Konten Media Partner

Polemik Joki Cilik, Pemerhati Budaya: Bukan Budaya Dompu Tapi Tradisi

3 November 2019 7:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang joki cilik sedang digendong ayahnya sebelum berpacu dalam arena. Foto: Muhammada Safirah/Info Dompu
zoom-in-whitePerbesar
Seorang joki cilik sedang digendong ayahnya sebelum berpacu dalam arena. Foto: Muhammada Safirah/Info Dompu
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Tewasnya Muhammad Sabilah (9), joki cilik asal Desa Roka Kecamatan Belo Kabupaten Bima, usai terjatuh di arena pacuan kuda di Sambi Nae, Kota Bima, beberapa waktu lalu memicu protes keras kalangan pemerhati anak. Mereka menilai penggunaan joki cilik adalah bentuk eksploitasi terhadap anak.
ADVERTISEMENT
Mereka juga meminta agar joki anak dihentikan. Sementara kalangan pecinta olahraga berkuda berkilah, pacuan kuda dengan joki cilik mustahil dilarang karena sudah menjadi budaya masyarakat Pulau Sumbawa yakni Dompu, Bima dan Sumbawa. Usai insiden maut tersebut Pordasi (Persatuan Olahraga Berkuda) Kabupaten Bima hanya menjanjikan melakukan evaluasi dan meningkatkan standar keselamatan joki.
Joki cilik sedang melaju di arena pacuan. Foto: Muhammad Safirah/Info Dompu
Hingga kini polemik tersebut masih berlangsung. Pemerhati sejarah dan budaya Dompu Nurhaedah (53) menolak jika penggunaan joki cilik sebagai ‘budaya’, sebab baginya tidak mungkin masyarakat mempertahankan sebuah budaya yang membahayakan, apalagi menyebabkan orang lain mati itu dipertahankan.
Dia menolak budaya dipersalahkan atas kasus joki cilik. “Mungkin lebih tepatnya ‘tradisi’ ya bukan budaya,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya, Jumat (1/11). Nurhaedah, yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Dompu, mengaku bahwa keluarganya pada 1970-an juga memiliki kuda pacuan.
Nurhaedah, Pemerhati Sejarah dan Budaya Dompu. Foto: Ilyas yasin/Info Dompu
“Seingat saya dulu jokinya sekitar usia 17 tahun, usia remaja, bukan joki cilik seperti sekarang,” ujarnya. Dia menduga penggunaan joki cilik baru dimulai era 1980-an. “Tak begitu jelas kapan dimulainya joki cilik dan entah alasan apa. Yang jelas dulu joki itu sudah beranjak remaja dan tahu pentingnya sisi safety dalam pacuan kuda,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Nurhaedah menjelaskan, secara historis kuda memiliki posisi penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Dompu. Dikatakannya, berdasarkan fungsinya terdapat tiga jenis kuda yakni kuda beban, kuda pacuan dan kuda pelana. Kuda beban digunakan untuk mengangkut barang termasuk hasil panen, kuda pacuan untuk olahraga dan perlombaan, dan kuda pelana yakni semacam “kendaraan hias” untuk digunakan saat keperluan khusus.
Pacuan kuda dari arah arena start. Foto: Muhammad Safirah/Info Dompu
Di masa kesultanan pun, kata Nurhaedah, olahraga berkuda juga dikoordinir oleh organisasi sejenis Pordasi tetapi jokinya remaja. Dia menduga penggunaan joki cilik baru muncul era 1980-an setelah olahraga ini mulai terorganisir secara rapi.
Pacuan kuda, kata dia lagi, awalnya adalah sejenis hiburan rakyat saat waktu lowong. Selanjutnya makin berkembang sehingga kalangan istana pun dan para elit pun tertarik untuk memelihara kuda.
ADVERTISEMENT
“Tentu saja yang memulai olahraga ini adalah orang dewasa; bapak-bapak untuk mengisi waktu kosong. Suatu masyarakat pasti akan mengambil pilihan dan jenis olaharaga yang dekat dengan lingkungan mereka. Dalam hal ini, pacuan kuda adalah salah satunya,” katanya.
Kuda sedang dipersiapkan menuju arena pacuan. Foto: Muhammad Safirah/Info Dompu
Nurhaedah juga menunjuk seperti tarian tradisional seperti gantau, lepi rahi dan sebagainya semuanya berawal dari permainan orang dewasa. Setelah berkembang sekarang, kata dia, barulah tarian seperti itu dimainkan oleh anak-anak, termasuk anak sekolah.
Berdasarkan asal-usul tersebut, kata dia, jelas olahraga ini bukan mainannya anak-anak sehingga kurang tepat jika dikatakan joki cilik itu budaya.
-
Ilyas Yasin