Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Seorang Kakek di Dompu, Hidupi Keluarga dengan Memecah Krikil
15 Desember 2019 10:55 WIB
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Di usianya yang kian senja, tangan Jamaluddin (70) masih terlihat kuat dan lincah mengayunkan palu untuk memecah batu-batu kecil yang menumpuk di sampingnya.
ADVERTISEMENT
Satu per satu batu-batu itu dipukul dengan palu di tangannya. Saat tangan kanannya berayun dan mengangkat benda seberat 5 kilogram itu, tangan kirinya memegang potongan ban berbentuk cekung. Benda itu berfungsi untuk mengunci batu yang hendak dipecah agar tidak muncrat keluar. Dengan satu atau dua kali hantaman saja, batu-batu itu pecah dan menjadi kerikil.
Umumnya warga Desa Kareke, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu, di Nusa Tenggara Barat (NTB) bekerja sebagai pemecah bebatuan sehingga menjadi kerikil. Pekerjaan itulah yang dilakukan Jamaluddin sejak 7 tahun lalu.
Sebelumnya, ayah empat anak ini berprofesi sebagai pengangkut pasir sungai yang berjarak beberapa meter dari rumahnya, dekat Dam Rabalaju.
“Dulu saya biasa mengangkut pasir sungai dengan menggunakan kuda,” ujarnya ketika ditemui sedang memecah batu di pinggir jalan depan rumahnya, Sabtu (14/12).
ADVERTISEMENT
Pasir-pasir itu biasanya diambil langsung dari endapan Dam Rabalaju, dimasukkan ke dalam keranjang bambu yang terpasang di badan kuda lalu menaikkan dan ditumpahkan di pinggir jalan raya untuk dijual. Tetapi, kata Jamaluddin, karena pertimbangan usia anak-anaknya melarang melakoni pekerjaan itu lagi karena dianggap terlalu berat. Untuk mengisi hari tuanya kakek 9 cucu ini pun memutuskan untuk menjadi perajin pemecah kerikil.
Jamaluddin mulai bekerja sejak pagi buta sebelum matahari terik. Di pinggir jalan Lintas Lakey depan rumahnya terdapat tumpukan batu kecil sebesar kepalan anak-anak balita. Palu dan ban berbentuk pipih adalah alat kerja utamanya. Tangannya terlihat berdebu dan kasar karena harus memukul dan memecahkan batu. Ia bahkan tanpa menggunakan kaos tangan, kacamata atau alat pengaman lainnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ia mengaku belum pernah mengalami kecelakaan kerja yang fatal. “Alhamdulillah nak, sejauh ini saya belum pernah mengalami musibah selama menjalani pekerjaan ini,” akunya.
Begitu pula, meski tempat kerjanya di pinggir tikungan jalan raya yang tak terlalu luas, bahkan mepet dengan tebing yang ada di depan rumahnya, tapi ia mengaku selama ini berlangsung aman. “Iya, dari dulu alhamdulillah belum pernah terjadi sesuatu,” terangnya.
Jamaluddin mengaku mendapatkan pasokan batu-batu kecil tersebut dari desa lain dengan harga Rp 400 ribu per truk. Setelah dipecah jadi kerikil, jika ditotal seharga Rp 550 ribu. “Jadi paling selisihnya Rp 150 ribu,” jelasnya.
Meski tidak mendapatkan banyak keuntungan dari usaha ini, tapi ia mengaku tidak punya pilihan lain. Ia terpaksa menjalani pekerjaan itu untuk menghabiskan hari tua.
ADVERTISEMENT
“Yah mau gimana lagi saya tak punya pekerjaan lain kecuali pekerjaan ini,” ujarnya pasrah.
Ditambahkan, selain dirinya terdapat 4 orang tetangganya yang melakoni pekerjaan serupa, bahkan salah seorang adalah pensiunan TNI (purnawirawan).
Jamaluddin menjelaskan, kerikil hasil buatannya dibeli oleh warga yang membutuhkan bahan bangunan seperti untuk mengecor rumah. Dia mengaku tidak mendapatkan pesanan dari kontraktor karena volume produksi kerikilnya yang terbatas, kecuali menerima pesanan perorangan. Warga yang membutuhkan kerikil Jamaluddin biasanya memesan melalui jasa gerobak pengangkut dengan tenaga kuda.
“Satu gerobak harganya Rp 100 ribu,” tandaasnya. Harga tersebut, katanya, masih tergolong murah karena untuk menghasilkan satu gerobak kerikil dirinya harus bekerja antara 2 sampai 3 hari.
-
Ilyas Yasin
ADVERTISEMENT