Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menekan Prevalensi Perokok Perlu Pertimbangan Aspek Sosial, Budaya & Ekonomi
30 Oktober 2021 11:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Info Kesehatan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Upaya pemerintah dalam menekan prevalensi perokok di Indonesia perlu mempertimbangkan beragam aspek termasuk, sosial, kultural atau budaya, dan ekonomi. Ketua Yayasan Manusia Welas Asih Semesta (Mawas) Kurniawan Saefullah menyebutkan, pengentasan prevalensi merokok memerlukan identifikasi mendasar terkait penyebab meningkatnya konsumsi merokok di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Dalam hal ini, kita perlu melihat apakah penyebabnya faktor sosial atau kultural. Keduanya saling berkaitan sekalipun juga perlu dibedakan,” ujarnya seperti dikutip, Sabtu (30/10/2021).
Kurniawan menjelaskan fenomena sosial yang berkaitan dengan fenomena lain menjadi salah satu pemicu konsumsi rokok di Indonesia. Untuk menekan prevalensi merokok di Indonesia, maka diperlukan identifikasi keterkaitan antara kedua fenomena tersebut.
“Saat merokok dilakukan karena didorong faktor stres, maka selama penyebab stres tidak diselesaikan, kebiasaan tersebut tidak akan tersolusikan,” tuturnya memberikan contoh.
Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap aspek kultural. Berdasarkan sejumlah riset, aspek kultural turut menjadi pendorong konsumsi rokok di Indonesia. Contohnya adalah riset yang dilakukan Nawi Ng, L. Weinehall, dan A. Ohman yang berjudul “If I don’t smoke, I’m not a real man’ – Indonesian teenage boys’ views about smoking” yang dipublikasikan pada 2007 silam.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menurut Kurniawan, pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait lainnya perlu melakukan pendekatan kultural.
“Jika merokok disebabkan karena faktor kultural mengenai imaji bahwa yang merokok itu terkait dengan pandangan maskulinitas, maka perlu ada upaya besar untuk mengubah pandangan maskulinitas yang dikaitkan dengan merokok dan seterusnya,” paparnya.
Tak hanya aspek sosial dan kultural, faktor ekonomi juga menjadi pemicu prevalensi merokok. Kurniawan menjelaskan kebiasaan merokok erat dengan unsur kompleks yang mencerminkan adanya lapangan pekerjaan yang besar bagi petani dan buruh.
“Artinya saat merokok ingin dikurangi, apakah dapat juga dikurangi produksi rokoknya? Dengan demikian juga mengurangi tenaga kerja di sektor itu dan artinya akan berdampak pada pengangguran? Ini menjadi tidak sederhana,” ucap Kurniawan.
ADVERTISEMENT
Demi semakin efektif dalam menekan prevalensi merokok, Kurniawan menyarankan pemerintah juga mendukung penggunaan produk-produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik, maupun snus. Pasalnya, produk-produk ini juga bisa memanfaatkan sumber daya yang sama misalnya dari pertanian tembakau, dan selain itu juga dapat menumbuhkan industri yang baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir serta menjaga serapan tenaga kerja. Bahkan, produsen dalam negeri berperan juga sebagai eksportir. Sehingga, dengan kata lain produk tembakau alternatif dapat menjadi strategi pelengkap selain pendekatan melalui aspek sosial, kultural, dan ekonomi.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan literasi mengenai produk ini melalui simpul-simpul sosial dan kultural di masyarakat.
“Sebagai contoh kecil melalui poskamling-poskamling yang ada di setiap RW (rukun warga) di masyarakat yang melakukan siskamling (sistem keamanan lingkungan) misalnya. Itu sebagai contoh saja,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dalam 4th Scientific Summit on Tobacco Harm Reduction, Konstantinos Kesanopaulos dari University of West Attica menyampaikan bahwa jumlah perokok global mencapai 1,14 miliar orang per 2019. Indonesia tercatat di urutan kedua sebagai negara berpenduduk lebih dari satu juta jiwa dengan prevalensi perokok pria tertinggi di dunia.
Indonesia juga berada di urutan ketiga dari 10 negara konsumen rokok terbesar. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi perokok di atas 15 tahun mencapai 33,8 persen.
“Jika digabungkan, kesepuluh negara ini menjadi rumah bagi 2/3 perokok di dunia,” kata dia.