya anak bangsa. Namun, kesuksesan ini juga membuka ruang perbincangan yang lebih luas mengenai urgensi pembaruan sistem klasifikasi usia film di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jumbo mengangkat kisah Don, seorang anak laki-laki yang sering diremehkan oleh teman-temannya. Don bertekad tampil dalam pertunjukan drama sekolah yang terinspirasi dari buku dongeng peninggalan orang tuanya yang telah tiada. Namun, ceritanya berubah ketika buku tersebut dicuri oleh anak nakal, dan Don kemudian bertemu dengan sosok anak misterius yang memintanya membantu untuk bisa kembali bertemu dengan orang tuanya. Kisah ini tidak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga memadukan unsur mistis dan budaya lokal yang menjadikannya sarat makna.
Meski tampak seperti tontonan anak-anak, Jumbo memiliki banyak lapisan cerita yang menyentuh tema kehilangan, identitas, dan hubungan emosional antara anak dan orang tua. Ditambah dengan elemen mistik khas Nusantara, film ini menyajikan konten yang dapat memicu pertanyaan mendalam dari anak-anak, terutama yang masih berada pada tahap perkembangan kognitif dan emosional awal. Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan apakah label "Semua Umur" (SU) masih relevan diberikan tanpa ada klasifikasi tambahan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Indonesia menggunakan sistem klasifikasi film yang terbagi menjadi empat kelompok: Semua Umur (SU), 13+, 17+, dan 21+, sebagaimana diatur dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan PP No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. Namun, sistem ini dinilai terlalu umum, khususnya dalam menjangkau rentang usia yang memiliki perbedaan signifikan dalam tahap tumbuh kembang, seperti antara usia 5 dan 13 tahun, atau antara 13 dan 17 tahun.
Jika dibandingkan, negara seperti Amerika Serikat melalui Motion Picture Association (MPA) dan Inggris melalui British Board of Film Classification (BBFC), telah lebih dahulu menerapkan sistem klasifikasi yang lebih terperinci. Misalnya, kategori PG (Parental Guidance) di kedua negara tersebut menyarankan adanya pendampingan orang tua, terutama bagi anak di bawah usia 8 tahun. Langkah ini memberi keleluasaan bagi orang tua dalam menentukan konten yang layak ditonton anak-anak mereka, sembari tetap menjaga hak anak untuk mengakses hiburan yang sesuai.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan untuk memperbarui klasifikasi usia film semakin mendesak. Salah satu opsi adalah menambahkan beberapa kategori baru yang mencerminkan tahapan perkembangan anak dan remaja:
1. Usia 5–13 tahun (Bimbingan Orangtua): Kelompok ini sedang berada pada masa perkembangan kognitif awal, di mana kemampuan membedakan realitas dan fiksi masih terbatas. Mereka sangat responsif terhadap pesan visual dan cerita, sehingga penting bagi film yang ditonton menyampaikan nilai-nilai moral yang jelas, seperti empati, kejujuran, dan kerja sama.
2. Usia 13–15 tahun: Di fase ini, remaja mulai mengenal pemikiran abstrak dan eksplorasi identitas, tetapi masih mudah dipengaruhi oleh narasi kompleks dan tema-tema emosional seperti trauma, kehilangan, atau kekerasan. Mereka membutuhkan bimbingan untuk memahami konteks cerita secara sehat dan kritis.
ADVERTISEMENT
3. Usia 15–17 tahun: Remaja dalam kelompok ini cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dan bisa memahami alur narasi yang lebih kompleks, termasuk isu sosial atau eksistensial. Namun, mereka tetap perlu perlindungan terhadap konten yang terlalu eksplisit atau menyimpang dari norma sosial dan budaya.
Dengan klasifikasi usia yang lebih terperinci, industri film akan memiliki panduan yang lebih baik dalam menyusun konten, dan orang tua bisa lebih selektif dalam mendampingi anak saat menonton. Tak hanya itu, lembaga pendidikan juga dapat memanfaatkan sistem ini sebagai bagian dari literasi media di sekolah-sekolah, yang semakin penting di era digital.
Pembaruan sistem klasifikasi usia film bukan hanya soal regulasi, tetapi merupakan bentuk perlindungan terhadap hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara emosional dan psikologis. Film seperti Jumbo menunjukkan bahwa film animasi kini bukan lagi sekadar hiburan ringan, melainkan medium yang mampu menyampaikan pesan mendalam tentang kehidupan, identitas, dan budaya. Maka, sudah sepatutnya sistem klasifikasi kita menyesuaikan diri dengan dinamika ini.
ADVERTISEMENT
Indonesia perlu segera merumuskan klasifikasi usia yang lebih adaptif, sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Sistem yang lebih rinci dan kontekstual akan menciptakan ekosistem perfilman yang tidak hanya berkembang dari sisi industri, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab sosial terhadap generasi muda penontonnya.