Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bisakah Membangun Negara Tanpa Utang?
21 Desember 2024 15:20 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ressy Nisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah bertambah Rp 45,5 triliun selama sebulan atau per November 2024. Bertambahnya utang itu seiring dengan kebijakan pemerintah yang telah menarik utang baru atau pembiayaan utang Rp 483,6 triliun hingga 30 November 2024. Nilai tersebut setara dengan 74,6 persen dari target APBN 2024 sebesar Rp 648,1 triliun.(Kumparan, 12/12/2024)
ADVERTISEMENT
Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono dalam konferensi pers APBN KiTa (11/12) mengatakan, pembiayaan utang pemerintah didominasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp 437,2 triliun, setara 65,6 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp 666,4 triliun. Sementara realisasi pembiayaan utang yang berasal dari pinjaman nilainya mencapai Rp 46,4 triliun.
“Realisasi pembiayaan hingga November ini menunjukkan pemerintah terus hati-hati dalam mengelola pembiayaan dengan mempertimbangkan outlook defisit APBN, kondisi likuiditas pemerintah serta dinamika pasar keuangan,” tegas Thomas.
Sistem Ekonomi Kapitalisme Meniscayakan Utang dan Pajak
Dengan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara, sistem ekonomi kapitaslime membuat negara dibiayai oleh rakyatnya sendiri. Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan Negara (RAPBN) tahun 2024, pendapatan negara diestimasikan sebesar Rp 2.802,3 triliun dengan sumber penerimaan terbesar dari pajak sebesar Rp 2.309,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 492 triliun. Dengan kata lain lebih dari 82 persen anggaran pendapatan negara dibebankan pada rakyat melalui pajak.
ADVERTISEMENT
Untuk tahun 2025, Mentri Keuangan Sri Mulyani, menyampaikan target pendapatan negara sebesar Rp 3.005,1 triliun, yang sebagian besar akan digenjot dari pajak dan utang. (Tempo, 11/12/2024)
Dalam Perpres Nomor 201 Tahun 2024, yang resmi ditetapkan pada 30 November 2024, tentang Rincian APBN, Presiden Prabowo Subianto dipastikan akan menarik utang sebesar Rp 775,86 triliun. Dengan rincian sumber utang dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 642,5 tirliun serta pinjaman utang dalam dan luar negeri sebesar Rp 133,3 triliun. Angka tersebut meningkat dibanding target utang tahun ini sebesar Rp 648,1 triliun.
Adapun bunga utang yang harus dibayar pemerintah tahun depan sebesar Rp 552,85 triliun, dengan rincian bunga utang dalam negri sebesar Rp 479,6 triliun dan bunga utang luar negri Rp 55,2 triliun.
ADVERTISEMENT
Debt Trap dengan bunga utang yang semakin besar berimplikasi pada semakin besarnya defisit anggaran 2025, sehingga mendorong pemerintah menarik utang baru yang lebih besar. Selain berimplikasi pada bertambahnya beban rakyat, Debt Trap dikhawatirkan berimplikasi pada kedaulatan negara dalam bidang politik dan semua bidang kehidupan. Badan atau negara pemberi pinjaman dikhawatirkan akan meminta “imbalan” penetrasi politik dan “profit” dalam bentuk lainnya.
Skema pembiayaan negara dalam sistem ekonomi kapitalisme mendudukan pemerintah sebagai regulator. Pemerintah membangun negara dengan uang rakyat melalui pajak dan utang, yang utang bunganya akan dikembalikan lagi menjadi beban rakyat dalam bentuk pajak. Sistem ekonomi swadaya rakyat seperti ini nampak seperti sistem barter pada masa lampau, dengan mekanisme yang lebih rumit.
ADVERTISEMENT
Bisakah Membangun Negara Tanpa Utang?
“Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi, dan (pengetahuan) Allah meliputi segala sesuatu” (Q.S Ali-Imran : 109)
Sistem ekonomi Islam menjadikan harta adalah istikhlaf, Allah swt sebagai pemilik mutlak yang mana kepemilikan (al-milkiyah), pemanfaatan kepemilikan (at-tasharru fil milkiyah) dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah baynan naas) atas izin Allah swt.
Dengan energi ruhiyah inilah, individu, masyarakat dan negara akan cermat dalam mengelola harta. Pemilikan, pengelolaan, dan pendistribusian harta hanya atas izin Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunah melaui kewenangan Khalifah.
Kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi 3 yaitu, kepemilikan individu (melalui mekanisme pasar yang sesuai syariah), kepemilikan umum (barang yang menjadi kebutuhan umum, tambang dalam jumlah besar dan barang yang tidak boleh dimiliki inidvidu), kepemilikan negara (jizyah, kharaj, fa’i, 'uyshur, 20 persen rikaz, harta tanpa ahli waris, harta orang murtad dan berbagai lahan bangunan milik negara).
ADVERTISEMENT
Melalui Baitul Maal, negara menghimpun pendapatan dan pembelanjaan negara yang merupakan harta yang dibolehkan oleh Allah swt bagi kaum muslim. Baitul Maal berisi kepemilikan negara, kepemilikan umum serta zakat.
Kepemilikan umum yang dikelola oleh negara secara mandiri akan menjadi sumber pendapatan negara terbesar. Demikian pula dengan pengolahan kepemilikan negara, digunakan oleh negara untuk mensejahterakan rakyat. Zakat dari para aghniya yang jumlahnya cukup besar mampu menambah pendapatan negara. Sementara dharibah (pungutan) sifatnya insidensial, hanya ditarik ketika baitul maal kosong itupun hanya ditarik pada laki-laki yang kaya.
Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, potensi pendapatan kepemilikan umum yang besar diswastanisasi pada swasta lokal, asing dan aseng sehingga negara tidak mendapat keuntungan maksimal atas pengelolaan kepemilikan umum. Akibatnya, negara membebankan pembiayaan negara pada pajak dan utang.
ADVERTISEMENT
Banyaknya sumber pendapatan negara Islam memungkinkan negara menjalankan perannya sebagai raa’in (pengurus) secara mandiri tanpa membebani rakyat. Sumber pendapatan yang banyak didistribusikan untuk menjamin kebutuhan primer individu (sandang, pangan, papan), kebututuhan primer kolektif (pendidikan, keamanan, kesehatan) serta berbagai mekanisme pembiayaan negara lainnya.
Islam tidak mengenal subsidi, karena kebutuhan primer individu maupun kebutuhan primer kolektif rakyat adalah amanah sehingga akan dipenuhi secara gratis dan terjangkau. Islam juga tidak menerapkan pajak, karena pendapatan negara yang besar sudah sangat memungkinkan terpenuhinya kebutuhan negara serta mampu menjamin kesejahteraan dan hajat hidup rakyatnya.
Wallahu a’lam bishawab.