Konten dari Pengguna

Indonesia Kekurangan Layar: Saatnya Pemerataan Akses Budaya Melalui Bioskop

Indri Ariefiandi
Aktivis Reformasi 1998 & Sekjen PIJAR 98. Pegiat & pengkaji industri perfilman, pernah bertugas sebagai staf kehumasan di Ditjen Kebudayaan. Saat ini menjabat Ketua Umum Sinergi Untuk Film Indonesia (SUFI).
11 Juni 2025 16:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Indri Ariefiandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Industri film Indonesia sedang berada di titik kebangkitannya. Industri film Indonesia menorehkan pencapaian impresif sepanjang 2024. Sebanyak 204 film berhasil diproduksi oleh sineas lokal, dan meraih total 81 juta penonton di bioskop. Yang membanggakan, 67% dari penonton tersebut memilih menonton film produksi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Angka-angka ini disampaikan langsung oleh Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, dalam jumpa pers menjelang penutupan Balinale 2025 di The Meru Sanur, Bali, pada 7 Juni 2025 lalu.
Ini adalah capaian tertinggi dalam satu dekade terakhir, menandakan bahwa masyarakat Indonesia kembali menjadikan bioskop sebagai ruang rekreasi sekaligus refleksi budaya. Film Indonesia bahkan menguasai daftar box office nasional, dengan beberapa judul lokal seperti Agak Laen, Jumbo, dan Siksa Kubur mencatat jutaan penonton hanya dalam hitungan minggu.
Namun, di balik euforia angka-angka ini, kita perlu melihat lebih dalam terhadap satu permasalahan struktural yang hingga kini belum terselesaikan: kurangnya jumlah layar bioskop, serta penyebarannya yang tidak merata. Realitas ini menjadi penghalang utama bagi pemerataan akses terhadap budaya populer dan hiburan film di Indonesia. Hal ini juga sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif yang inklusif dan berbasis wilayah.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan ini terlihat dari data Kementerian Kebudayaan yang menyebutkan bahwa hingga awal tahun 2024, Indonesia memiliki sekitar 2.145 layar bioskop yang tersebar di 517 lokasi dan hanya menjangkau 115 dari lebih dari 500 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Ini berarti bahwa lebih dari separuh wilayah administratif di Indonesia belum memiliki bioskop sama sekali. Bahkan di beberapa kabupaten di Pulau Jawa—yang notabene merupakan pusat pertumbuhan ekonomi nasional—akses terhadap layar bioskop masih sangat terbatas.
Di luar Jawa, situasinya lebih mengkhawatirkan. Di kawasan Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku hingga Papua, bioskop bisa dihitung dengan jari. Sebagian masyarakat bahkan harus menempuh perjalanan berjam-jam ke kota lain hanya untuk menonton film layar lebar. Ini adalah bentuk ketimpangan nyata terhadap hak masyarakat untuk menikmati budaya secara langsung.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi ironi ketika kita menyadari bahwa film adalah salah satu produk budaya yang paling inklusif. Ia mudah diakses secara bahasa, dapat dinikmati lintas generasi, serta memuat representasi sosial yang kuat. Sayangnya, ketimpangan infrastruktur menghambat peran strategis film dalam membentuk kesadaran budaya di tingkat lokal.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menggarisbawahi persoalan ini secara tegas. Dalam penutupan Festival Film Balinale pada Juni 2025 lalu, Ia juga menyebut bahwa saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 2.500 layar bioskop, padahal idealnya dibutuhkan paling tidak 10.000 layar untuk menjangkau populasi dan wilayah secara adil. Ia menekankan bahwa film bukan hanya sarana hiburan, tetapi alat pemajuan kebudayaan yang mencakup unsur sastra, tari, musik hingga kuliner.
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa ketimpangan akses terhadap bioskop bukan hanya soal bisnis, tetapi menyangkut strategi kebudayaan nasional. Apalagi di era digital saat ini, di mana konten visual menjadi medium utama komunikasi lintas budaya.
Kondisi kekurangan layar ini sejatinya membuka peluang besar bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mempercepat pemerataan infrastruktur budaya. Dengan lebih dari 80 juta penonton per tahun dan tren konsumsi film nasional yang meningkat, kebutuhan akan layar baru tidak hanya layak secara budaya, tetapi juga layak secara ekonomi. Kehadiran bioskop turut mendongkrak sektor ekonomi lain seperti kuliner, ritel, transportasi, dan pariwisata lokal. Ini berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja di daerah. Pemerataan bioskop juga mendorong sineas dari daerah untuk berkarya karena mereka memiliki ruang pemutaran. Ini adalah salah satu syarat penting bagi berkembangnya ekosistem film lokal.
ADVERTISEMENT
Melalui film, masyarakat dapat memahami isu sosial, sejarah, hingga nilai-nilai lokal dan nasional. Ini memperkuat identitas budaya bangsa. Namun tantangannya tidak kecil. Biaya investasi bioskop yang tinggi, risiko bisnis di luar wilayah urban, dan keterbatasan tenaga ahli menjadi kendala besar.
Pemerintah pusat memiliki peran kunci dalam mengatasi persoalan ini. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain: memberikan insentif fiskal dan kemudahan perizinan bagi investor yang membangun bioskop di daerah tertinggal dan luar Jawa; mengembangkan bioskop alternatif seperti bioskop keliling, layar tancap modern, atau pemutaran film di balai budaya, sekolah, dan pesantren; mendorong sinergi antara pemerintah daerah dan pelaku industri dalam penyediaan lahan dan fasilitas bioskop melalui skema kemitraan publik-swasta (PPP); serta memasukkan target penambahan layar bioskop dalam RPJMN dan Renstra Kementerian, agar menjadi bagian dari pembangunan nasional berbasis budaya.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting, pengembangan pusat pelatihan manajemen bioskop dan distribusi film di wilayah luar Jawa dapat memperkuat kapasitas SDM lokal sehingga pengelolaan bioskop tidak hanya bergantung pada korporasi besar yang berbasis di Jakarta.
Industri film Indonesia terbukti tangguh, bahkan di tengah pandemi dan gejolak sosial ekonomi. Kebangkitan jumlah penonton menjadi bukti bahwa film lokal tidak hanya diminati, tetapi juga dicintai. Maka sudah saatnya infrastruktur pendukungnya—dalam hal ini bioskop—ikut diperluas secara adil dan merata.
Jika pemerintah pusat serius menargetkan pembangunan 10.000 layar dalam lima hingga tujuh tahun ke depan, maka bukan mustahil Indonesia akan menjadi salah satu pasar film terbesar di Asia Tenggara dengan fondasi distribusi yang kuat. Ini bukan hanya tentang jumlah penonton, tetapi tentang kualitas keterhubungan antara budaya dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Film bukan sekadar tontonan, tetapi cermin bagi masyarakat dan jendela bagi bangsa untuk melihat dirinya sendiri. Selama akses terhadap bioskop masih menjadi hak istimewa warga kota besar, maka masih ada pekerjaan rumah besar dalam agenda pemerataan budaya.
Kini, ketika angka penonton sudah melampaui ekspektasi, saatnya kita bertanya: apakah seluruh rakyat Indonesia sudah bisa mengakses film secara adil?
Untuk itu, Pemerintah harus mengambil langkah konkret. Sudah saatnya Indonesia memiliki BUMN khusus bioskop—sebuah institusi negara yang secara khusus bertanggung jawab dalam pemerataan infrastruktur layar di seluruh Indonesia. BUMN ini tidak hanya berperan membangun bioskop di daerah tertinggal, tetapi juga menjamin akses rakyat terhadap budaya visual dan menjadi katalisator tumbuhnya ekosistem film lokal, ruang distribusi film nasional, dan pusat edukasi budaya berbasis visual. Film bukan semata hiburan, ia adalah alat diplomasi, pendidikan, dan refleksi kebangsaan.
ADVERTISEMENT
BUMN Bioskop dapat menjadi jembatan antara sineas lokal dan masyarakat. Ia membuka ruang untuk karya dari Papua, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara agar bisa tayang di tanah mereka sendiri. Ia juga mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif di luar pusat-pusat urban.
Ilustrasi Pribadi