Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Analisis Dampak Abu Vulkanik Letusan Gunung Tambora pada Atmosfer Bumi
12 Juli 2019 12:25 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB

ADVERTISEMENT
Info Dompu – Bunyi bahananya sangat berjabuh. Ditempuh air timba habu. Berteriak memanggil anak dan ibu. Disangka dunia menjadi kelabu. Asalnya konon Allah Taala marah. Perbuatan sultan Raja Tambora. Membunuh tuan haji menumpahkan darah. Kuranglah pikir dan kira-kira.
ADVERTISEMENT
Begitulah 'Syair Kerajaan Bima' tentang kejadian letusan Tambora yang ditulis tahun 1830 dan dipublikasikan oleh Chamber-loir tahun 1982. Pada tanggal 10-11 April 1815, kehidupan sekitar Tambora hancur tanpa sisa.
Kedahsyatan letusan Tambora yang menghasilkan material erupsi sekitar 150 kilometer kubik telah menyapu daratan hingga menyebabkan tsunami. Dampak letusan juga berkepanjangan, bahkan menyebabkan tewasnya lebih dari 150 ribu jiwa di seluruh dunia.
Dampak langsungnya terasa di Pulau Sumbawa, dan dalam skala global secara tidak langsung. Dampak global ini bukan karena abu vulkanik atau lahar panas Tambora yang mencapai Eropa dan Amerika.
Menurut Setyo Manggala, penulis yang telah mengumpulkan puluhan jurnal untuk membahas Tambora di dalam bukunya yang berjudul Dana Dompu, letusan Tambora bahkan telah memengaruhi atmosfer bumi hingga menyebabkan anomali cuaca di bumi utara dan selatan, juga menyebabkan kelaparan serta bencana lainnya.
“Kejadian letusan gunung dalam skala besar itu mengangkat partikel elektrostatis, makanya kenapa gunung meletus ada gledek dan petir. Partikel ini terangkat hingga ke lapisan ionosfer yang memiliki ketinggian 75 kilometer dari daratan bumi. Sehingga muatan ionosfer menjadi berlebih, lapisan ionosfer ini dapat membentuk formasi awan,” ungkap Setyo via WhatsApp (11/7).
ADVERTISEMENT
Setyo menjelaskan, letusan Tambora telah melontarkan 60-80 ribu ton zat sulfur dioksida (SO2) melalui cerobong asap vulkanik yang mencapai ketinggian 43 kilometer hingga ke lapisan stratosfer. Di lapisan stratosfer, material sulfur dioksida ini teroksidasi menjadi asam sulfat (H2SO4) dan membentuk lapisan aerosol vulkanik yang bertahan selama tiga tahun.
“80 ribu Avanza yang kira-kira satu mobilnya sekitar 1 ton, bayangkan mobil itu 'kan benda padat ketika dikonversikan menjadi gas bisa saja luasnya mencapai sekitar satu kelurahan dari sekitar 80 ribu,” ujar Setyo, mengumpamakan jumlah zat yang naik ke atmosfer dari hasil letusan Tambora.
“Ketika gunung meletus, yang berbahaya adalah seberapa jauh atau seberapa tinggi sulfur mencapai lapisan stratosfer, karena dalam waktu 2-3 minggu bisa menjadi asam sulfat, sulfur itu sejenis belerang di kawah gunung. Nah, sulfur ini berubah menjadi asam sulfat yang bisa bertahan 3-5 tahun,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Ia kembali menyederhanakan bahwa terdapat lapisan aerosol, yaitu lapisan awan yang bisa dilihat pada saat naik pesawat. Tetapi zat yang ada di awan akibat letusan Tambora ini jenisnya lebih pekat dan muatannya berbeda dengan awan biasa.
Biasanya, jika tekanan awan tinggi, maka mudah menjadi hujan. Saat awan berembus ke tempat lain, menjadi satu muatan dan berkumpul, maka akan terjadi hujan.
“Kalau lapisan atmosfer setelah letusan Tambora ini akan tetap dan stay di situ saja. Itu lapisan asam sulfat,” lanjut Setyo.
Ia mengungkapkan, usai letusan Tambora bulan April itu, 2-3 bulan setelahnya berdampak pada sirkulasi di ekuator. Terjadi tiupan angin pada bulan April hingga Oktober ke belahan bumi selatan. Lalu pada Oktober sirkulasi tiupan angin berubah ke utara bumi.
ADVERTISEMENT
“Di atmosfer bumi ada lapisan aerosol sulfat. Nah, lapisan ini pernah mengendap di lapisan bumi selatan. Lalu di Oktober sirkulasi berubah ke utara pada tahun 1815. Pada tahun 1816 lapisan aerosol sulfat telah mencapai belahan Eropa,” ungkap Setyo.
Setyo mengatakan, ketika lapisan aerosol sulfat sampai di Eropa, maka yang terjadi adalah berkurangnya panas matahari. Ketika matahari berkurang, maka terjadi gangguan atau climatic effect. Hal yang sama juga terjadi di belahan bumi utara seperti Amerika, karena siklus ini terjadi selama satu tahun.
“Ada lukisan yang terkenal di Eropa, lukisan William Turner, itu lukisan sunset yang indah di Eropa. Itu terilhami dari cuaca yang ia lihat selama tahun 1816 di Eropa. Di London cuaca menjadi aneh. Sedangkan di Swiss itu terjadi hujan terus menerus membuat pangan yang ditanam di tanah menjadi busuk bahkan di lumbung pangan sekalipun tetap membusuk. Hal inilah yang menyebabkan krisis pangan terjadi di mana-mana karena hujan terus menerus,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
-
Intan Putriani