Konten dari Pengguna

Trinitas dalam Tubuh Perempuan: Perawan, Ibu, dan Pelacur

Ingrit Dilla Farizna
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10 Agustus 2023 15:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ingrit Dilla Farizna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hari Anak Perempuan Sedunia. Foto: GoodStudio/Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hari Anak Perempuan Sedunia. Foto: GoodStudio/Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang kita ketahui, perawan, ibu, dan pelacur adalah tiga hal yang saling bertentangan. Perempuan harus perawan untuk dikatakan seorang yang baik-baik, perempuan harus melahirkan dengan normal dan sebisa mungkin menyusui lewat payudaranya sendiri, dan pelacur dianggap sampah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tapi menjadi perempuan tentu tidaklah mudah, sebab terdapat kontrol masyarakat untuk sebisa mungkin menjadi ideal atas peran ketiganya. Bagaimana kontruksi sosial mendikte mereka untuk memenuhi ketiga peran tersebut supaya menjadi perempuan sejati.
Terkadang saya juga bingung dengan pemikiran masyarakat kita. Mereka pintar sekali mengemas hal negatif bercampur dengan hal positif (misalnya, peran pelacur yang dianggap hina oleh mereka, di sisi lain seorang perempuan diajarkan bagaimana memuaskan suami mereka agar tidak kabur dari rumah). Saya rasa kontruksi sosial masyarakat telah berada pada tahap kritis karena mudah membenarkan apa yang dianggap mereka baik tanpa mempedulikan nasib pihak lain.
Kontrol masyarakat selalu menuntut perempuan kepada standar yang harus dipenuhi. Perempuan harus dituntut cantik sealami mungkin, kalau pun ia tidak cantik, ia harus mengompensasikannya dengan pencapaian lain seperti prestasi, akademisi, bakat-bakat. Ia harus menjadi perawan di hari pernikahannya dan menampilkan karakteristik-karakteristik perawan—senantiasa memberikan standar bahwa seorang perempuan harus berperilaku baik dalam bersikap—sepanjang hidupnya.
ADVERTISEMENT
Keperawanan dianggap memiliki korelasi yang erat terhadap kebaikan-kebaikan perempuan lantaran bagi masyarakat “perempuan yang masih perawan” berarti perempuan yang belum melakukan hubungan seksual. Pastinya ia adalah orang yang baik-baik dalam artian berperilaku. Di samping itu, sepertinya masyarakat juga lupa apa arti dari perawan itu sendiri.
Sebagian besar masyarakat menabukan soal perawan dan mengartikulasikannya hanya sebatas “jika berdarah saat berhubungan seksual berarti ia perawan”. Kencanawati dan Shalahiyah (2016: 6) melihat hal tersebut dengan penuturannya bahwa sebuah mitos berkembang sejak zaman nenek moyang kita, tanda keperawanan pasti selalu ditandai dengan keluarnya darah pada saat malam pertama sebagai tanda kondisi selaput dara wanita tersebut masih utuh. Padahal secara medis belum ada patokan secara jelas untuk mencirikan keperawanan seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, kontrol masyarakat memberikan standar kepada perempuan kapan mereka harus menikah. Baik masyarakat modern maupun tradisional, menurut saya standar kapan perempuan harus menikah sepertinya telah menjadi kebiasaan yang tidak akan pernah hilang. Mereka memiliki standar bahwa “perempuan harus menikah pada usia tertentu”. Wajar saja bila saat lebaran tiba perempuan-perempuan yang dianggap memenuhi kriteria menikah selalu ditanya kapan menikah. Haha.
Tidak berhenti sampai di situ, setelah menikah seorang perempuan harus memberikan keturunan dan ketika anaknya lahir ia juga yang dituntut untuk lebih banyak mengurus anaknya dengan baik, menjadi seorang ibu yang penuh cinta sambil menjadi “kekasih” bagi suaminya. Di sinilah kontruksi masyarakat berperan menempatkan perempuan sebagai double burden (peran ganda) dalam masalah seksualitas. Satu sisi perempuan harus merawat dan menyusui anaknya, di sisi lain, perempuan dituntut menjaga kondisi tubuhnya agar tidak melar lantaran bekas melahirkan.
ADVERTISEMENT
Kondisi demikian, mengingatkan kepada saya kepada ungkapan salah satu filsuf bernama Olivia Gazale, dalam bukunya Le Mythe de la virilite, Gazale membahas tentang esensialisasi perempuan dalam trinitas perawan-ibu-pelacur. Perempuan harus mampu menjadi ketiganya untuk memuaskan masyarakat patriarkal. Meskipun ketiganya memiliki sifat yang bertentangan, sebab mana mungkin dalam waktu bersamaan seorang ibu atau pelacur masih bisa tetap perawan?
Tetapi bagaimana pun juga, inilah yang sejatinya dituntut oleh masyarakat kita. Bila seorang perempuan tidak mampu memenuhi ketiga peran tersebut, dirinya cenderung merasa bersalah, yang menyebabkan mereka justru hidup dalam suasana kecemasan dan rasa tidak percaya diri.
Lagi-lagi tentang budaya hidup yang tidak sehat. Psikis perempuan lah yang kerap menjadi korban. Masyarakat patriatkan berhasil menyunting perempuan dengan nilai-nilai kesempurnaan di atas. Mereka membuat perempuan mengalami rendah diri yang kronis bahkan sampai pada ukuran menggerogoti secara perlahan kondisi jiwanya, mengambil ketenangan hidup mereka dengan memainkan bentuk perasaan yang tidak aman dalam relasinya dengan pasangan. Khawatir jika suatu waktu suaminya tertarik dengan perempuan lain jika ia tidak mampu memenuhi ketiga peran, terkhususnya sebagai “pelacur”. Sehingga perempuan dan tubuhnya hidup di bawah kuasa laki-laki.
ADVERTISEMENT
Tak terbatas oleh zaman, masyarakat juga sibuk menjadikan perempuan sebagai sosok yang aktif tidak hanya dalam lingkup domestik. Dari dulu hingga kini, anggapan masyarakat terhadap perempuan tidak pernah berhenti, yang membedakan hanya bentuk perendahannya saja yang dilontarkan. Di era modern, di mana perempuan-perempuan sudah melek dengan karier dan menguatkan finansial secara mandiri.
Masyarakat kerap menyinggung kepada mereka (perempuan) yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Perempuan-perempuan semacam ini dianggap rendah dan bukan kriteria ibu ideal. Lagi-lagi saya bingung dengan kondisi ini, situasi serba salah, dan bagi saya hanya hidup di lingkaran setan saja.
Persaingan di zaman modern membuat perempuan semakin dituntut akan kesempurnaan. Dengan penekanan tambahan bahwa mereka tetap mampu menjaga kecantikan dan kelangsingan tubuh meskipun sudah punya anak. Bahkan salah satu kartun Prancis karya kartunis feminis bernama Emma, menjadi terkenal lantaran sindirannya yang keras. Kartun itu diberinya judul Fallait demander (seharusnya kamu meminta), menggambarkan sekalipun laki-laki sudah mau berpartisipasi dalam tugas-tugas rumah tangga, nyatanya masih saja banyak yang belum berinisiatif, alias masih harus diminta atau diingatkan karena seringkali lupa atau menunda-nunda.
ADVERTISEMENT
Kondisi semacam ini membuat perempuan akhirnya berpacu dengan waktu dan tugas-tugasnya yang berlipat ganda, yang akhirnya membuat mereka akhirnya mengalami kelelahan secara mental. Tak aneh jika banyak sekali perempuan yang terkena depresi, stress, atau anorexia.
Masyarakat begitu membuat seorang perempuan jatuh pada situasi rendah yang kronis. Secara realita, kita tidak memungkiri berapa banyak perempuan yang menjadi korban dari kontruksi semacam ini sepanjang waktu. Kebanyakan perempuan akhirnya harus memilih untuk merelakan hal-hal bahagia yang membuat dirinya justru tersiksa dalam kekecewaan, penyesalan, dan kemarahan.
Misalnya saja pekerjaan, dengan bekerja seorang perempuan paling tidak mengetahui nilai diri yang membuat ia menjadi paham tentang dirinya. memiliki harapan untuk membuatnya mengerti tujuan hidup. Meraih kebahagiaan agar membuat dirinya menjadi tahu makna kehidupan sejati. Terakhir, saya jadi paham maksud Simone de Beauvoir kenapa perempuan harus bersikeras mandiri terutama dalam masalah ekonomi.
ADVERTISEMENT