Komunitas Jejak Literasi Gelar Diskusi Publik Terkait Nasib Literasi di Dompu

Konten Media Partner
17 Mei 2023 11:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pembicara dan peserta diskusi berfoto bersama setelah kegiatan selesai. Foto: Faisal Pratama
zoom-in-whitePerbesar
Para pembicara dan peserta diskusi berfoto bersama setelah kegiatan selesai. Foto: Faisal Pratama
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Info Dompu - Salah satu pembicara pada kegiatan Diskusi Publik tentang kondisi masyarakat di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang masih minim literasi adalah Ilyas Yasin, dosen STKIP Yapis Dompu. Ia memberikan tanggapan terkait acara yang bertajuk “Dunia Kepenulisan, Buku dan Literasi” yang diadakan oleh Komunitas Jejak Literasi Dompu, di Aula Dinas Dikpora Kabupaten Dompu, Selasa (25/4/2023).
ADVERTISEMENT
Ilyas mengungkapkan, polemik dan perebutan identitas budaya dan sejarah antara Bima dan Dompu yang ramai diperbincangkan saat ini dapat menjadi momentum dalam membangkitkan spirit literasi di Dompu. Menurutnya, dari kacamata ilmiah polemik tersebut merupakan sesuatu yang biasa saja sepanjang tidak mengarah kepada semangat fanatisme berlebihan.
“Semangat saling mengklaim apakah Dompu atau Bima lebih tua peradabannya itu bagian dari dinamika. Biasa saja. Itu mirip dengan pertengkaran soal siapa yang pertama kali bikin karpet antara Iran dan Turki,” ujarnya.
Peserta serius mendengarkan paparan diskusi. Foto: Faisal Pratama
Menurutnya meski gejolak sosial di Bima kadang anarkis tapi daerah tetangga tersebut juga lebih dinamis secara politik, ekonomi juga soal literasi. Tanpa bermaksud meremehkan daerah sendiri, Ilyas menyatakan bahwa dalam beberapa hal Bima harus diakui selangkah lebih maju ketimbang Dompu.
ADVERTISEMENT
“Jadi ada beberapa best practices soal literasi yang bisa kita tiru dari teman-teman di Bima,” kata dia. Ilyas lantas menceritakan pengalamannya diajak bergabung dalam kegiatan Mbojo Writers Festival (MWF) pada 2021 yang diadakan oleh Kalikuma Education and Library di Pantai Ule, Kota Bima.
“Meski kegiatannya sederhana, tapi setahu saya belum ada kabupaten atau kota di NTB yang berani menggelar event seperti ini. Bahkan tidak banyak kota di Indonesia yang bikin festival serupa,” ungkapnya.
Ilyas Yasin sedang memberikan paparan. Foto: Faisal Pratama
Ilyas mendorong agar komunitas dan Taman Baca Masyarakat (TBM) tumbuh lebih banyak lagi sebagai cikal bakal agar Dompu dapat menginisiasi festival serupa. Sebab, kata dia, baru ada beberapa komunitas literasi dan TBM yang benar-benar aktif di Dompu saat ini. Menurutnya geliat literasi dapat dimulai dengan hal-hal sederhana yakni menggairahkan aktivitas menulis di sekolah dan kampus-kampus.
ADVERTISEMENT
“Di Bima saya lihat beberapa sekolah melatih siswanya menulis lalu mengumpulkan karya-karya mereka berupa cerpen, puisi atau tulisan popular lainnya untuk diterbitkan jadi buku. Bayangkan, betapa senangnya siswa jika karya mereka bisa melihat dunia. Sekolah bisa mendukung aktivitas literasi seperti ini dengan dana BOS,” katanya sambil berharap untuk meniru konsistensi dan kreativitas pegiat literasi di Bima.
Ditambahkannya, upaya menghidupkan literasi kian menghadapi tantangan berat di tengah era digital sekarang karena anak-anak muda lebih tertarik dengan berbagai konten media sosial popular seperti YouTube, Tiktok, Instagram, Facebook dan lainnya.
“Padahal media sosial jelas sulit menyajikan kedalaman sebagaimana membaca teks seperti buku. Semua peradaban itu itu dibangun di atas buku bukan dengan media sosial,” katanya.
Foto: Faisal Pratama
Meski begitu, kata dia, semua pemangku kepentingan harus saling bahu-membahu membangun budaya literasi di tengah serbuan era media sosial sekarang. Hal itu penting, katanya, karena masyarakat Indonesia tidak melewati tahapan sejarah yang relatif lebih tertata sebagaimana Eropa dari era pertanian, industri, dan informasi.
ADVERTISEMENT
“Sehingga saat masuk ke era informasi budaya baca mereka sudah mapan. Ini berbeda dengan kita, satu kaki masih di era pertanian sedangkan kaki satunya sudah di era informasi sehingga menimbulkan perilaku ganjil karena kita belum siap,” paparnya.
Menjawab pertanyaan, Ilyas menjelaskan bahwa seorang penulis harus memiliki kemerdekaan dan independensi dalam berkarya. “Sebab independensi adalah kemewahan bagi setiap penulis,” tegasnya.
Para pembicara dan moderator pada saat kegiatan. Foto: Info Dompu
Sebaliknya hambatan terbesar dalam menulis adalah jika penulis selalu dihantui rasa takut jika tulisannya diejek, diprotes atau karena mempertimbangkan perasaan orang lain. “Apalagi jika sampai melakukan self-cencor, padahal tindakan itu adalah musibah terbesar bagi seorang penulis bahkan lebih buruk dari kematian,” pungkasnya.
Diskusi publik dibuka oleh Kadis Dikpora Kabupaten Dompu Drs H Rifaid MPd dan dihadiri oleh beberapa Kabid Dikpora, pengelola TBM, puluhan pegiat literasi dan mahasiswa yang sedang mudik. Pembicara lain diskusi ini adalah Muhammad Hidayat, MEd (dosen Universitas Bina Bangsa, Serang, jebolan Adelaide University dan penulis) dan Syafruddin ST MT (dosen STIE Yapis Dompu, ASN, peneliti dan planolog sosial) (IY).
ADVERTISEMENT