Pentingnya Menentukan Genre dalam Menulis Novel

Konten Media Partner
27 Mei 2023 15:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dokumentasi Jejak Literasi Dompu
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Jejak Literasi Dompu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Info Dompu - Meski sebagai karya fiksi, tidak berarti novel sekadar hasil imajinasi maupun merekam situasi sosial yang ada. Namun, penulis harus mempertegas genre yang hendak diperjuangkannya melalui karya tulisnya tersebut. Dengan demikian pembaca akan memahami visi penulisnya, apakah ia menempatkan dirinya sebagai seorang feminis yang memperjuangkan keadilan bagi perempuan, konsen pada isu lingkungan, novel dakwah dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut disampaikan dosen STKIP Yapis Dompu Sugerman, mahasiswa S3 linguistik Universitas Negeri Malang, saat menjadi pembedah pada kegiatan Bedah Novel “Biarkan Mendung Berganti Hujan”. Novel tersebut merupakan karya Rahmawati Azzahra, seorang novelis dan pegiat literasi di Dompu, NTB.
Sedangkan kegiatan bedah novel digelar oleh Komunitas Jejak Literasi Dompu di lantai dua Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kabupaten Dompu, NTB, Minggu (21/5).
Dokumentasi Jejak Literasi Dompu
Menurutnya, terdapat dua kelemahan novel perdana karya Rahmawati tersebut yakni mengabaikan aspek etika dalam salah satu dialog tokohnya maupun penggambaran yang tidak sesuai kenyataan.
“Jawaban tokoh anak Zahra ‘siap boss’ terhadap ayahnya kurang patut, apalagi novel ini mengambil setting budaya lokal Dompu,” kritiknya.
Begitu pun, penggambaran suasana latar dalam novel tersebut. Menurut dia, meski karya fiksi tetapi penulis novel tidak berarti bebas sepenuhnya memberi gambaran suasana dan latar dalam karyanya berdasarkan hasil imajinasi semata.
ADVERTISEMENT
“Sebuah karya fiksi pun harus tetap empiris dan logis,” tambahnya. Menurutnya, karya sastra tidak hanya menggambarkan imajinasi kreatif yang dibangun dari ide pengarang, tetapi juga merupakan refleksi suatu masyarakat.
“Sastra sering ditempatkan sebagai potret sosial,” ujarnya.
Dikatakannya, sastra memberi pemahaman atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi dan harapan-harapan masyarakat yang mencerminkan kondisi sosial budaya bangsanya.
“Karya sastra adalah gambaran fenomena sosial dan budaya yang terjadi dalam kehidupan nyata yang kemudian direspon oleh pengarang. Karena itu, kata Sugerman, sastra yang baik tidak hanya merekam kenyataan yang ada dalam masyarakat begitu saja, tetapi harus memberikan tanggapan terhadap realitas sosial yang dihadapinya. Dalam konteks itu pula, menurut dia, karya sastra dapat menjadi media untuk menyampaikan kritik terhadap realitas sosial yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dokumentasi Jejak Literasi Dompu
“Jika itu dilakukan maka karya sastra sesungguhnya sedang melakukan perannya sebagai kontrol sosial,” ungkapnya.
Itu sebabnya, lanjut Sugerman, banyak karya sastra berisi tentang gagasan-gagasan perlawanan yang ditujukan kepada para pemimpin, pemerintah dan realitas sosial yang dipandang tidak sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat.
Mengutip sosiologi sastra Alan Swingewood, Sugerman menyatakan karya sastra terbagi tiga yakni sebagai dokumen sosial dan refleksi situasi saat karya tersebut muncul; sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya; dan melacak penerimaan masyarakat terhadap suatu karya sastra di waktu tertentu.
Sementara itu Rahmawati Azzahra, nama pena dari Nurahmawati, menjelaskan sebagian isi novelnya merupakan pengalaman pribadinya. Beberapa tokoh dan karakter novelnya juga berasal dari lingkungan pergaulannya.
ADVERTISEMENT
“Novel saya ini bergenre dakwah-romance. Melalui konflik dan masalah berat yang dihadapi tokoh dalam novel ini pesan yang hendak saya sampaikan adalah, biarkan kesedihan, duka, luka dan masalah hadir menjadi airmata, lalu setelahnya akan ada pelangi harapan dan kelegaan,” ungkapnya.
Alumni Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) STKIP Yapis Dompu ini mengungkapkan, beberapa kali dirinya juga sempat kehilangan ide saat menulis novel tersebut. “Saat ide macet saya minta saran ke teman-teman. Mereka bilang, saya harus jalan-jalan hehehe,” ujar Rahma.
Ilustrasi Pixabay
Dia menjelaskan novel tersebut berasal dari event kepenulisan yang diselenggarakan sebuah platform dan diikuti sekitar 100 peserta. Dalam event ini peserta diwajibkan menulis setiap hari selama sebulan. “Saya sendiri menulis menggunakan handphone di event ini,” aku Rahma yang kini menjadi guru honorer pada sebuah SDN di kota Dompu.
ADVERTISEMENT
Dirinya termasuk lolos 20 besar sedangkan sebagian besar peserta lainnya gugur. Setelah melalui proses editing akhirnya novelnya diterbitkan sebuah penerbit indie di Makassar pada 2021. Diakui Rahma bahwa keberhasilannya tersebut memacu semangatnya untuk menulis hingga berhasil melahirkan novel kedua pada 2023 ini.
Kegiatan Bedah Novel diikuti lebih dari 20 peserta yang berasal dari berbagai kalangan yakni pengelola Taman Bacaan Masyarakat, budayawan, dosen, mahasiswa, guru, ibu rumah tangga dan pegiat literasi lainnya. Bertindak sebagai moderator adalah Teguh Wira Sakti, Ketua Komunitas Jejak Literasi Dompu.
Pada akhir kegiatan perwakilan Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kabupaten Dompu Suhriyah Apriani menyatakan, pihaknya senantiasa terbuka bekerjasama dengan pihak manapun untuk menghidupkan kegiatan literasi di Dompu.
ADVERTISEMENT
“Kami senang sekali dan terbuka untuk berkolaborasi demi memajukan literasi di Dompu. Silakan gunakan perpustakaan ini kapan pun,” ujarnya (IY).