Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Hak Waris Anak Non-Muslim: Tinjauan Kritis atas Kesetaraan dan Keadilan Hukum
24 Januari 2025 17:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ingrit Dilla Farizna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kewarisan anak non-muslim merupakan isu yang kerap menimbulkan polemik dalam masyarakat plural seperti Indonesia, di mana hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat sering kali bertemu dan saling berinteraksi. Pada konteks hukum Islam, anak non-Muslim dianggap tidak berhak menerima warisan dari orang tua yang beragama Islam, berdasarkan kaidah la yaritsu al-muslim al-kafir wa la al-kafir al-muslim (seorang Muslim tidak dapat mewarisi dari seorang non-muslim, begitu pula sebaliknya). Pendekatan ini menimbulkan pertanyaan kritis terkait implementasi prinsip keadilan dan kesetaraan dalam pembagian warisan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, hukum perdata, khususnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), tidak mempersoalkan perbedaan agama dalam hal pembagian warisan. Hal ini membuka peluang untuk anak non-Muslim memperoleh hak warisnya secara hukum. Namun, praktiknya, konflik sering kali muncul ketika hukum agama dan hukum perdata saling bertentangan, terutama dalam keluarga dengan latar belakang agama yang berbeda.
Narasi ini juga harus mempertimbangkan perkembangan pemikiran hukum Islam modern yang mulai menawarkan solusi melalui konsep hibah wajibah. Konsep ini memungkinkan pemberian hak kepada anak non-Muslim melalui jalur hibah, sehingga tidak melanggar prinsip hukum Islam, tetapi tetap memperhatikan rasa keadilan bagi anak-anak yang berbeda keyakinan.
Indonesia menganut sistem hukum pluralisme, di mana hukum Islam, hukum adat, dan hukum nasional (yang didasarkan pada hukum perdata) hidup berdampingan. Dalam konteks kewarisan, perbedaan prinsip antara hukum Islam dan hukum perdata sering kali memicu konflik, khususnya dalam masyarakat dengan latar belakang agama dan budaya yang beragam.
ADVERTISEMENT
Konflik antara hukum Islam dan hukum perdata mencerminkan ketegangan antara norma agama dan prinsip-prinsip universal dalam hukum nasional. Di satu sisi, hukum Islam berusaha menjaga keutuhan nilai-nilai agama dalam pewarisan. Di sisi lain, hukum perdata mengutamakan prinsip kesetaraan dan keadilan yang berlaku bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi.
Untuk mengatasi konflik ini, pengadilan sering kali menggunakan pendekatan mediasi atau kompromi. Misalnya, dalam kasus tertentu, pengadilan dapat menyarankan penggunaan wasiat wajibah sebagai solusi yang mengakomodasi kedua sistem hukum. Pendekatan ini tidak hanya memberikan hak kepada anak non-muslim tetapi juga tetap menghormati kaidah hukum Islam.
Sehingga Kewarisan anak non-muslim di Indonesia menjadi isu yang kompleks karena melibatkan berbagai sistem hukum yang saling bersinggungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi antara hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat agar dapat mencerminkan prinsip keadilan substantif.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum Islam, aturan terkait kewarisan diatur secara tegas berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an, Hadis, dan ijtihad ulama. Salah satu prinsip utama dalam kewarisan Islam adalah ketidakbolehan pewarisan antara pihak yang berbeda agama, sebagaimana disebutkan dalam kaidah la yaritsu al-muslim al-kafir wa la al-kafir al-muslim. Ketentuan ini didasarkan pada keyakinan bahwa hubungan agama menjadi salah satu syarat penting dalam hubungan pewarisan, selain hubungan darah dan perkawinan.
Namun, pendekatan ini sering dianggap tidak sepenuhnya sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin plural dan kompleks. Dalam beberapa kasus, anak non-muslim yang merupakan keturunan langsung dianggap kehilangan hak warisnya hanya karena perbedaan agama. Hal ini memunculkan pertanyaan terkait bagaimana hukum Islam dapat mengakomodasi keadilan substantif bagi keluarga dengan latar belakang keyakinan berbeda.
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab tantangan ini, beberapa pemikir Islam modern memperkenalkan konsep wasiat wajibah. Konsep ini memungkinkan orang tua memberikan bagian harta kepada anak non-muslim melalui wasiat yang bersifat wajib, meskipun secara formal anak tersebut tidak diakui sebagai ahli waris. Konsep ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 209, yang memberikan dasar hukum bagi pemberian waris kepada pihak yang tidak termasuk ahli waris dalam kewarisan Islam.
Sedangkan dalam perspektif hukum perdata, telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pembagian warisan tidak mempersoalkan perbedaan agama. Hak waris diberikan berdasarkan hubungan keluarga atau perjanjian yang sah, tanpa memandang keyakinan atau agama para pihak. Dalam konteks ini, anak non-Muslim tetap memiliki hak waris dari orang tua yang beragama Islam, selama tidak ada ketentuan khusus yang menyatakan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan hukum perdata cenderung lebih fleksibel dalam memberikan perlindungan hak waris kepada anak non-muslim. Namun, dalam praktiknya, konflik sering muncul ketika hukum perdata diterapkan di tengah masyarakat yang lebih memilih menggunakan hukum Islam sebagai dasar dalam penyelesaian sengketa waris. Hal ini terjadi terutama dalam keluarga Muslim yang memandang hukum Islam sebagai aturan utama yang mengikat.
Salah satu putusan penting adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 368 K/Ag/1995. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung memutuskan bahwa anak yang pindah agama tetap berhak menerima bagian dari harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam melalui mekanisme wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah pemberian harta kepada pihak yang tidak berhak menerima warisan menurut hukum Islam, yang besarnya setara dengan bagian yang seharusnya diterima sebagai ahli waris. Putusan ini memperluas penerapan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang awalnya hanya mengatur wasiat wajibah bagi anak angkat dan orang tua angkat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/AG/1999, Mahkamah Agung menegaskan bahwa ahli waris yang bukan beragama Islam tetap dapat mewarisi harta peninggalan pewaris yang beragama Islam melalui lembaga wasiat wajibah. Bagian yang diterima oleh anak non-Muslim tersebut setara dengan bagian anak yang beragama Islam sebagai ahli waris.
Putusan-putusan tersebut menunjukkan adanya upaya Mahkamah Agung untuk mengakomodasi prinsip keadilan dan kesetaraan dalam konteks kewarisan lintas agama. Dengan menerapkan konsep wasiat wajibah, Mahkamah Agung memberikan solusi yang memungkinkan anak non-Muslim menerima bagian dari harta peninggalan orang tua mereka yang beragama Islam, tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar hukum Islam.
Pendekatan ini juga sejalan dengan semangat Pasal 209 KHI, meskipun pasal tersebut secara eksplisit tidak menyebutkan penerapan wasiat wajibah bagi anak yang berbeda agama. Namun, melalui putusan-putusan tersebut, Mahkamah Agung telah melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dengan memperluas cakupan wasiat wajibah untuk mencakup anak kandung yang berbeda agama dengan pewaris.
ADVERTISEMENT
Yurisprudensi Mahkamah Agung menunjukkan bahwa anak non-Muslim dapat memperoleh hak atas harta peninggalan orang tua mereka yang beragama Islam melalui mekanisme wasiat wajibah. Pendekatan ini mencerminkan upaya peradilan Indonesia dalam menyeimbangkan antara ketentuan hukum agama dan prinsip keadilan serta kesetaraan dalam masyarakat yang pluralistik.