Mengurai Polemik Sejarah Kelahiran Bima dan Dompu

Konten Media Partner
30 Mei 2019 14:55 WIB
Masyarakat Dompu pada zaman Kesultanan Dompu. Foto: Arsip Facebook Dau Nurhaidah Saraila
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat Dompu pada zaman Kesultanan Dompu. Foto: Arsip Facebook Dau Nurhaidah Saraila
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Hingga kini, polemik ‘klaim’ sejarah dan budaya antara masyarakat Bima dan Dompu masih terus berlangsung. Klaim ini mencakup bahasa, ungkapan, busana, adat, tradisi, hingga kuliner. Tiap kali digelar forum ilmiah mengenai asal mula keberadaan kedua kelompok masyarakat ini, warga yang hadir selalu terbawa emosi lantaran masing-masing saling mengklaim sebagai pemilik sebenarnya. Di media sosial pun perdebatan soal kerajaan mana yang lahir lebih dulu kerap berlangsung ‘panas’.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan Bima, bukti-bukti peninggalan Kerajaan Dompu (dulu disebut Dompo) seperti istana, memang lebih sedikit dan tak berbekas. Hal ini dikarenakan tempat tinggal sultan telah dirobohkan oleh penjajah Jepang pada tahun 1942, ketika Dompu berada di bawah kontrol negara 'matahari terbit' itu.
Sejarah bermula sebelum Jepang masuk, saat dibuangnya Sultan Dompu Muhammad Sirajuddin oleh pemerintah kolonial Belanda ke Kupang lantaran sultan dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Sang sultan dibuang beserta anak dan cucunya hingga terjadi kekosongan kekuasaan. Menurut pemerhati sejarah dan budaya Dompu, Nurhaidah (53), saat itu roda pemerintahan dijalankan sementara oleh pemerintahan Belanda serta perwakilan dua jeneli (semacam camat).
Menurut Nurhaidah, pembuangan sultan beserta anak cucunya adalah bagian dari strategi Belanda untuk melumpuhkan kekuasaan istana.
ADVERTISEMENT
“Praktis roda pemerintahan lumpuh total karena anak cucunya sebagai pewaris ikut dibuang,” jelas Nurhaidah saat ditemui di rumahnya, Kamis (23/5).
Dirinya juga menjelaskan, setelah Dompu dikuasai Jepang, mereka menerapkan kebijakan yang longgar. Anak dan cucu sultan dibolehkan kembali ke Dompu tapi ruang geraknya dibatasi dan dilarang mengaktifkan pemerintahan kesultanan. Sementara Sultan Sirajuddin akhirnya wafat dan dikuburkan di Kupang, tempat yang dikenal dengan nama “Manuru Kupang”.
Makan Sultan Dompu. Foto: Ilyas Yasin/Info Dompu
Pada masa jabatan Abubakar Ahmad, Bupati Dompu tahun 2004, rangka mayat Sultan Sirajuddin dipindahkan dan dimakamkan di depan Masjid Raya Baiturrahman Dompu yang merupakan bekas tempat tinggal keluarga sultan pada zaman dulu.
Masjid Raya Baiturrahman Dompu yang dahulunya lokasi tempat tinggal keluarga Sultan. Foto: Anang Triputra
Menurut Nurhaidah, dulu lokasi Istana Kesultanan Dompu berada di RSUD Dompu yang sekarang. Karena sultan dan keluarganya dibuang ke Kupang, maka istana tersebut tidak ada yang merawat hingga akhirnya dirobohkan oleh penjajah Jepang. Meski sebagian bukti sejarah itu tidak ada lagi, namun terdapat bukti-bukti arkeologis atau artefak sejarah lainnya. Hal tersebut menegaskan bahwa di masa lalu, Dompu merupakan sebuah peradaban besar.
RSUD Dompu, lokasi istana Kesultanan Dompu. Foto: Ilyas Yasin/Info Dompu
Nurhaidah menyebut, misalnya situs Nangasia di Hu’u yang berusia 2500 tahun sebelum Masehi, maupun situs Dorobata yang sedang dalam proses penggalian oleh Balai Arkeologi Nasional Denpasar.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan temuan sementara, situs Dorobata di Kelurahan Kandai Satu, menunjukkan bahwa Dompu pernah menjadi tempat persinggahan dan jalur perdagangan internasional yang ramai.
“Itu terbukti dari ditemukannya tembikar dan keramik yang berasal dari Tiongkok,” ujar Nurhaidah yang masih bagian dari keluarga Kesultanan Dompu itu.
Sebagian kalangan bahkan menyebutkan, berdasarkan bukti-bukti tersebut kehidupan di Dompu sudah ada sejak 6500 tahun sebelum Masehi. Benda-benda tersebut diduga muncul sejak zaman Megalitikum, dilihat dari makam atau perabotan yang terbuat dari batu seperti wadu nocu (lesung batu), wadu kandei (alat tumbuk dari batu), atau kadera wadu (kursi batu), hingga makam raja-raja.
Situs So La Nggudu di Kecamatan Hu'u juga menunjukan sudah adanya peradaban Dompu pada zaman Palaelitikum dan Megalitikum. Ini menjadi bukti bahwa keberadaan Dompu sudah sangat tua.
Potret Masyarakat pada masa Kesultanan Dompu. Foto: Facebook Dae Nurhaidah Saraila
Selain itu, dokumen dan buku-buku yang ditulis sejumlah sejarawan juga menyatakan bahwa Kerajaan Dompu sebenarnya terlahir lebih dahulu ketimbang kerajaan Bima. Nurhaidah menyebut buku karya sejarawan Prancis, Henry Chamber L’oirt atau Profesor Agus Harimunandar, yang diundang Pemda Bima dalam seminar sejarah beberapa waktu lalu. Berdasarkan naskah kuno, kata Nurhaidah, disebutkan Kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Padompo (Dompu, red.) pada 1357 setelah ikrar Sumpah Palapa Gajah Mada. Setelah itu Majapahit menduduki Bima.
ADVERTISEMENT
“Berarti sebelum Bima lahir nama Dompu sebenarnya sudah dikenal karena memiliki sesuatu entah karena perdagangan, rempah-rempahnya, atau mungkin reputasi orang-orangnya di Majapahit. Intinya, tidak mungkin Padompo diserang kalau tidak memiliki kelebihan, kan?” ujarnya.
Berdasarkan catatan naskah “Bo Sangaji Kai” yang dianggap sebagai sumber sejarah Bima, kata Nurhaidah lagi, Kerajaan Bima didirikan oleh Indra Kumala pada 1420 Masehi atau sekitar abad ke-14 atau 15 Masehi.
“Sehingga jelas kan mana yang duluan antara Dompu dan Bima,” katanya sambil menjelaskan bahwa dalam dokumen resmi kerajaan Dompu menggunakan istilah “bahasa Dompu”, pungkasnya.
-
Penulis: Ilyas Yasin
Editor: Intan Putriani