Pemerhati Sejarah: Meluruskan, Perbedaan Bima dan Dompu

Konten Media Partner
30 Mei 2019 23:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nurhaidah, Pemerhati Sejarah dan Budaya Dompu. Foto: Ilyas Yasin/Info Dompu
zoom-in-whitePerbesar
Nurhaidah, Pemerhati Sejarah dan Budaya Dompu. Foto: Ilyas Yasin/Info Dompu
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Sejak abad ke-14 masehi wilayah Sumbawa terbagi dua yakni Sumbawa Bagian Barat (yakni Sumbawa sekarang) dan Sumbawa Bagian Timur yang terbagi atas Kabupaten Dompu dan Bima.
ADVERTISEMENT
Menurut Pemerhati Sejarah dan Budaya Dompu, Nurhaidah (53) menyebutkan bahwa corak kebudayaan masyarakat Bima dan Dompu memiliki perbedaan. Dimana kebudayaan Bima lebih dipengaruhi oleh budaya Bugis Makassar, sedangkan Dompu lebih dominan dipengaruhi budaya Melayu yang Islami seperti terlihat dari busana adat.
Wanita Dompu zaman kesultanan menggunakan busana Rimpu untuk menutup auratnya. Foto: Facebook Dae Nurhaidah Saraila
Mengenai hal ini, Nurhaidah menjelaskan terkait persamaan nama sejumlah daerah di Dompu yang sama dengan nama wilayah Bima seperti Renda, Simpasai, Wawo dan lain sebagainya.
"Itu sebenarnya karena migrasi yang terjadi saat Jepang mendatangkan tenaga buruh pembangunan beberapa bendungan air di Dompu seperti Dam Rabalaju. Para pekerja itu dikelompokkan dan ditempatkan menurut daerah asalnya hingga menjelma menjadi nama wilayah tertentu" ungkapnya.
Begitu pula terkait bahasa, jika saat ini sebagian besar masyarakat Dompu dan Bima lebih mengenal istilah Nggahi Mbojo (atau “bahasa Bima”) itu lebih karena faktor sosialisasi saja.
ADVERTISEMENT
Faktanya, kata dia, apa yang disebut bahasa Mbojo itu adalah bahasa Bima baru, yakni hasil serapan dari bahasa lain seperti Bugis Makassar sehingga terdapat beberapa kosakata yang sama seperti kata kadera (kursi), palulu (serbet) atau masakan palumara. Ia pun menyebutkan bahwa di wilayah Bima sendiri terdapat beberapa bahasa asli seperti bahasa Donggo, bahasa Kolo, bahasa Tarlawi.
Nurhaidah menegaskan dirinya hanya ingin meluruskan sejarah, bukan untuk membangkitkan sentimen kesukuan apalagi mencari musuh.
Potret masyarakat Dompu pada masa kesultanan. Foto: Facebook Dau Nurhaidah Saraila
“Kita hanya ingin sekadar meluruskan sejarah dan tidak mau mewariskan sesuatu yang bohong kepada generasi mendatang, seolah Dompu ini tidak punya kebudayaan sama sekali,” ujarnya prihatin.
Dia juga menyebutkan, Ina Ka’u Mari (Siti Maryam, putri sultan sekaligus sejarawan Bima) mengakui adanya kerajaan Dompu karena hal tersebut adalah fakta sejarah. Nurhaodah menegaskan, Dompu dan Bima berada di bawah kekuatan dan kekuasaan yang berbeda sehingga pasti memiliki catatan kebudayaan yang berbeda pula.
ADVERTISEMENT
-
Ilyas Yasin