Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Belum Self-Harm, Belum Keren?
19 November 2022 21:58 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Maria Immaculata Gloredine Indiyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
How is people's mental health nowadays?
Kesehatan mental, atau lebih sering disebut mental health, belakangan ini menjadi topik hangat yang sering disinggung. Mental health sendiri merupakan aspek penting dalam hidup yang dapat memengaruhi performa serta kinerja individu dalam melakukan kegiatan dan rutinitasnya sehari-hari. Selain itu, mental health juga penting diperhatikan untuk menjaga kesehatan secara menyeluruh. Terutama, di masa pandemi seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Munculnya kasus penyebaran virus COVID-19 di berbagai belahan dunia membawa serta perubahan besar-besaran. Mulai dari kewajiban menggunakan masker ke mana pun kita ingin bepergian, hingga adanya kebijakan lockdown di beberapa negara, semuanya turut andil dalam memberikan dampak bagi setiap individu. Ada positifnya, tetapi banyak pula negatifnya. Dilansir dari unicef.org, survei yang dilakukan pada 21 negara oleh UNICEF menunjukkan bahwa kondisi dan situasi yang serba ‘diatur’ pada masa pandemi ini merupakan salah satu penyebab menurunnya tingkat kesehatan mental masyarakat. Namun, sangat disayangkan bahwa beberapa negara, terutama negara berkembang, masih kurang memprioritaskan dan bahkan menyepelekan kesehatan mental warga negaranya. Sering kali tidak disadari, kesehatan mental yang diabaikan bisa jadi gerbang menuju ketidakstabilan atau bahkan gangguan mental, lo!
ADVERTISEMENT
Ketidakstabilan atau gangguan mental dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Pengalaman dan peristiwa hidup yang tidak menyenangkan dan menyisakan luka pada perasaan, memiliki pengaruh yang besar dalam ketidakstabilan mental seseorang. Individu dengan mental yang kurang sehat cenderung tidak bisa menjalankan kegiatan dan rutinitasnya sehari-hari dengan baik. Kondisi ini bahkan bisa mendorong penderita untuk menyakiti dirinya sendiri, atau yang kita kenal dengan sebutan self-harm.
What is self-harm?
Self-harm adalah tindakan menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi dan perasaan yang tertahan di dalam hati. Menurut beberapa orang, self-harm ini bahkan bisa memberikan mereka rasa lega. Selain sebagai bentuk dari pelampiasan emosi, self-harm juga bisa menjadi media untuk menunjukkan kondisi seseorang yang sedang tidak baik-baik saja pada sekitarnya. Meskipun begitu, bagaimana pun tujuannya, tindakan self-harm ini tidak seharusnya jadi pilihan. Mengapa? Tentu karena menyakiti diri sendiri itu erat hubungannya dengan membahayakan nyawa pelaku. Banyak cara lain untuk menyembuhkan gangguan mental yang dimiliki, baik dengan melakukan kegiatan yang positif maupun meminta pertolongan ahli yang profesional (seperti psikolog dan/atau psikiater).
ADVERTISEMENT
Sadly, self-harm has become a trend.
Belakangan ini, beberapa topik yang berkaitan dengan mental health, terutama self-harm, sedang naik daun dan menjadi topik hangat yang kerap didiskusikan oleh warga di media sosial. Hal itu disebabkan oleh banyaknya remaja dan orang dewasa awal yang mengunggah video di berbagai platform media sosial (seperti Tiktok, Instagram, maupun Youtube) tentang dirinya yang sedang struggle dengan masalah hidupnya dan memilih jalan untuk melakukan self-harm.
Sayangnya, alih-alih membuat para penonton teredukasi dan jadi lebih aware terhadap sekitarnya, perilaku self-harm ini malah menjadi suatu ‘tren baru’. Perilaku self-harm yang sedang trending dan marak di media sosial ini sangat memprihatinkan. Hal ini dapat membawa pengaruh buruk pada individu atau pengguna yang sudah terpapar. Terutama pada individu yang sedang mengalami gangguan mental dan mudah ter-trigger dengan hal-hal yang berhubungan dengan self-harm. Individu yang terpapar berita dan/atau konten tentang self-harm secara terus menerus, bisa saja memiliki rasa penasaran yang akan berujung pada adanya dorongan dan motivasi untuk melakukan perilaku yang sama.
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti sampai di situ, masih terdapat hal lainnya yang bisa buat geleng-geleng kepala. Tren self-harm ini tidak hanya berupa konten sharing session, tetapi juga sudah sampai pada konten tutorial melakukan self-harm. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena self-harm bukanlah perilaku yang patut ditiru. Apalagi, tindakan self-harm ini dapat membahayakan nyawa individu.
Di sisi lain, self-harm juga bisa membuat individu ketagihan hingga ketergantungan. Hal ini dapat terjadi apabila dalam menyelesaikan masalah hidupnya, individu selalu mencari jalan keluar dengan melakukan self-harm yang lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang akan terbentuk pada perilaku individu. Kebiasaan yang bisa tetapi susah untuk dikurangi hingga dihilangkan.
Fenomena tren self-harm yang diikuti oleh banyak pengguna media sosial ini dapat dikaitkan dengan fenomena fear of missing out, atau disingkat FOMO. FOMO sendiri merupakan perasaan takut, cemas, serta merasa tertinggal pada suatu hal yang sedang viral, trending, atau yang sedang ramai dibicarakan oleh orang-orang. Kaitan antara FOMO dengan self-harm itu dapat dilihat dari perilaku individu yang mencoba melakukan self-harm karena sedang viral dan trending di media sosial. Hal ini bahkan menyebabkan adanya anggapan bahwa siapa pun yang tidak pernah self-harm, ketinggalan zaman.
ADVERTISEMENT
What Soren Kierkegaard says about human existence.
Fenomena tren self-harm ini dapat ditinjau dari berbagai persepsi, salah satunya lewat kacamata filsafat manusia, melalui perantara pandangan filsuf asal Denmark yaitu Soren Kierkegaard. Kierkegaard menuangkan pandangan serta pemahamannya pada teori eksistensialisme. Dalam karyanya yang berjudul Either/Or, Kierkegaard mengemukakan bahwa hidup bukan hanya soal apa yang dijalani dan dipikirkan saja, melainkan juga soal bagaimana hidup ini dihayati oleh individu. Makin dalam penghayatan individu terhadap semua peristiwa yang terjadi di kehidupannya, makin bermakna pula hidupnya.
Menurut Kierkegaard, di zaman ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat seperti saat ini, manusia rentan dan mudah untuk dipengaruhi, dimanipulasi, ataupun diperdaya oleh hal abstrak yang tidak bermakna (meaningless). Dalam eksistensialisme, manusia dianggap sebagai subjek yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan. Maknanya, manusia berperan sebagai suatu kenyataan subjektif, yang menjadi akar dari segala pandangan dan perspektif yang ada. Subjektivitas pada manusia dapat diartikan sebagai bagaimana manusia secara individual menjalankan eksistensinya di dunia ini (Hassan, 1976:24). Manusia menjadi pemeran utama dalam kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Kierkegaard juga mengemukakan bahwa eksistensialisme adalah keberadaan. Keberadaan manusia di dalam dunia, bagaimana manusia bisa berdiri sebagai dirinya sendiri dengan keluar dari zona nyamannya. Bentuk eksistensi yang sebenarnya tercipta dalam manusia yang mengetahui keinginannya dan dapat menentukan keputusannya sendiri. Sebaliknya, apabila suatu individu tidak dapat memilih keputusannya secara tegas, maka hal tersebut termasuk kepada bentuk eksistensi yang semu.
Dalam teori eksistensialisme miliknya, Kierkegaard membagi eksistensi manusia ke dalam tiga tahapan yang masing-masing tahapannya memiliki ciri khas, yaitu eksistensi tahapan estetis, etis, dan religius. Ketiga tahapan inilah yang nantinya akan memengaruhi eksistensi manusia di dunia. Manusia dapat memilih di antara tiga tahapan perkembangan tersebut sesuai dengan kehendak dirinya. Individu yang memilih dan menerapkan tahapan estetis dalam kehidupannya cenderung menunjukkan eksistensi dirinya dengan cara mendapatkan kesenangan dan kenikmatan belaka.
ADVERTISEMENT
Petunjuk langkah hidupnya bukanlah berdasarkan apa yang ia kehendaki, melainkan berdasarkan hal, peristiwa, perilaku, atau fenomena yang sedang ramai serta menjadi tren dalam masyarakat. Manusia estetis cenderung tidak akan menemukan—bahkan dapat kehilangan—jati dirinya. Puncak tahap estetis dapat ditandai dengan self-harm, bunuh diri, mengalami gangguan jiwa, kejenuhan, atau bisa masuk dalam tahapan eksistensi selanjutnya yang lebih tinggi, yaitu tahapan etis (Abidin, 2002:149).
Dalam tahap etis, mulai terlihat adanya perubahan pada perilaku manusia. Manusia yang menerapkan tahap etis dalam kehidupannya sudah tidak mementingkan kesenangan serta kenikmatan. Manusia mulai bisa memilih keputusan yang tegas berdasarkan apa yang ia kehendaki. Pada tahap ini, individu telah mengikuti nilai-nilai kemanusiaan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat. Meskipun terlihat adanya perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan tahap estetis, manusia pada tahap etis masih bisa mengalami kekosongan, serta merasa takut dan cemas dalam kehidupannya. Hal ini terjadi karena manusia etis menganggap dirinya belum dapat memenuhi panggilan kemanusiaannya secara penuh.
ADVERTISEMENT
Tahapan tertinggi pada eksistensi manusia, yaitu tahap religius. Hal yang perlu dicapai manusia untuk masuk ke dalam tahap religius adalah memiliki keyakinan yang subjektif dan didasarkan pada iman individu. Apabila dalam tahap etis nilai kemanusiaan bersifat objektif dan dapat diterima secara rasional, nilai kemanusiaan dalam tahap religius bersifat subjektif dan kerap kali sulit diterima oleh akal sehat. Sederhananya, manusia pada tahap religius meleburkan atau menyatukan dirinya ke dalam realitas Tuhan. Akhir dari manusia tahap religius ini adalah hidup yang bahagia, karena mampu menghayati kehidupannya secara mendalam.
FOMO and self-harm, on the eye of existentialism.
Nah, dari sini kita bisa melihat bahwa orang-orang yang mengikuti tren self-harm tersebut, tahapan hidupnya masih berada pada tahapan estetis. Mengapa demikian? Perilaku individu pada fenomena tren self-harm ini hanya mengikuti arus yang sedang ramai di kalangan masyarakat, terutama hal yang sedang viral dan trending di media sosial. Perilaku mengikuti arus tersebut menunjukkan bahwa manusia masih belum mampu untuk mengambil keputusan secara tegas. Hal ini juga menunjukkan ketidakmampuan individu untuk memilah dan memilih mana tren yang bisa diikuti dan mana yang tidak.
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang mengikuti tren self-harm hanya untuk memuaskan rasa penasarannya cenderung melakukan itu demi kenikmatan belaka dan perasaan senang karena tidak ketinggalan zaman. Apabila orang yang FOMO akan tren self-harm ini menemukan kenyamanan setelah mencobanya, besar kemungkinan bahwa orang itu akan mengulangi tindakan yang sama di lain hari, hingga ia ketergantungan dan sampai pada titik di mana ia merasa kekosongan dalam hidupnya. Setelahnya, individu bisa saja melakukan self-harm untuk mengakhiri hidupnya. Namun, ada juga kemungkinan lain ke arah yang positif, di mana individu memilih untuk berkonsultasi ke ahli yang profesional, berkomitmen untuk tidak melakukan self-harm lagi, serta mulai mencari dirinya yang hilang untuk kembali.
The Conclusion.
Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan serta keterkaitan antara fenomena perilaku FOMO individu pada tren self-harm dengan teori tahapan eksistensi manusia menurut Soren Kierkegaard. Di mana manusia yang masih berada pada tahap estetis belum bisa menemukan jati dirinya dan belum mampu untuk menghayati hidupnya secara mendalam sehingga perilaku FOMO bisa muncul.
ADVERTISEMENT
Dengan mengetahui hal ini, kita perlu belajar lebih bijaksana dalam menyikapi tren di kalangan masyarakat dan tidak mengikuti tren yang mungkin membahayakan diri sendiri. Selain itu, apabila mendapati seseorang di sekitar kita yang memiliki indikasi ketidakstabilan mental, kita selalu bisa mencoba membantu mereka dengan memberikan dukungan dan perhatian yang cukup. Jika kondisinya semakin memburuk, tidak perlu ragu untuk mengarahkan mereka untuk mencari bantuan profesional seperti psikolog ataupun psikiater. Because, every life matters. Lebih baik tidak dianggap keren, daripada nyawa yang jadi taruhannya.