Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten Media Partner
Di Kemah Literasi NTB 2019, Mari Menyelami Sastra dari Letusan Tambora
25 Oktober 2019 9:22 WIB
ADVERTISEMENT
Info Dompu – Selamat datang di lereng Gunung Tambora bagi seluruh peserta kemah literasi tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tepatnya di Desa Kadindi, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan Bulan Bahasa Tahun 2019, Club Baca Tapak Seribu yang merupakan salah satu gerakan literasi bagi masyarakat di Kecamatan Pekat berkesempatan menyelenggarakan kegiatan Kemah Literasi tingkat Provinsi NTB Tahun 2019.
Kegiatan ini tentu saja akan diikuti oleh seluruh pecinta literasi dari berbagai wilayah di NTB. Adapun target utama pesertanya adalah guru dan siswa dari berbagai sekolah, juga komunitas, maupun perseorangan yang konsen terhadap dunia literasi.
Kemah literasi merupakan kegiatan outdoor yang dirangkaikan dengan kegiatan literasi, dimana peserta akan dipertemukan dengan narasumber melalui workshop dan diskusi. Kabarnya juga akan ada sastrawan Nasional seperti Asma Nadia yang akan menjadi narasumber pada saat kegiatan.
Kemah literasi akan berlangsung dari Jumat, 25 Oktober hingga Minggu, 27 Oktober 2019. Peserta akan membangun tenda di lapangan yang telah disediakan panitia, kemudian akan berkumpul untuk mengikuti kegiatan workshop dan diskusi.
ADVERTISEMENT
Bunyamin sebagai ketua pelaksana Kegiatan Kemah Literasi tingkan NTB tahun 2019 mengatakan bahwa sesuai dengan lokasinya, pada kegiatan ini juga akan diperkenalkan Gunung Tambora secara lebih luas kepada peserta yang akan menginap selama dua malam di sebuah desa di lereng Gunung Tambora.
Gunung yang memiliki ketinggian 2851 meter di atas permukaan laut (mdpl) memiliki letusan dahsyat pada tahun 1815. Letusan tersebut telah menyebabkan banyak hal terjadi bagi dunia, seperti adanya a year without summer bagi negara-negara di Amerika Utara dan Eropa. Bahkan menyebabkan bencana kelaparan terbesar sepanjang sejarah, hingga terciptanya berbagai karya seni dan sastra.
Peristiwa letusan Tambora di Indonesia yang dulu disebut Hindia Timur Belanda, pada 10 April tahun 1815 telah memuntahkan sebanyak 36 kubik mil atau 150 kilometer kubik abu vulkanik ke atmosfer bumi. Tak hanya berdampak bagi daerah di Indonesia, peristiwa ini telah menyebabkan redupnya matahari di seluruh Eropa satu tahun setelah letusan.
Bagi bangsa Eropa, musim panas adalah momentum yang sangat dinantikan untuk liburan. Tetapi pada tahun 1816, warga Eropa justru harus menikmati musim panas yang dinginnya luar biasa. Tidak ada aktivitas luar ruangan yang menyenangkan dan menarik saat suhu sangat dingin, hal tersebut juga dialami oleh kelompok yang sedang berada di Danau Jenewa, Swiss untuk liburan.
ADVERTISEMENT
Kelompok tersebut tidak bisa menikmati aktivitasnya luar ruangan karena selain dingin, situasi saat itu juga gelap dan basah. Anggota kelompok itu antara lain penyair romantis Lord Byron, Percy Shelley, Mary sebagai Kekasih Percy, seorang dokter pribadi Byron yaitu Jhon Polidori dan Claire, saudara tiri Mary. Mary dalam kelompok tersebut merupakan anak dari William Godwin, seorang penulis dan filsuf yang terkenal dan ibunya Mary Wollstonecraft menulis karya feminisme yang juga terkenal.
Terjebak di dalam ruangan membuat anggota kelompok tersebut memikirkan sebuah aktivitas yang bisa dilakukan bersama. Mereka memutuskan untuk membaca kumpulan kisah hantu Jerman. Namun, mereka kebingungan akan melakukan hal apa setelah menyelesaikan buku tersebut. Akhirnya, Byron menantang masing-masing anggota kelompok untuk mengarang cerita hantu, lalu menceritakannya pada yang lain.
Menerima tantangan itu, Polidori akhirnya mengarang cerita vampir, yang pertama kali diterbitkan di dunia. Kisah ini yang kemudian melahirkan genre yang kita kenal sebagai kisah-kisah Count Dracula. Sedangkan bagi Mary, ia justru tak mengembangkan ide dan mengalami kebuntuan dalam menulis.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam tidurnya Mary justru bermimpi hingga mendapatkan sebuah ide untuk ditulis. Dalam mimpinya itu, ia justrus terinspirasi dari penemuan-penemuan seorang ilmuan Italia bernama Luigi Galvani, yang menjelaskan bahwa listrik bisa menyebabkan otot kaki katak yang mati menjadi kejang-kejang.
Maka, Mary menulis sebuah cerita yang berjudul Frankenstein. Dalam cerita Mary menyebutkan ada mahluk setinggi dua setengah meter yang dirangkai dari organ-organ mayat, kemudian disetrum sampai hidup. Tetapi mahluk itu tidak dinamakan Frankenstein, karena itu hanya pengumpamaannya saja.
Frankenstein adalah penyebutan untuk monster, mahluk atau hantu, bukan nama si monster yang sebenarnya dalam cerita. Dalam pendapat beberapa orang, mungkin saja yang Mary maksud sebagai Frankenstein justru sang pencipta mahluk tersebut yaitu Victor Frankenstein dalam ceritanya.
ADVERTISEMENT
Cerita tersebut kemudian berkembang menjadi sesuatu yang dianggap fiksi ilmiah pertama di dunia. Frankenstein diterbitkan dua tahun setelah Tambora meletus dan menggelapkan Eropa.
Mary Shelley yang mendapat nama belakang dari Percy Shelley setelah mereka menikah, kini dikenal sebagai pencipta karya sastra Frankenstein. Karyanya terus mendapat perhatian dalam dunia sastra hingga diceritakan kembali sampai tak terhitung lagi. Karyanya menjelma ke dalam novel dan buku-buku komik, di tampilkan di panggung, dan layar hingga ke ruang kelas.
Menyandingkan Gunung Tambora dengan literasi dalam kegiatan kemah literasi, bisa dibilang satu kecocokan bagi mereka yang ingin menyelami sejarah dan sastra. Kegiatan ini bisa menjadi momentum yang menarik bagi pecinta literasi di Indonesia, khususnya di Dompu dan NTB untuk berkumpul, berdiskusi, mendapatkan kenangan tak terlupakan. Selamat berkemah dan berliterasi di lereng Tambora!
ADVERTISEMENT
-
Intan Putriani