Mada Ntana, Sanggar Seni Budaya yang Tak Kunjung Berdaya

Konten Media Partner
1 April 2019 15:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penari sanggar Mada Ntana, Foto: Trip Salam Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Penari sanggar Mada Ntana, Foto: Trip Salam Indonesia
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Desa Ranggo, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu, NTB secara resmi telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Dompu sebagai desa budaya. Penetapan itu setidaknya berdasarkan dua hal yakni adanya tenunan tradisional kain nggoli yang cukup marak saat itu maupun sanggar budaya yang ada di desa tersebut. Salah satu sanggar budaya tersebut adalah Sanggar Mada Ntana yang masih eksis hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Kendati baru diurus akta notarisnya pada 1991 tapi menurut pengurusnya Haji Abdurrahman Wahab (75), sanggar tersebut sudah berdiri sejak 1987. Bersama sang isteri Siti Salmah, mantan sekretaris Dewan Adat Desa Ranggo ini terus berjuang menghidupkan sanggar ini. Di luar mengisi acara-acara seremoni di pemerintahan, sanggar tersebut juga tetap diundang warga memeriahkan acara pernikahan maupun khitanan. Haji Abdurrahman mengakui, soal biaya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat kelas bawah mengundang sanggar dalam hajatan mereka.
“Tapi untuk masyarakat kelas atas sepertinya tidak masalah,” ujar Haji Abdurrahman saat ditemui di rumahnya di desa Ranggo, Senin (25/2).
Dijelaskannya, untuk sekali tampil sanggarnya mematok upah Rp 1 juta hingga Rp 1,7 juta. Tetapi jika diminta tampil di desa Ranggo sendiri berkisar Rp 800 ribu. Dia mengakui biaya tersebut disesuaikan dengan honor untuk personel yang terlibat dalam setiap pementasan. Dalam aksinya Sanggar Mada Ntana terdiri atas 7 pemain music dan 6 atau 8 penari. Selain itu, kata Abdurrahman, pihaknya terpaksa menyewa tenaga pemusik dari luar Ranggo jika saat tampil.
Haji Abdurrahman pemimpin sanggar Mada Ntana. oto: Ilyas Yasin/Info Dompu
“Kami harus menyewa pemusik bagian gendang dan peniup seruling di Dompu karena personil kami belum ada yang mampu dan mahir memainkannya,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Hal itu, katanya, otomatis berpengaruh terhadap biaya, belum termasuk biaya angkut properti dan personel sanggar. Pengeluaran yang cukup besar lainnya adalah tata rias pemain. Bagian ini termasuk memakan waktu lama.
“Bila tampil pukul 15.00 misalnya, maka harus mulai merias sejak pukul 10.00 WITA,” tukasnya. Sejauh ini, kata dia, urusan tata arias ditangani langsung oleh sang isteri yang juga punya kepedulian terhadap kesenian daerah. Sanggar Mada Ntana dikenal unik karena mampu membawakan beberapa jenis tarian tradisional seperti tari “Bongi Monca”, tari “Muna”, tari “Kanggihi Kanggama” hingga tari “Kabou Mantoi”.
Tari “Bongi Monca” adalah tarian penyambutan tamu; tari “Muna” (menenun) adalah kreasi tari yang menggambarkan proses dan aktivitas menenun wanita Dompu zaman dulu sejak dari memintal benang, mengulurkan benang, menenun hingga tercipta selembar kain sarung tradisional nggoli.
Penampilan tari wura bongi monca sanggar mada ntana. oto Trip Salam Indonesai
Sedangkan tari “Kabou Mantoi” menceritakan tradisi lama seperti saat proses melamar gadis yang dilakukan oleh keluarga calon pengantin pria. Tarian ini, menurut Haji Abdurrahman, menggambarkan pentingnya posisi menghormati tamu dengan pertama-tama menyuguhkan pinang dan sirih dalam wadah tertentu.
ADVERTISEMENT
“Jadi dulu, penghormatan atas tamu itu bukan dengan menyuguhkan kopi atau kue melainkan dengan pinang sirih,” ujarnya.
Jika tuan rumah terlambat saja, apalagi tidak melayani tamu dengan bahan pinang sirih maka rombongan tamu akan segera menyindir tuan rumah dengan syair atau patu (pantun) yang disampaikan secara halus.
Sanggar yang dipimpinnya, kata Haji Abdurrahman, sudah sering tampil di kabupaten Dompu maupun di luar daerah. Tahun lalu sanggarnya juga diundang tampil di Surabaya oleh Badan Ekonomi Kreatif Pusat. Keberadaan sanggar ini juga ditopang oleh kiprah anak-anak Haji Abdurrahman yang kesemuanya menyenangi seni tradisional ini.
Bahkan putera pertamanya Khairil Akbar kini mengambil jurusan Seni Tari di Universitas Negeri Yogyakarta. Akbar sendiri dikenal sebagai seniman muda dan berhasil menciptakan beberapa kreasi tari tradisional. Tahun 2018 lalu misalnya, bersama teman-temannya dia menggelar pagelaran “Kabou Mantoi” selama tiga malam di Lapangan Bola Desa Ranggo.
ADVERTISEMENT
Di tengah kepeduliannya untuk terus menghidupkan budaya daerah, Haji Abdurrahman dilanda kegelisahan lantaran ketidakmampuannya untuk menyediakan wahana sanggar sebagai tempat berlatih maupun pertunjukkan. Dia berharap pemerintah daerah membuka matanya akan kelangsungan kesenian daerah. Dia membayangkan, halaman depan rumahnya tersedia sanggar.
“Tidak hanya untuk latihan tapi juga kami bisa menyelenggarakan pertunjukkan sekali sepekan yang bisa dinikmati oleh warga. Itulah impian saya saat ini,” ujarnya.
Jika tempat itu sudah ada dia akan memadukannya dengan kesenian lainnya seperti kareku kandei (memukul lesung) maupun tempat untuk memajang makanan tradisional Dompu.
Diakuinya, sanggarnya beberapa kali mendapatkan bantuan dari Dana Desa tetapi tidak cukup untuk membangun tempat sanggar. Jangan sampai Desa Ranggo sebagai desa budaya justru terlihat tidak berbudaya atau bahkan tak berdaya. Dapatkah Pemda Dompu mewujudkan impian Haji Abdurrahman?
ADVERTISEMENT
Gambar di atas adalah saat Trip Salam Indonesia mendokumentasikan tentang Tari Wura Bongi Monca yang ditampilkan oleh Sanggar Mada Ntana.
-
Penulis: Ilyas Yasin