Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
RKUHP dan Ancaman bagi Perempuan
23 Desember 2022 12:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Inggrid Sarasati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Meninjau Ulang UU KUHP sebagai Sumber Hukum dan Potensi Kriminalisasi terhadap Ruang Hidup Perempuan
ADVERTISEMENT
DPR baru saja mengesahkan RKUHP atau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun, RKUHP ternyata mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Salah satunya adalah tentang hubungan seksual konsensual di luar nikah.
ADVERTISEMENT
Pasal yang dianggap problematik adalah pasal 411 yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Pasal tersebut merupakan delik aduan, yang artinya seseorang tidak dapat dipidana akan hubungan seksual di luar nikah apabila tidak ada yang melaporkan peristiwa tersebut. Di dalam konteks delik aduan, kemungkinan terbesar datangnya suatu aduan perzinaan adalah dari masing-masing pasangan yang merasa dirugikan, misalnya seorang istri atau suami dari seseorang yang melakukan perzinaan.
Beberapa menganggap bahwa pasal tersebut dapat melindungi ikatan pernikahan yang sah. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dhahana Putra, seorang Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM.
ADVERTISEMENT
Ia menganggap pasal 411, 412, dan 413 UU KUHP berlaku apabila terdapat pihak yang mengadukan peristiwa tersebut. Pihak yang berhak adalah suami atau istri yang terikat perkawinan maupun anak atau saudara. Ia bahkan menambahkan bahwa adanya peraturan yang mengatur pidana mengenai kohabitasi dan perzinaan di dalam pasal tersebut untuk menghormati lembaga perkawinan yang diatur juga di dalam UU No 1 tentang Perkawinan Tahun 1974.
Namun, apakah benar demikian? Apabila kita cermati dalam melihat pasal tersebut, banyak permasalahan sosial yang justru dapat diakibatkan oleh pasal 411. Masalah utama di dalam pasal ini adalah hubungan konsensual yang terjadi di antara dua pihak merupakan ranah privat dan bukan ranah publik.
Pasal 411 UU KUHP merupakan bentuk kriminalisasi hubungan konsensual yang sangat berbahaya terutama bagi perempuan. Perempuan sendiri merupakan anggota masyarakat kelas dua di dalam tatanan masyarakat patriarkis. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara kedua paling berbahaya untuk ruang hidup perempuan berdasarkan studi yang dilakukan oleh lembaga riset Singapura, ValueChampion.
ADVERTISEMENT
Masalah sosial pertama adalah adanya potensi kriminalisasi prostitusi. Prostitusi memang belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga seluruh tindakan yang berkaitan dengan prostitusi dapat dikenai sanksi pidana. Namun, hukum harus mampu melihat isu sosial yang ada dengan jeli.
Prostitusi hadir karena ketidakmampuan perempuan dalam mengakses keberdayaan ekonomi. Terdengar klise, karena ketidaksetaraan ekonomi tampaknya hanya sebuah mitos di antara kalangan menengah dan menengah ke atas. Hal itu tidak berlaku bagi perempuan kelas menengah ke bawah. Ketidaksetaraan ekonomi yang dialami perempuan di lapisan kelas terbawah menjadi faktor utama mengapa mereka memilih prostitusi sebagai pekerjaan.
Negara nyatanya gagal menciptakan akses ekonomi yang setara di antara perempuan dan laki-laki. Padahal, hukum negara menjamin kesejahteraan sosial bagi seluruh warganya dalam konstitusi dan UU
ADVERTISEMENT
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Perempuan kelas bawah yang terjebak di dalam pusaran prostitusi harus menanggung tekanan ekonomi, beban moral, dan berbagai lapisan kekerasan seksual yang berdampak pada kesehatan fisik dan mental mereka. Kriminalisasi hubungan konsensual hanya akan menambah beban yang menjadi lingkaran setan di dalam hidup perempuan kelas bawah.
Selain potensi kriminalisasi prostitusi, Pasal 411 juga berpotensi meningkatkan pernikahan anak. Meskipun UU No 16 Tahun 2019 tentang pernikahan telah mengatur bahwa batas usia bagi perempuan dewasa yang dianggap sah untuk menikah adalah 19 tahun, hal itu tidak cukup menyelesaikan masalah pada pernikahan anak.
Contoh yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kasus kehamilan di luar nikah pada anak. Pertama, Pasal 411 dapat mengkriminalisasi korban kehamilan di luar nikah. Anggota keluarga dari pihak perempuan bisa saja melaporkan seorang laki-laki apabila tidak mau bertanggung jawab terhadap kehamilan si perempuan. Adanya unsur perzinaan di dalam delik aduan tadi tentu membuat korban yang sedang hamil dikenai sanksi pidana.
ADVERTISEMENT
UU No 11 Tahun 2012 tentang Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur batas usia seorang anak dapat dikenai sanksi penjara. Anak umur 12 hingga 18 tahun dapat dikenai sanksi pidana maksimal 10 tahun. Namun, Pasal 81 tentang Pidana Pokok dan Pidana Tambahan dalam Undang-Undang tersebut selanjutnya mengatur bahwa penjara merupakan sanksi pidana terakhir bagi seorang anak, apabila pidana lain di dalam Pasal 71 tentang Pidana Pokok dan Pidana Tambahan tidak dapat dilakukan.
Mau tidak mau, jalan terakhir bagi kasus kehamilan di luar nikah pada anak, kalau tidak dipenjara, adalah pernikahan karena aborsi pun diatur sebagai tindak pidana di Indonesia. Apakah hal ini semakin menguatkan pernyataan negara bahwa UU KUHP diciptakan untuk menghormati lembaga perkawinan?
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, di dalam konteks masyarakat patriarki, perempuan yang terpaksa menikah karena hamil di luar nikah harus menanggung tanggung jawab dan beban paling berat dalam perannya menjadi seorang ibu. Perempuan yang belum matang secara umur dan siap secara mental hingga finansial akhirnya harus mengalami kekerasan berlapis, yaitu kekerasan dalam rumah tangga.
Padahal, masalah kehamilan di luar nikah pada anak dan remaja disebabkan oleh absennya pendidikan seksual yang komprehensif dari negara. Alih-alih membuat kebijakan mengenai pendidikan seksual yang komprehensif, DPR malah mengesahkan UU KUHP yang berpotensi meningkatkan masalah sosial. KUHP seperti Undang-Undang yang dibuat untuk menyelesaikan masalah dengan masalah lainnya.
Satu lagi pasal yang bermasalah di dalam UU KUHP, Pasal 264. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan berita tidak pasti, berlebihan, dan tidak lengkap yang dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun.
ADVERTISEMENT
Korban kekerasan seksual tentu saja sangat berpotensi menjadi objek gugatan di dalam Pasal tersebut. Korban yang berusaha untuk speak-up mengenai pengalaman kekerasan yang dialami dapat dituduh menyiarkan berita tidak pasti hingga pencemaran nama baik.
Di dalam masyarakat patriarki, perempuan kerap mengalami victim-blaming karena dianggap lain sehingga pengalaman-pengalaman mereka dianggap tidak valid. Misoginisme, salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan di dalam budaya patriarki menjadi faktor besar terhadap maraknya sikap victim-blaming yang berpengaruh terhadap kondisi psikologis perempuan.
Memang mustahil menganggap Undang-Undang dapat mengakomodir seluruh kepentingan kelompok masyarakat. Namun, hukum sepatutnya dapat menjadi landasan nilai untuk menentukan sikap mengenai bagaimana yang seharusnya. Nilai-nilai yang dijadikan acuan di dalam hukum harus dituangkan dengan hati-hati dan hukum harus peka dalam melihat realita sosial yang hidup di masyarakat. Adanya Pasal 264, 411-413 ini akan semakin mengancam ruang hidup perempuan. Ruang hidup yang aman, inklusif, dan sejahtera tampaknya hanya angan-angan belaka bagi perempuan.
ADVERTISEMENT