Konten dari Pengguna

LENSA GENDER: HAK KESETARAAN GENDER DALAM PANDEMI COVID-19

Inggriana Sahara Bintang
Inggriana Sahara Bintang, lahir di Cirebon, dan sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
8 Juni 2020 12:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inggriana Sahara Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika seluruh dunia dilanda krisis, wabah dengan penyebaran yang sangat mematikan begitu mengganggu stabilitas masing-masing negara. Virus Corona dalam kurang lebih enam bulan terakhir begitu banyak mengubah kehidupan manusia. Tradisi dan adat-istiadat yang telah terbangun selama ribuan tahun yang lalu seketika runtuh, mengalami perubahan.
ADVERTISEMENT
Dampak ketidakadilan bagi masyarakat semakin jelas terlihat. Ketidakadilan terhadap perempuan, kelompok disabilitas, dan juga kelompok ekonomi rendah semakin memburuk karena adanya wabah. Pandemi ini banyak dijadikan ladang bisnis bagi para pemilik modal.
Kesetaraan gender di tengah krisis seringkali tidak diperhatikan, hanya dianggap hal-hal dalam ranah sekunder. Hal ini sangat mungkin memperburuk ketidaksetaraan yang telah ada, dan akan sampai pada memperburuk wabah. Respon terhadap gender sangat dibutuhkan untuk menjadi kepastian bahwa wabah ini berdampak tidak hanya condong kepada satu gender.
Dikutip dari laman Jaringan International Gender Champion, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa, “Respon terhadap pandemi COVID-19 harus peka terhadap gender. Tidak hanya perempuan, anak-anak dan kelompok rentan yang kebutuhannya diabaikan dalam keadaan darurat kesehatan, tetapi 70 persen dari tenaga kesehatan yang merawat terdiri dari perempuan. WHO berkomitmen untuk menggunakan lensa gender untuk terus mengevaluasi dan meningkatkan upaya kami.”
ADVERTISEMENT
Data menunjukkan bahwa wanita lebih banyak bekerja sebagai tenaga medis dan layanan kesehatan. Mulai dari bidan, perawat, hingga tenaga kesehatan masyarakat. Mereka memiliki peran terdepan dalam menghadapi wabah. Sistem kesehatan banyak dialihkan paksa dalam menangani wabah, sehingga bidang perawatan lain menjadi jauh. Inilah yang sering diabaikan, bahwa perempuan tetap membutuhkan sistem kesehatan rutin seperti keluarga berencana, kesehatan menstruasi, perawatan kesehatan ibu.
Resiko terhadap wanita hamil juga sangat mengkhawatirkan, karena mereka membutuhkan fasilitas layanan kesehatan rutin. Kasus perawat hamil yang meninggal dunia saat sedang bertugas menghadapi wabah, harus dijadikan pelajaran agar tidak terulang kasus serupa. Langkah-langkah pengendalian untuk melindungi wanita saat berada dalam unit kesehatan sangat penting untuk diperhatikan.
Partisipasi perempuan tidak hanya berperang dalam dunia kesehatan, terlepas dari itu, perempuan dibutuhkan dalam membentuk kebijakan. Kenyataan bahwa dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, laki-laki yang banyak meng-cover di dalamnya. Ini bisa dilihat dari banyaknya pemberitaan di media massa yang banyak menggunakan sudut pandang laki-laki. Bagaimanapun, aspirasi perempuan juga dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan lebih banyak berperan di bidang medis. Menghilangnya pembahasan gender menyebabkan terpendamnya aspirasi perempuan, resiko bagi tenaga medis perempuan juga sering diabaikan, seperti sensitivitas APD untuk dikenakan saat menjalankan tugas.
Perspektif gender juga berperan penting untuk menunjukkan pengabaian terhadap resiko laki-laki, karena data menunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan terkena COVID-19. Laki-laki memiliki imunitas lebih rendah dari perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa resiko angka kematian laki-laki yang lebih tinggi juga disebabkan oleh gaya hidup seperti perokok ataupun masalah mental.
Menurut United Nations Population Fund (UNPF), bahwa ketidakadilan gender menjadi kunci untuk memahami adanya resiko terhadap kekerasan berbasis gender. Mengingat pemerintah selalu menghimbau untuk bekerja dari rumah, bagi laki-laki yang tabu terhadap pekerjaan domestik rumah tangga menganggap bahwa pekerjaan rumah adalah tugas seorang perempuan, dari sinilah banyak ditimbulkan konflik serta terjadi kekerasan. Pekerjaan domestik seperti menyapu, mengepel, mencuci, itu adalah pekerjaan dasar yang tidak memandang gender.
ADVERTISEMENT
Menanggapi keseriusan dari masalah ini, langkah yang dapat diambil adalah:
1. Memastikan partisipasi perempuan dalam membentuk kebijakan, seperti mengikutsertakan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia masuk dalam Gugus Percepatan Penanganan COVID-19.
2. Data yang harus dipilah berdasarkan gender agar bisa memahami resiko dan dampak dari Coronavirus. Mengingat banyaknya laki-laki yang terinfeksi virus, di luar faktor genetik, kemungkinan disebabkan dari sifat maskulinitas seorang laki-laki, bahwa status mereka sebagai pencari nafkah sangat ditekankan di tengah pandemi ini. Akibatnya, banyak dari mereka yang tetap memilih bekerja di luar demi menafkahi keluarganya.
3. Mengingat banyak tenaga kesehatan yang dialihkan khusus untuk menangani COVID-19, maka langkah yang dapat diambil adalah menempatkan dan memastikan bahwa sumber daya tidak dialihkan dari layanan penting lainnya. Atau jika sangat mendesak, minimal bisa memastikan bahwa layanan kesehatan yang lain juga terpenuhi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai kebutuhan wanita hamil untuk melakukan pemeriksaan secara rutin.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah responsif terhadap gender harus dianggap sebagai tantangan bagi pembuat keputusan yang terlibat dalam manajemen krisis, kesiapan, respons, dan mitigasi. (Gender Champion, 2020)