Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
Mencari Perdamaian di Tengah Sengketa Tanah Adonara
18 Desember 2024 10:33 WIB
ยท
waktu baca 3 menitTulisan dari Maria Ingridelsya J Kolin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Konflik tanah di Adonara telah berlangsung sejak lama, dimulai dari tahun 1970-an bahkan sebelumnya, melibatkan sejumlah desa di wilayah tersebut. Salah satu sengketa terbaru terjadi pada Senin, 21 Oktober 2024, ketika perang perebutan tanah pecah antara warga Desa Bugalima dan Desa Ilepati, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur. Perselisihan ini dipicu oleh ketidakrelaan warga Desa Ilepati dan Desa Kimakamak atas penyerahan lahan untuk merelokasi warga Kampung Ongabaran (kini Desa Bugalima) akibat bencana banjir pada 1975. Warga Bugalima pun mengakui bahwa tanah itu adalah pemberian resmi dari Pemerintah Kabupaten Flores Timur.
ADVERTISEMENT
Konflik ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 1976, ketika Pemda Flores Timur mulai menangani tapal batas untuk Desa Bugalima dan mengesahkan sketsanya pada 2008. Langkah ini bertujuan menghindari konflik lebih lanjut serta memberikan kepastian hukum atas wilayah administratif. Namun, dalam perkembangannya, pembangunan masyarakat Desa Bugalima melampaui batas wilayah yang telah disepakati. Bahkan, muncul dugaan adanya oknum tertentu yang menguasai lahan secara pribadi dan memperjualbelikannya. Hal ini memicu kemarahan masyarakat Ilepati, yang merasa hak tanah mereka terancam. Akibat konflik ini, Polres Flores Timur mencatat dua warga tewas, empat lainnya terluka, dan 49 rumah dibakar. Situasi baru mereda setelah aparat keamanan mengendalikan keadaan pada Kamis, 24 Oktober 2024, dan pemerintah setempat memediasi kedua belah pihak di Kantor Camat Adonara Barat. Dari pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat menandatangani berita acara penyelesaian konflik, meskipun proses hukum tetap berjalan.
ADVERTISEMENT
Namun, penyelesaian ini dinilai belum menjamin perdamaian. Beberapa pihak menekankan pentingnya mengutamakan hukum adat dalam penyelesaian sengketa, mengingat masyarakat Adonara lebih mempercayai hukum adat dibanding hukum formal pemerintah. Kritik juga disampaikan kepada Pemda Flores Timur yang dinilai gagal mencegah konflik berkepanjangan meski beberapa kali melakukan mediasi. Dilansir dari Kompas.id, Budayawan Flores Timur, Silvester Petara Hurit, menegaskan bahwa relokasi penduduk dan pemekaran desa harus dilakukan secara cermat, memastikan seluruh warga memahami dan menyetujui keputusan tersebut. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan wilayah geopolitik (administrasi pemerintahan) dan geokultural (sejarah dan budaya) untuk menghindari potensi konflik di masa depan.
Sengketa tanah tidak hanya terjadi di Desa Bugalima dan Ilepati, tetapi juga meluas pada hampir seluruh wilayah Adonara. Faktor utama pemicu konflik adalah batas desa yang tidak jelas, hak kepemilikan wilayah, serta sejarah kependudukan. Masalah ini diperparah oleh sertifikasi tanah perorangan yang memfasilitasi pergeseran kepemilikan, baik melalui jual beli maupun pindah tangan, sehingga memperumit situasi. Selain itu, pemekaran desa sering kali dilakukan demi kepentingan politik dan perebutan dana desa, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Kondisi ini menciptakan konflik berkepanjangan yang membutuhkan perhatian serius dan langkah strategis untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks penyelesaian sengketa tanah ini, terdapat dua pendekatan utama, yaitu pendekatan hukum adat dan hukum formal. Hukum adat dianggap lebih relevan bagi masyarakat Adonara karena memiliki kepercayaan yang kuat di tengah masyarakat. Hukum formal pemerintah sering kali tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat karena dianggap tidak memahami budaya dan sejarah lokal. Perbedaan antara dua pendekatan ini dapat memperlambat penyelesaian konflik.
Kasus ini dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah yang perlu meningkatkan koordinasi dengan tokoh adat dan masyarakat lokal untuk mempersiapkan pendekatan yang lebih tepat. Konflik tanah di Adonara bukan sekadar permasalahan batas wilayah, tetapi juga memperlihatkan ketegangan antara tradisi lokal dan kebijakan modern. Karena itu, jika akar permasalahan tidak ditangani dengan baik, konflik serupa akan terus berulang dan berdampak bagi masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT