Kisah Pemuda Lokal Ungkap Illegal Logging di Hutan Gunung Tambora

Konten Media Partner
1 Agustus 2019 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sisa-sisa pohon yang ditumbangkan di hutan Tambora. Foto: Doc Pemuda Tambora
zoom-in-whitePerbesar
Sisa-sisa pohon yang ditumbangkan di hutan Tambora. Foto: Doc Pemuda Tambora
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Dusun Garuda menjadi titik pertemuan para pemuda lokal Tambora dengan rekan-rekan peduli wisata Dompu pada Minggu, 21 Juli 2019. Mereka melakukan ekspedisi menuju Air Terjun Rempa Peo di Desa Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu.
ADVERTISEMENT
Air Terjun Rempa Peo dalam bahasa lokal bermakna "menendang-nendang ayam hutan". Di lokasi air terjun ini dipercaya warga sekitar masih banyak ayam hutan yang berkeliaran, saking banyaknya sampai bisa ditangkap dengan cara menendangnya begitu saja.
Air terjun Rempa Peo di Tambora. Foto: Anang Triputra
Taman Nasional Tambora yang juga sudah mendapat predikat 'Geopark' kini juga mendapatkan predikat terbaru, yaitu menjadi salah satu dari 15 Cagar Biosfer Dunia bersama Teluk Saleh dan Moyo.
Ari (nama samaran), pemuda lokal Tambora, bersama rekan-rekannya mengeksplorasi jalur baru pendakian Gunung Tambora melalui Dusun Garuda yang belum terekspos. Selain itu, ada beberapa air terjun di jalur tersebut.
Perjalanan dimulai dari titik kumpul dengan menaiki motor menuju ke dalam hutan. Anang, rekan Ari sebagai pemuda peduli wisata Dompu, memiliki ekspektasi tinggi bahwa kawasan Air Terjun Rempa Peo akan memiliki nilai jual wisata bagi masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
Tim ekspedisi menaiki 5 motor. Di awal perjalanan, mereka melewati perkebunan kopi dan lahan jagung warga, lalu menemukan wilayah perkebunan pepaya. Anang mengungkapkan, sejak melewati perkebunan kopi ia mulai merasa ada yang tidak beres dengan lokasi yang akan mereka kunjungi.
Balok kayu di sungai menuju air terjun Rempa Peo. Foto: Doc Pemuda Tambora
“Sejak dari perkebunan kopi, kami sudah melihat kondisi pembabatan hutan. Hal itu tentu di luar ekspektasi saya, tapi saya tetap berpikir positif, ini mungkin karena dekat pemukiman warga jadi bisa saja kawasan hutan produksi,” ujar Anang saat ditemui pada Selasa (30/7).
Kawasan Hutan Tambora yang luas membuat Anang mendambakan perjalanan yang berbeda dibandingkan dengan jalur pendakian melalui Desa Pancasila yang-- menurutnya--telah mengalami kerusakan lingkungan.
Namun semakin masuk ke dalam hutan, Anang pun kaget melihat kondisi hutan yang rusak. Pepohonan tumbang diselingi beberapa pohon, lalu ada lagi yang tumbang, begitu seterusnya. Batang-batang pohon berdiameter melebihi pelukan orang dewasa tumbang begitu saja.
ADVERTISEMENT
Anang mengaku, setelah tim ekspedisi mencapai titik penyimpanan motor, yaitu di lokasi mata air, ada pemuda lokal yang mengatakan sudah ada desa di kaki Gunung Tambora yang mulai membeli air untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pohon yang sengaja ditumbangkan sebagai cara menandai kepemilikan terhadap kayunya, jadi ditumbangkan terlebih dahulu baru dalam beberapa waktu akan diambil kembali. Foto: Doc Pemuda Tambora
“Sekitar 5 motor masuk ke dalam hutan hingga mencapai titik mata air pertama. Nah, di mata air ini anak-anak Tambora ini mulai bercerita kalau di Desa Pancasila sudah tersebar isu warga membeli air untuk kebutuhan hidup padahal mereka tinggal di dekat hutan yang memiliki banyak mata air,” cerita Anang.
Di lokasi di mata air tersebut, Anang juga mengobrol dengan pemuda-pemuda lokal tentang kerusakan hutan mereka. Namun, hal yang aneh adalah mereka tak menyangka hutan yang mereka lewati mengalami kerusakan separah itu.
ADVERTISEMENT
Apalagi setelah mereka melewati mata air. Saat memasuki kawasan sungai menuju air terjun, Anang juga kaget karena ada lahan kosong bekas pembabatan hutan dalam jumlah besar.
“Saya benar-benar kaget, kenapa di tengah hutan ada lahan kosong, luasnya lebih dari setengah lapangan bola, sedangkan pohon-pohon yang melebihi pelukan orang dewasa banyak yang tumbang. Dari itu saya sudah enggak semangat,” ujar Anang.
Kayu yang sudah dirapikan dan siap diangkut. Foto: Doc Pemuda Tambora
Saat itu, Anang sudah pesimis dengan hasil perjalanan yang akan mereka peroleh. Hutan-hutan tampak rusak, baginya itu kurang menarik agar orang mau datang mengunjungi air terjun “lalu apa yang bisa dijual sebagai destinasi wisata?” keluhnya.
Dalam perjalanan memasuki sungai menuju air terjun pertama--sekitar 300 meter dari tempat penyimpanan motor--ada hal lain yang mencengangkan, yaitu banyak sekali balok kayu yang direndam dalam air sungai yang mereka lewati.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Ari mengatakan tim ekspedisi juga berhadapan langsung dengan pembabat hutan yang mendiami sungai yang mereka lewati.
Kayu-kayu menghalangi aliran sungai sehingga air terjun tampak kecil. Foto: Doc Pemuda Tambora
“Karena saya 'kan merekam, saya didatangi oleh bapak-bapak bawa parang. Dia bertanya saya ngapain dengan kamera. Karena agak takut, di situ saya langsung pura-pura, mengaku sebagai pemuda asal Dompu, bukan pemuda lokal, 'saya mau melihat air terjun di sini', kata saya,” ungkap Ari yang dihubungi, Selasa (30/7).
Anang dan Ari menjelaskan, kayu yang mereka temukan di sepanjang sungai menuju air terjun jumlahnya melebihi 1.000 kubik kayu, bukan 100 kubik saja seperti yang disita oleh Polisi Kehutanan pada 30 Juli 2019.
Ari memastikan kayu-kayu yang mereka temui saat ekspedisi merupakan kayu-kayu hasil illegal logging.
ADVERTISEMENT
-
Intan Putriani