Pergeseran Nilai dan Faktor Ekonomi, Pemicu Utama Perceraian

Konten Media Partner
4 April 2019 10:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Perceraian. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perceraian. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Dulu orangtua jika hendak menikahkan anaknya selalu menasehati untuk menutupi dan memaafkan kelemahan pasangan. Selain itu, keputusan memilih pasangan juga melibatkan orangtua. Sekarang tidak lagi keputusan itu ada di tangan anak sendiri, sedangkan orangtua hanya sekedar merestui.
ADVERTISEMENT
Begitulah pandangan Anti Sumiati, Penyuluh Keluarga Berencana sekaligus psikolog dari Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Dompu. Anti menilai pergeseran nilai budaya dan perilaku masyarakat menjadi penyebab meningkatnya kasus perceraian di saat ini.
Ditemui di kantornya Senin (1/4) dia menilai, saat ini telah terjadi banyak perubahan nilai masyarakat menyangkut perkawinan. Banyak nilai yang mulai tergerus. Dia mencontohkan dulu label ‘janda’ itu cenderung dihindari, tapi sekarang dianggap biasa saja.
“Bagi saya ungkapan seperti ‘janda semakin di depan’ itu bukan sekadar lucu-lucuan tapi menggambarkan pergeseran nilai, bahwa menjadi janda cenderung dianggap sebagai hal yang biasa,” ujarnya.
Ia menambahkan, dulu jika anak punya pacar maka orangtua yang menilai baik buruknya, sedangkan sekarang tidak.
ADVERTISEMENT
“Orangtua tidak setuju atau mau melarang bagaimanapun anak akan tetap nekat mengambil keputusan,” ujarnya.
Anti Sumiati, Penyuluh Keluarga Berencana BPPKB Dompu. Foto: Ilyas Yasin/Info Dompu
Pihaknya juga melihat sekarang yang menjadi buruh migran rata-rata mereka yang bercerai. Mereka berpikir daripada hidup dengan pasangan lebih baik cerai dan merasa lebih bebas termasuk keputusan menjadi TKW, meski harus meninggalkan anak.
“Kenapa? Karena yang mengambil keputusan perempuan sendiri. Mereka mencari sendiri informasi tentang jadi TKW, berapa gaji dan lainnya. Lalu dia memutuskan pergi, meski harus meninggalkan anak,” ujar Anti prihatin.
Dalam konsep rumah tangga dulu, harta itu dianggap milik bersama terlepas dari siapapun yang mendapatkannya. Tapi kini sudah berbeda. Dicontohkan, jika suami di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja, red) dan isteri bekerja maka penghasilannya dianggap sebagai miliknya, bukan milik bersama.
ADVERTISEMENT
Menyinggung KDRT, Anti menjelaskan bahwa kasus tersebut terutama dipicu soal komunikasi. Berdasarkan pengalamannya, KDRT fisik dipicu oleh komunikasi yang buruk. Bagaimanapun emosionalnya seorang laki-laki kalau perempuan mengalah KDRT bisa dicegah.
“Laki-laki tidak akan sembarangan memukul jika tidak ada pemicunya,” jelasnya.
Misalnya, saat suami baru pulang kerja, capek dan belum makan lalu mendapat omelan dapat memicu kekerasan. Dalam hal ini, kata dia, perempuan pertama-tama harus mampu melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan tindak kekerasan.
“Tapi jika perempuan sudah bersabar tapi masih dizalimi maka wajar jika ia memutuskan cerai,” pungkasnya.
-
Penulis: Ilyas Yasin