Sering Tampilkan Atraksi Tradisional Dompu, Sanggar ini Di Ujung Senja

Konten Media Partner
1 April 2019 11:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Papapn nama sanggar Temba Lae, Desa Ranggo, Kecamatan Pajo, Dompu. Foto: Ilyas Yasin/Info Dompu
zoom-in-whitePerbesar
Papapn nama sanggar Temba Lae, Desa Ranggo, Kecamatan Pajo, Dompu. Foto: Ilyas Yasin/Info Dompu
ADVERTISEMENT
Info Dompu - Meski berusaha tampil ceria dan ramah, namun wajah Muchtar M Ali (66) sulit menyembunyikan kegalauannya menyangkut kelanjutan Sanggar Temba Lae yang dipimpinnya saat ini. Pasalnya, sanggar yang telah berdiri sejak 1999 ini mulai ikut ‘lumpuh’ juga sejak dirinya menderita lumpuh (stroke) lima tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Ayah sembilan anak ini menderita gangguan di bagian kaki kiri sehingga sulit bergerak dan berjalan. Setiap pagi ia mengikuti saran dokter untuk berjalan tiap pagi di atas butiran pasir di depan pekarangan rumahnya, Dusun Sigi Desa Ranggo, Kecamatan Pajo Kabupaten Dompu, NTB.
Muchtar bukan hanya pendiri dan pemimpin melainkan juga pemain utama sanggar tersebut sehingga gangguan kesehatan yang dialaminya ikut mempengaruhi juga aktivitas sanggarnya. Sebagai pemain utama, Muchtar harus memperagakan beberapa aksi tarian tradisional buja kadanda, tari toja dan tari pengiring pengantin saat hajatan pernikahan.
Semua jenis tarian yang diperagakan pada dasarnya adalah tarian perang yang berupa gerakan-gerakan tertentu seperti memukul, menghindar, menyerang dan menangkis, melingkar, atau melompat ketika bertarung dengan lawan main.
Muchtar, Pendiri Sanggar Temba Lae. Foto: Ilyas Yasin/Info Dompu
Dalam beberapa kesempatan, kata Muchtar, tak jarang aksi-aksi semacam ini menimbulkan cedera pada para pemain, termasuk dirinya. Diceritakannya, saat sanggarnya diundang ke acara pernikahan warga di Desa Adu Kecamatan Hu’u dirinya mengalami luka di bagian jari tangan karena terkena kibasan pedang lawan.
ADVERTISEMENT
“Karena pedangnya pedang benaran maka ketika terjadi aksi saling menyerang jari saya terluka,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya Kamis (28/3).
Dirinya terpaksa mendapat perawatan medis akibat cedera yang dideritanya. Ditambahkannya, sanggarnya sengaja tidak menggunakan pedang buatan dari kayu atau bahan plastik karena kurang memberikan sensasi saat atraksi berlangsung. Sebaliknya, kata dia, jika menggunakan pedang besi akan menimbulkan bunyi gemerincing saat ujung pedang pemain bertemu.
“Saat pedang beradu malah mengeluarkan kilatan lidah api,” ujarnya menjelaskan alasannya.
Saat tampil membawakan tarian atau aksi Sanggar Temba Lae memiliki 10 orang personel terdiri atas satu orang pemain utama, 6 orang pengiring serta 3 orang pemusik. Untuk sekali tampil sanggar ini dibayar 3-4 juta rupiah. Muchtar mengakui tarif tersebut tergolong mahal tapi itu terkait dengan honorium para pemainnya. Seorang pemain minimal mendapat bagian Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu untuk sekali tampil, belum termasuk biaya carteran mobil untuk mengangkut properti maupun personel. Kadang timnya harus pulang hingga tengah malam jika hajatan warga yang mengundang diadakan pada malam hari.
Peralatan menari sanggar. Foto: Info Dompu
Di tengah kondisinya yang lumpuh Muchtar sulit menepis kegalauan karena tak ada yang bakal mewarisi kesenian tradisional ini jika kelak dirinya tak ada lagi atau sudah tua. Harapannya dua puteranya yang berbakat tapi mereka sibuk dengan pekerjaan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Yang satu orang lagi malah kerja di Malaysia,” ujarnya sedih.
Dia mengakui sanggarnya masih tetap diundang dalam beberapa hajatan warga seperti pernikahan atau khitanan maupun kalangan pemerintahan jika ada tamu yang datang. Tapi penyakit yang menimpanya mempengaruhi kinerja sanggarnya. Sebagai orang yang dituakan dirinya sangat diharapkan tetap hadir di setiap pementasan. “Anak-anak tetap mengharuskan saya hadir meski hanya sekadar duduk atau mendampingi mereka,” ujarnya. Kini posisi Muchtar sebagai pemain utama, untuk sementara digantikan oleh yang lain yang masih muda. Meski begitu, katanya, ketidakikutsertaannya dalam aksi-aksi tarian tetap disayangkan. Beberapa penggemar yang biasa melihat penampilannya selalu menunggunya. Dia menceritakan, ketika diundang tampil di sebuah hajatan keluarga di Bima, Bupati Bima, Haja Dinda Damayanti sempat mempertanyakan ketidakhadirannya.
ADVERTISEMENT
Muchtar dan sanggarnya sudah sering malang melintang di beberapa kegiatan budaya. Sejak 1993 Muchtar mengaku sudah tiga kali diundang dan tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
-
Penulis: Ilyas Yasin