Kisah Warga NTB Nekat Mudik Menumpang Truk Ekspedisi Demi Jadi Khatib Idul Fitri

Konten Media Partner
28 Mei 2020 10:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sahlan saat menyamar menjadi kurir salah satu ekspedisi. Foto: Dok Sahlan
zoom-in-whitePerbesar
Sahlan saat menyamar menjadi kurir salah satu ekspedisi. Foto: Dok Sahlan
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Bagai lolos dari lubang jarum. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kenekatan Sahlan (27) untuk mudik 3 hari jelang Idul Fitri, Minggu (24/5).
ADVERTISEMENT
Ayah satu anak yang tinggal di Tanggul Angin, Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim), ini nekat pulang kampung lantaran tak kuat menahan rindu dengan kampung halamannya, Desa Daha Kecamatan Hu’u Kabupaten Dompu, NTB. Karena sudah 2 tahun tidak pulang kampung, mahasiswa S2 UIN Sunan Ampel Surabaya ini benar-benar ingin berkumpul dengan keluarga di tanah kelahirannya.
Apalagi, warga dan Kepala Desanya sangat berharap dirinya dapat menjadi khatib Idul Fitri tahun ini. Ditambahkan, ia juga terpaksa menolak permintaan sebagai khatib 5 mesjid di Surabaya dan Sidoarjo demi mudik.
Semula, katanya, 2 bulan sebelum Ramadhan ia sudah memesan tiket pesawat untuk mudik bertiga dengan istri dan bayinya berusia 4 bulan tapi kemudian batal karena Virus Corona (COVID-19). Akhirnya Sahlan, yang berprofesi sebagai penceramah dan pengajar di Surabaya dan sekitarnya ini memutuskan mudik sendirian.
Ilustrasi. Pixabay
Sejak di Surabaya, katanya, banyak rekan maupun jemaahnya yang melarang dirinya mudik.
ADVERTISEMENT
“Kan kasihan nanti ustaz orangtuanya di kampung kalau terjadi apa-apa, antum dari zona merah juga meninggalkan keluarga di sini,” ujar Sahlan menirukan saran dan jemaahnya ketika dihubungi, Selasa (26/5).
Tetapi karena sudah bulat hendak mudiknya, Sahlan tanpa ragu sedikitpun memutuskan untuk pulang ke Dompu. Dia menceritakan bahwa kondisi Jatim, khususnya Surabaya benar-benar lengang karena sedang lock-down.
“Bahkan di Terminal Bungurasih yang biasanya ramai dan besar itu, tak ada satu pun kendaraan. Sepi karena lock-down,” ujarnya.
Bukan hanya di perkotaan, kata dia lagi, suasana sepi karena karantina wilayah tersebut juga sangat terasa hingga ke perkampungan warga. Gang-gang sempit pun banyak yang dipasang portal untuk mengawasi keluar masuk warga asing selama masa karantina wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Untuk menyiasati pemeriksaan petugas selama di perjalanan, Sahlan mengaku, ia menumpang pada truk ekspedisi. Hanya moda transportasi ini yang beroperasi sehingga ia tak punya pilihan lain. Truk ekspedisi yang ditumpanginya tersebut, katanya, mengangkut rupa-rupa barang seperti semen, gula, telur dan lain-lain. Ia menyamar sebagai kernet truk.
Untuk memperkuat penyamaran, selain membantu menaikturunkan barang, dia bahkan mengaku sengaja menyobek bajunya sehingga terlihat seperti kernet.
“Baju bahkan saya pakai terbalik bagian luar dan dalamnya untuk menghindari kecurigaan petugas,” ujarnya lagi.
Sahlan saat di kapal penyeberangan. Foto: Dok Sahlan
Betapapun, katanya, di sepanjang perjalanan dan penyeberangan petugas memeriksa dokumen para pengendara. Repotnya Sahlan sendiri tidak mengantongi surat keterangan sehat satu pun.
Dibandingkan pemotor, katanya, pemeriksaan atas penumpang mobil ekspedisi tidak cukup ketat. Kalau pun yang diminta dokumen paling hanya sopir, sedangkan kernetnya tidak. Menyamar sebagai kernet memudahkan penyamaran Sahlan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, diakuinya tidak mudah juga meyakinkan setiap sopir yang akan ditumpanginya. Apalagi begitu diketahuinya dia berasal dari Sidoarjo, daerah zona merah ke-2 Virus Corona setelah Kota Surabaya. Tapi akhirnya dia selalu berhasil meluluhkan hati sopir.
Di sepanjang perjalanan ia harus selalu satu bahasa dan saling memberi kode kepada sopir dan kernet lain saat pemeriksaan maupun menjawab pertanyaan petugas.
“Kalau tidak, sangat mungkin saya diturunkan di tengah jalan,” ujarnya.
Pemeriksaan di sepanjang perjalanan diakuinya berlangsung ketat. Jika pengendara tidak dapat menunjukkan dokumen yang diminta akan disuruh balik arah atau bahkan dikarantina di lokasi bersangkutan.
Nah, ini yang paling saya takutkan yakni jika dikarantina di tempat pemeriksaan, sebab sudah pasti serba tanggung, nggak bisa sampai di kampung halaman maupun nggak bisa balik ke Surabaya,” terangnya.
Ilustrasi mudik. Foto: Pixabay
Yang paling mendebarkan, katanya, saat pemeriksaan di penyeberangan Kahyangan, Lombok Timur, karena berlangsung agak lama. Untungnya, katanya lagi, hanya sopir yang dicek dokumen maupun pemeriksaan suhu tubuh. Ditambahkan, jika menumpang truk ekspedisi tanpa kernet lebih mudah karena tidak mencurigakan lantaran hanya berdua dengan sopir.
ADVERTISEMENT
Selama 2 malam di perjalanan Sahlan mengaku susah tidur dan gelisah karena tidak membawa dokumen kesehatan tersebut. Dia terpaksa duduk berdesakan di bagian depan truk bersama sopir dan kernet lainnya.
“Repotnya lagi truk ekspedisi yang saya tumpangi ini rata-rata sudah tua dan tak punya kaca samping sehingga kadang kedinginan kalo malam hari,” keluhnya.
Sahlan mengaku 5 kali terpaksa naik turun dari satu truk ke truk lainnya selama di perjalanan. Menggunakan tol laut jalur Tanjung Perak Surabaya hingga Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, Sahlan menumpang satu truk.
Tetapi sejak di Lembar hingga Dompu ia terpaksa gonta-ganti 4 truk. Itu lantaran truk hanya berhenti di daerah tertentu dan tidak semuanya sampai tujuan Dompu.
ADVERTISEMENT
“Ada yang hanya dari Lembar sampai Lombok Tengah, Lombok Tengah hingga Lombok Timur, atau ada yang hanya sampai Sumbawa. Begitu seterusnya, hingga sampai ke Dompu,” ujarnya sambil menjelaskan dirinya tiba di Dompu, Kamis (21/5) pukul 10.00 WITA.
Terakhir ia mengganti truk di wilayah Empang, Sumbawa. Kendati begitu, katanya, dia tidak menunggu lama untuk mendapatkan tumpangan saat harus pindah ke truk lainnya.
Ilustrasi. Pixabay
“Rata-rata saya hanya menunggu sekitar 15 menit bisa langsung dapatkan tumpangan truk. Cuma yang lama saat nunggu truk penyeberangan di Sumbawa. Saya nunggu sejak jam 4 subuh dan jam 7 baru dapat truknya,” kisahnya.
Meski begitu dia bersyukur karena merasa tidak mengalami hambatan berarti jika mengingat perjalanannya yang penuh risiko. Tidak seluruh truk yang ditumpanginya meminta ongkos karena Sahlan ikut membantu mengangkut barang muatan truk.
ADVERTISEMENT
“Paling kalaupun bayar ongkos saya kasih Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu, tergantung jaraknya. Tapi kebanyakan gak bayar karena saya ikut bantu-bantu angkat barangnya,” ujarnya tersipu.
Sahlan mengklaim bahwa kemudahan di perjalanan adalah berkat ridho kedua orangtuanya terutama sang ibu, Siti Asyiah. Dia mengaku, saat hendak mudik ia mengabari ke ibunya dan sangat berharap ridhonya. Dan semua keajaiban tersebut diyakini Sahlan sebagai buah dari doa sang ibu.
“Saya semakin yakin bahwa ridho dan doa seorang ibu lebih tajam dari doanya ulama,” ujarnya sambil mengutip ayat Quran yang menegaskan pentingnya keridhaan orang tua.
Selain harus menyamar dari pemeriksaan petugas, risiko lain kata Sahlan adalah dirinya harus pindah kendaraan tak tentu waktu. Kadang malam dan siang hari bahkan dini hari. Kini, di tengah ketatnya aturan melakukan perjalanan, Sahlan yang hendak balik ke Surabaya 2 pekan lagi memastikan dirinya mungkin akan terpaksa balik dengan menyamar lagi.
ADVERTISEMENT
-
Ilyas Yasin
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!