Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Melayang bersama Prenjak
31 Agustus 2020 3:02 WIB
Tulisan dari Indri Kesuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Prenjak itu salah satu jenis burung kalau nda salah…”
“Oh ya bu? tapi kenapa terjemahannya ‘In the year of Monkey’ ya..”
ADVERTISEMENT
Itulah kira-kira sekelumit perbincangan saya dengan atasan saya, di sela-sela perjalanan 170km kami menuju kota Cannes.
Malam itu, kami akan memberikan dukungan kepada film “Prenjak (In the Year of Monkey)”, salah satu finalis Film Pendek pada “International Critics Week/Semaine de la Critique” tahun 2016, hasil pilihan Asosiasi Kritikus Film Prancis. Prenjak terpilih di antara 1500 film pendek lainnya yang mendaftar dari seluruh dunia.
Setiap tahunnya, para kritikus film Prancis ini memilih tidak lebih dari sepuluh film feature dan film pendek dari sutradara berbakat. Kenapa sangat shortlisted? Karena para kritikus ingin benar-benar menikmati film sebagai karya seni. Wong Kar-wai dan Bernardo Bertolucci adalah “lulusan” dari kategori “Semaine de la Critique”.
ADVERTISEMENT
Prenjak bukanlah film asal Indonesia pertama yang ditayangkan untuk kategori dimaksud. Satu tahun sebelumnya, film pendek “The Fox Exploits the Tiger’s Might” karya Lucky Kuswandi menjadi finalis kategori yang sama. Demikian pula film “Tjoet Nya’ Dien”, yang pada tahun 1989 menjadi film Indonesia pertama yang tayang di Festival Film Cannes.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, kami tiba di gedung pemutaran film, Espace Miramar. Senang rasanya melihat para WNI dan counterparts setempat yang kami undang setiap ada pemutaran film Indonesia di Festival Film Cannes, turut hadir memberikan support kepada Wregas Bhanuteja, sutradara film Prenjak, beserta Rosa Wineggar dan Yohannes Budyambara, para pemeran yang terlibat.
Wregas bercerita bahwa asal usul judul internasional untuk Prenjak, “In the Year of Monkey”, berasal dari shio kelahirannya dan sebagian besar tim produksinya. “Tahun (2016) ini juga tahun Monyet… jadi saya dan teman-teman bertekad untuk menjadikan tahun ini, tahun kami..”, jelasnya (and boy he got that right!).
Pada sesi pemutaran kali itu, Prenjak ditayangkan bersama dengan lima film pendek lain dari Prancis, Brazil dan Kanada. Sebagaimana lazimnya, Wregas dan teman-teman diundang ke panggung untuk menceritakan sedikit sinopsis film. Begitu pula sutradara dan tim dari negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Satu per satu film pun ditayangkan.
Rasa tegang muncul mengingat penonton Festival Film Cannes di kategori apa pun, tergolong “galak”. Jika tidak suka dengan film yang ditayangkan, mereka pelit untuk memberikan tepuk tangan. Bahkan ada yang tidak segan untuk walk out!
Saya masih ingat ada film yang bercerita tentang tentara yang berhalusinasi… alur ceritanya lambat sekali sampai kami pun rasanya ikut berhalusinasi... sampai akhirnya di layar tertulis “Prenjak (In the Year of Monkey”. Mata ini langsung segar.
Namun demikian, dialog pertama langsung membuat saya agak panik… duh ternyata filmnya menggunakan Bahasa Jawa! Syukurlah ada subtitle Bahasa Inggris dan Prancis yang (ironisnya) sangat membantu (saya) mengerti dialog yang diucapkan.
Sesungguhnya alur cerita film Prenjak yang berdurasi 13 menit sangatlah sederhana.
ADVERTISEMENT
Dibuka dengan adegan seorang perempuan dengan wajah was-was dan khawatir, bercerita ke temannya kalau dirinya butuh uang. Disepakatilah cara yang tidak lazim untuk mendapatkan uang tersebut. Sepanjang film, penonton dibuat penasaran untuk apa uang dimaksud, diselingi tawa melihat ekspresi wajah aktor dan aktris film Prenjak. Film diakhiri dengan adegan perempuan tersebut menyalakan lampu rumah, dan memandikan anaknya yang balita. Ternyata, uang tersebut digunakan untuk membayar listrik. Saya pun terenyuh. Sebuah isu yang sangat dekat di hati, perjuangan seorang Ibu untuk anaknya… pikir saya.
Lamunan terhenti ketika penonton yang berjumlah lebih kurang 400 orang memberikan tepuk tangan dan sambutan yang meriah kepada Prenjak, bahkan lebih meriah dibandingkan empat film lainnya! Wregas dan teman-teman pun sibuk melayani berbagai pertanyaan dan wawancara di akhir acara. Kami pun berpisah, disertai doa akan hasil yang baru diumumkan satu minggu setelah pemutaran. Hati kecil saya mengatakan, mungkin ini saatnya kita akan menang.
ADVERTISEMENT
Dan benar saja, satu minggu kemudian, saya menerima pesan singkat dari salah seorang koresponden televisi Indonesia yang meliput Festival Film Cannes… ”Mbak, Wregas menang!”. Hangat rasanya hati ini akan rasa bangga.
Sudah beberapa tahun belakangan ini, tidak ada film Indonesia yang berpartisipasi pada Festival Film Cannes. Festival tahun ini pun pada akhirnya dibatalkan karena pandemi Covid-19. Kita tunggu partisipasi film Indonesia tahun depan, karena kita masih perlu Prenjak-prenjak lainnya untuk menghangatkan hati dan melayangkan nama Indonesia...