Kisah Mahasiswa Asal NTB, Temukan Sungai Dalam Gua Untuk Kehidupan Warga Jateng

Konten Media Partner
5 Mei 2020 10:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Imam sebelah kiri, bersama dua temannya. Dok: Mapala ITN Yogyakarta.
zoom-in-whitePerbesar
Imam sebelah kiri, bersama dua temannya. Dok: Mapala ITN Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Begitu ungkapan kegelisahan salah satu warga Dusun Ngejring Desa Gendayakan Kecamatan Paranggupito Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng) kepada Imam Amarijami Saputra (24) pemuda asal Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan kawan-kawannya.
Imam, yang akrab disapa Ain adalah salah satu anggota tim Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Institut Teknologi Nasional (ITN), Yogyakarta. Bersama 39 anggota timnya, Ain berhasil menemukan aliran sungai bawah tanah dalam Gua Jomblang yang berada di sebelah barat desa setempat. Desa ini sudah puluhan tahun kesulitan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun pertanian. Warga menggantung hidupnya pada air hujan.
Ain menjelaskan beberapa wilayah Kabupaten di selatan Jawa seperti Wonogiri, Purworejo dan Kulonprogo termasuk dalam bentangan daerah kering. Hal itu diduga karena bentangan alam daerah-daerah tersebut berasal dari dasar laut akibat gempa tektonik jutaan tahun lalu, sehingga struktur tanahnya rata-rata mengandung batu gamping (karts).
Gua di Wonogiri, Jateng. Foto: Dok Mapala ITN
Hal itu, katanya, terlihat dari fosil-fosil batu yang di dalamnya terdapat aneka biota laut yang hidup. “Nah, batu gamping ini kan tidak bisa menyimpan air meski ada hujan. Ya mirip kayak karet busa, meski menyerap air tapi airnya akan menetes ke bawah hingga habis. Jadi batu gamping itu memiliki banyak pori-pori sehingga sulit menyimpan cadangan air,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya Dusun Restu Desa Tembalae Kecamatan Pajo Kabupaten Dompu, NTB, Sabtu (2/5).
ADVERTISEMENT
Ain adalah mahasiswa Geologi semester 7 Fakultas Teknologi Mineral ITN Yogyakarta dan baru sebulan terpaksa pulang ke Dompu karena aktivitas kampus diliburkan akibat Virus Corona.
Beberapa warga berseloroh, lanjutnya, bahwa desa mereka bahkan kesulitan air sejak zaman Nabi Adam. Karena itu, ketika Ain dan kawan-kawannya berhasil menemukan sumber air dan menyalurkannya ke pemukiman warga, maka tidak terkirakan kegembiraan mereka. “Mereka melihat air kayak menemukan emas,” ujar Ain menggambarkan suka cita warga.
Gua di Wonogiri. Foto: Dok Mapala ITN Yogyakarta
Ain dan kawan-kawannya pun mulai melakukan survei gua di sebelah barat dusun desa tersebut sejak 7 September 2019 dan berhasil menaikkan air dari perut bumi itu pada 13 Desember 2020. Saat air berhasil dinaikan dari dalam gua warga bersuka cita luar biasa. Mereka juga membawa jeriken dan wadah untuk mengambil air di hari itu juga.
ADVERTISEMENT
“Mereka bersorak haru dan gembira dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saking senangnya. Mereka bahkan menemani kami ngobrol hingga larut malam,” papar Ain.
Dijelaskan, timnya bekerja hingga 3 bulan untuk menuntaskan misi tersebut karena juga harus menjalani kuliah. Ain mengaku hanya Sabtu dan Minggu timnya bisa benar-benar fokus ke lokasi.
Semula, katanya, banyak yang meragukan timnya akan berhasil melakukan pekerjaan tersebut. Gua itu sendiri berbentuk vertikal dan memiliki kedalaman hingga 180 meter sedangkan diameternya mencapai 15 meter, dengan lebar sekitar 5 meter dan panjang 10 meter serta memiliki 2 entrance (lubang atau mulut gua untuk turun).
Dijelaskan, gua vertikal tersebut berbentuk agak bulat memanjang. Meski memiliki 2 entrance, namun di jalur bagian bawah gua terpisah. Ain bersama satu orang temanmya adalah tim pertama yang ditugaskan untuk melakukan observasi turun ke dalam gua.
Sungai dalam gua di Wonogiri. Foto: Dok ITN Yogyakarta
Dikatakan Ain, saat mencapai kedalaman 100 meter ternyata gua tersebut memiliki teras seluas 20 meter, lalu selanjutnya gua berbentuk vertikal. Seluruh dinding gua berbentuk batu karts. Beberapa bagian gua ada yang berbentuk vertikal dan horizontal hingga mencapai genangan air.
ADVERTISEMENT
“Ini berupa sungai di bawah tanah,” ujar Ain takjub.
Ditambahkan, gua tersebut diperkirakan berusia ratusan tahun. Warga setempat juga tidak bisa memastikan apakah di bawahnya ada air atau tidak. Tetapi tanah di sekitar gua terlihat lembab dan beberapa tumbuhan dan pepohonan, seperti bambu, juga terlihat hijau sehingga warga menduga terdapat air di bawah gua.
Begitulah, hingga akhirnya Ain dan timnya mulai melakukan survei hingga ekspolarasi. Ketika kali pertama turun, Ain mengaku agak nekad karena hanya menggunakan satu jalur tali.
“Sesuai standar safety-nya mesti pake 2 jalur tali; satu untuk turun satunya untuk keperluan vertikal rescue sehingga jika terjadi apa-apa di bawah gampang ditarik,” paparnya.
Saat turun pertama, kata Ain, ia dan temannya terpaksa berhenti pada kedalaman 100 meter karena persediaan tali sudah habis. Pekan berikutnya mereka mendapatkan bantuan tali dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) setempat, sehingga survei baru dapat dilanjutkan hingga mencapai air.
Imam bersama temannya di dalam gua di Wonogiri. Foto: Dok ITN Yogyakarta
Di luar dugaan ternyata dia menemukan ada sungai di bawah tanah. Ain dan timnya kemudian melakukan pemetaan terhadap gua dan mengambil sampel air dan diuji di laboratorium UGM untuk mengetahui kadar pH maupun zat kapurnya. Hal itu untuk memastikan air tersebut aman dikonsumsi. Ain juga mengukur debit air melalui metode terjunan sehingga diperoleh hasil 1,5 liter perdetik.
ADVERTISEMENT
Meski sudah turun hingga ke kedalaman 180 meter tapi Ain mengaku tidak mengalami sesak nafas karena hampa udara. Ia juga tidak menggunakan tabung oksigen kecil yang telah disiapkan. Menurutnya, hal itu dimungkinkan ketersediaan air yang mengalir di bawah tanah tersebut bisa menghasilkan oksigen.
“Indikator lain, jika ada binatang lain yang hidup di dalam gua maka itu pertanda ada kehidupan. Sebab binatang juga memerlukan oksigen untuk bertahan hidup. Manusia juga biasanya tidak memerlukan bantuan (tabung) oksigen jika masih ada tanda-tanda kehidupan seperti itu,” jelasnya.
Faktanya, kata dia, di dalam gua tersebut dirinya menemukan beberapa binatang seperti katak, jengkrik, laba-laba, ular bahkan yuyu yakni sejenis kepiting sungai.
Imam saat di dalam gua di Wonogiri. Foto: Dok ITN Yogyakarta
Kemudian, lanjut Ain, setelah memastikan debit airnya mencukupi, akhirnya tim Mapala ITN dibantu dana desa dan donator lain untuk pengadaan sejumlah peralatan seperti pipa paralon, tandon, instalasi, meteran listrik dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Mengingat gua berbentuk vertikal dan sangat dalam, kata Ain, tendon penampung air terpaksa dipasang secara bersambung. Misalnya di dalam gua diletakkan 4 tandon berisi 8 ribu liter beserta mesin pompa. Lalu air ditarik lagi ke bak penampung berkapasitas 8 ribu liter di permukaan mulut gua, serta tandon berukuran 8 ribu liter dipasang di pegunungan dekat pemukiman warga sehingga memudahkan penyaluran air ke rumah-rumah warga.
Desa Gendayakan memang terkenal gersang. Warganya bahkan terpaksa menjual sapi-sapi ternak mereka untuk membeli air untuk kebutuhan rumah tangga, termasuk untuk minum ternak mereka.
Warga Wonogiri. Foto: Dok ITN Yogyakarta
“Harganya Rp 185 ribu per tangki. Setiap warga juga memelihara sapi di belakang rumah mereka. Mereka juga membuat bak penampungan air cukup besar di dekat dapur,” kata Ain.
ADVERTISEMENT
Air yang dibeli, ujar ain, biasanya ditampung di bak tersebut lalu ditarik dengan mesin pompa atau menggunakan timba untuk keperluan dapur dan lainnya. Karena harus membeli air dari desa lain warga memerlukan 2-3 hari untuk mendapatkan air.
Karena itu, alangkah gembiranya warga desa tersebut setelah tim Mapala ITN berhasil menaikkan air ke perumahan warga Gendakayan. Warga juga merasa sangat berterima kasih atas perjuangan Ain dan timnya. Atas prestasinya tersebut Ain dan timnya mendapatkan apresiasi dari kampusnya.
Warga Wonogiri. Foto: Dok ITN Yogyakarta
“Bagi yang belum KKN akan dibebaskan dari kegiatan KKN, sedangkan bagi yang sudah KKN akan dibebaskan biaya wisuda,” terang Ain.
Saat peresmian dan penyerahan pekerjaan pipanisasi air tersebut pihak kampus ITN turut hadir, termasuk unsur pemerintah desa, kecamatan maupun warga desa lainnya. Ain menjelaskan, sumber dana kegiatan tersebut berasal dari Dana Desa setempat, swadaya Padepokan Pengajian Walisongo, serta Djarum Foundation.
ADVERTISEMENT
“Kami hanya menangani urusan teknisnya saja, sedangkan sumber dananya dilakukan masyarakat dan pemerintah desa,” ujarnya. Dia perkirakan total biaya di atas 100 juta. Kini pengelolaan air berada di bawah Karang Taruna desa setempat.
-
Ilyas Yasin