Eksistensi Kopi Tambora, Nasib Petani di Lereng Gunung Tambora Kini

Konten Media Partner
7 Oktober 2019 19:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perkebunan kopi Tambora. Foto: Info Dompu
zoom-in-whitePerbesar
Perkebunan kopi Tambora. Foto: Info Dompu
ADVERTISEMENT
Info Dompu – Kawasan perkebunan kopi Tambora atau kawasan yang berada di lereng Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Dompu di sebelah barat dan selatan, sedangkan wilayah timur dan utara adalah wilayah kabupaten Bima.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Indikasi Geografis Kopi Robusta Tambora Tahun 2015, ada sekitar 724,41 hektare kebun kopi di wilayah Kabupaten Bima dan 533,91 hektare di wilayah Kabupaten Dompu. Saat ini total luas area perkebunan kopi Tambora adalah sekitar 1.258,32 hertare.
Alat pengolahan kopi PT. BABS. Foto: Data indikasi geografis kopi robusta Tambora tahun 2015
Kopi Tambora Dulu
Perkebunan kopi di lereng Gunung Tambora awalnya dibangun oleh pengusaha asal Swedia pada tahun 1932, sekitar 117 tahun setelah letusan maha dahsyat Gunung Tambora yang melenyapkan seluruh penduduk asli Tambora.
Semula, luas perkebunan kopi sekitar 500 hektare di lembah bagian utara gunung dan berada di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Wilayah perkebunan kopi tersebut juga kawasan yang telah disediakan oleh raja Sanggar, Raja Abdullah pada tahun 1813. Raja Sanggar yang pada peristiwa meletusnya Tambora tahun 1815 berhasil menyelamatkan diri bersama keluarganya.
ADVERTISEMENT
Untuk membangun perkebunan kopi Tambora, pengusaha Swedia sengaja mendatangkan pekerja dari berbagai daerah seperti dari pulau Jawa. Daerah-daerah di lereng Tambora kemudian dihuni oleh pendatang yang bermigrasi. Bahkan wilayah yang mereka tinggali di lereng Tambora pun dinamai mirip dengan daerah asal mereka, seperti nama bernuansa Jawa yaitu Sumber Urip atau Sumber Rejo.
Perkebunan kopi di Desa Oi Bura Kabupaten Bima. Foto: Info Dompu
Tahun 1932 juga dibuat perjanjian Konsesi Usaha Pertanaman Kopi di Tambora, hingga menjelang kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, pengelolaan dialihkan kepada perusahaan perkebunan nasional bernama NV. Pasumah. Nama tersebut merupakan singkatan dari nama pemilik perusahaan AM. Pane, Subroto, dan Abdul Muluk.
Perusahaan Pasumah memiliki kantor pusat di Jakarta dan kantor cabang di Kabupaten Sumbawa Barat. Pada tahun 1961 kepala cabang PT Pasumah adalah Salam Hasan yang merupakan anak dari Bupati Bima pada saat itu. Perusahaan ini hanya mampu bertahan hingga tahun 1968.
Kopi siap panen di Tambora. Foto: Info Dompu
Pada tahun 1968 sampai tahun 1970, mantan perusahaan Pasumah kemudian dikelola oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bima. Tahun 1971 sampai tahun 1973 pengelolaannya dilakukan oleh Pemda Bima bersama perusahaan perkebunanan bernama PT Bayu Aji Bima Sena (BABS).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1974 PT BABS dengan dasar Hak Guna Usaha (HGU), BABS dapat mengelola sendiri perusahaan tersebut sampai tahun 2001 sebelum mereka hengkang dari tanah Tambora, lalu menghilang entah ke mana. PT BABS meninggalkan karyawan yang berjumlah sekitar 100 orang.
Petani Kopi Desa Oi Bura, Bima. Foto: Info Dompu
Sepeninggal PT BABS, Pemda Kabupaten Bima kembali mengelola perkebunan kopi Tambora melalui Dinas Perkebunan. Tahun 2014 Pemda Bima kemudian melakukan kerja sama dengan masyarakat Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, dengan sistem bagi hasil yaitu 40 persen untuk Pemda dan 60 persen untuk masyarakat. Hingga kini eks PT BABS yang dikelola oleh masyarakat dan Pemda Bima menjadi Situs Tambora, menjadi bagian dari salah satu Situs Geopark Tambora.
Kopi Tambora Kini
Ketua BUM-Des (Badan Usaha Milik Desa), Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Wahyu, mengungkapkan bahwa petani kopi Tambora saat ini mengalami banyak sepak terjang. Kini petani kopi Tambora kesulitan untuk menjual hasil panen dengan harga tinggi sehingga tidak ada kesejahteraan yang berarti bagi mereka.
ADVERTISEMENT
Meski petani mulai menyadari bahwa dengan memetik kopi saat matang seperti merah buah ceri salah satu cara untuk meningkatkan nilai jual, tetapi hal tersebut akan sangat memakan waktu. Menunggu kopi merah berarti biaya hidup untuk bertahan di kebun akan lebih banyak.
"Harga kopi Tambora sangat memprihatinkan, kadang ada petani yang harus melepas kopi per kilonya belasan ribu saja. Kadang mereka ingin memetik merah tapi tidak ada kejelasan kopi mereka akan dibeli dengan harga berapa nantinya," ungkap Wahyu, Sabtu malam (28/9).
Wahyu Ketua BUM-Des Oi Bura, Kecamatan Tambora. Foto: Info Dompu
Wahyu yang pernah menjadi Kepala Desa Desa Oi Bura di periode sebelumnya, menginginkan adanya program pendampingan secara berkala bagi petani kopi Tambora dan mendesak pemerintah agar segera melakukan pengamanan harga kopi yang membuat resah petani.
ADVERTISEMENT
“Selain pendampingan juga perlu adanya pengamanan harga kopi, supaya petani mendapat kejelasan untuk harga jual kopi saat panen tiba,” ujar Wahyu.
Berbagai keluhan lain petani juga diungkapkan wahyu. Ternyata ada namanya 'pencuri' kopi di kebun saat malam hari, juga ada pe-lele atau penyetok kopi yang memainkan harga hingga petani kebingungan untuk memilih panen hijau, campur atau panen merah, termasuk kendala tidak ada buruh petik saat panen tiba, sedangkan petani sudah kehabisan uang hingga harus mengutang untuk bertahan hidup.
Suasana saat Wahyu dan Abdullah (Kepala Desa Oi Bura Sekarang) sedang menceritakan tentang sepak terjang kopi Tambora. Foto: Ferry Pribadi
Wahyu pada saat ditemui sedang bersama kepala Desa Oi Bura periode saat ini, Abdullah, mereka satu suara untuk menyampaikan bahwa perlu segera ada perbaikan infrastruktur jalan ke perkebunan kopi Tambora. Juga perbaikan jaringan komunikasi, yang kini menjadi salah satu solusi bagi bangkitnya kopi Tambora di era teknologi informasi saat ini.
ADVERTISEMENT
“Saya dua periode jadi Kepala Desa bahkan saya mengundurkan diri karena merasa terlalu lama menjadi Kepala Desa, hari ini saya memilih menjadi petani kopi karena saya ingin kopi Tambora lebih maju. Tapi lihat sendiri akses menuju ke Desa Oi Bura sulit. Jaringan komunikasi juga, di sini tidak ada sinyal, begini-begini saja dari dulu," ungkap Wahyu prihatin.
Wahyu berharap nasib petani kopi Tambora bisa segera diberi perhatian oleh pemerintah daerah maupun Nasional. Apalagi nama Gunung Tambora sudah menjadi salah satu perhatian dunia dengan menjadi Geopark dan Taman Nasional. Namun, nasib petani kopi sangat berseberangan dengan berbagai kemajuan yang ada.
"Tambora ini jangan hanya sejarah meletusnya yang perlu dipromosikan, kehadiran kopi Tambora juga perlu diperhatikan agar dilihat oleh dunia. Ada alasan kenapa orang Swedia membuka lahan kopi di sini, kenapa kita tidak berusaha untuk membangkitkan kopi Tambora? Ya setidaknya, masyarakat Bima dan Dompu tidak meminum kopi dari luar lah," pungkas Wahyu.
ADVERTISEMENT
-
Intan Putriani