Konten dari Pengguna
Suara Perempuan yang Terkubur di Kolom Komentar
3 November 2025 20:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Suara Perempuan yang Terkubur di Kolom Komentar
Artikel ini menyoroti bagaimana suara perempuan dan kelompok LGBTQ+ sering terbungkam di dunia maya akibat budaya patriarki, komentar seksis, algoritma bias gender, serta minimnya empati digital.Inge Novalia
Tulisan dari Inge Novalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era digital, kita sering memuja media sosial, media sosial sering dipandang sebagai ruang yang demokratis, tempat setiap orang bebas menyuarakan pendapatnya. Namun, bagi banyak perempuan, ruang itu justru terasa seperti medan tempur yang penuh risiko. Di balik layar ponsel, di balik kolom komentar yang tampak remeh, suara perempuan kerap tenggelam oleh serangan berupa komentar seksis, hinaan, atau lelucon misoginis yang dibungkus dalam istilah “candaan dunia maya”.
ADVERTISEMENT
Ruang publik digital yang seharusnya menjadi wadah partisipasi justru berubah menjadi ruang sunyi ketika perempuan mencoba berbicara tentang isu sosial, politik, atau kesetaraan gender. Alih-alih menanggapi isi gagasan mereka, banyak pengguna malah menyerang penampilan, suara, atau cara bicara mereka. Perempuan sering dilabeli “terlalu sensitif”, “suka cerewet”, atau “ingin cari perhatian”.
Fenomena ini sejalan dengan gagasan Muted Group Theory. Pandangan perempuan sering kali terbatasi oleh kaburnya ruang untuk menyuarakan pengalaman mereka sendiri. Akibatnya, perempuan dihadapkan pada dua pilihan, menyesuaikan sudut pandangnya agar bisa diterima oleh logika maskulin yang dominan, atau berusaha menciptakan cara berkomunikasi baru yang lebih mencerminkan pengalaman mereka sendiri.
Dalam dunia digital, pembungkaman itu tak lagi berbentuk larangan eksplisit. Ia hadir dalam bentuk ejekan, pelecehan, hingga komentar yang merendahkan martabat. Akibatnya, banyak perempuan memilih menarik diri, menghapus unggahan, atau bahkan berhenti bersuara di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Melalui Feminist Standpoint Theory, pengalaman perempuan menawarkan perspektif yang penting untuk memahami ketimpangan sosial. Ketika perempuan berbagi cerita tentang pelecehan, kekerasan daring, atau bias di media, mereka sebenarnya sedang mengungkapkan realitas yang tidak bisa dilihat dari posisi dominan. Sayangnya, suara itu sering dianggap remeh, emosional, bahkan tidak rasional padahal justru di sanalah sumber pengetahuan sosial yang berharga.
Namun, ketimpangan suara di dunia maya juga dialami oleh kelompok LGBTQ+. Dalam pandangan Queer Theory, hal ini disebabkan oleh kuatnya norma heteronormatif yang menekan identitas di luar batas “gender tradisional.” Di media sosial, hal itu tampak melalui komentar homofobik dan transfobik yang membuat banyak anak muda LGBTQ+ menjadi korban perundungan siber. Akibatnya, suara mereka yang seharusnya memperkaya wacana sosial justru dibungkam oleh stigma dan algoritma yang belum inklusif.
ADVERTISEMENT
Persoalan ini juga tak bisa hanya disalahkan pada pengguna. Platform digital sendiri turut memperparah keadaan. Algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten yang memicu emosi seperti kemarahan, konflik, dan ujaran kebencian karena dinilai lebih menarik interaksi. Akibatnya, komentar seksis atau serangan daring terhadap perempuan justru mendapatkan panggung lebih luas. Jurnalis perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa mereka kerap menjadi korban serangan siber seperti doxing dan ancaman kekerasan. Dampaknya bukan hanya trauma pribadi, tetapi juga berkurangnya keberanian perempuan untuk tampil dan berbicara di ruang publik, baik di media sosial maupun di media profesional.
Mengapa hal ini penting? Karena ketika perempuan merasa tidak aman untuk bersuara, masyarakat kehilangan separuh dari perspektif yang seharusnya turut membentuk wacana sosial. Ruang digital pun menjadi bias, didominasi oleh suara yang paling keras, bukan yang paling berarti. Ketimpangan komunikasi gender bukanlah persoalan individu, melainkan cermin dari sistem sosial yang masih menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, bahkan di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, membangkitkan kembali suara perempuan di kolom komentar membutuhkan langkah nyata. Platform digital perlu memiliki sistem moderasi yang berpihak pada keadilan gender dan menindak ujaran kebencian berbasis gender. Pendidikan literasi digital juga harus menanamkan nilai empati dan etika berkomunikasi di ruang maya. Dan yang tak kalah penting, masyarakat harus berhenti menormalisasi candaan seksis, karena di balik tawa itu, ada sistem yang terus berupaya membungkam.
Suara perempuan tidak pantas terkubur di kolom komentar. Dunia maya seharusnya menjadi tempat di mana setiap orang tanpa memandang gender, orientasi, atau identitas dapat berbicara dan didengar secara setara serta aman.
ADVERTISEMENT

