Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Menggagas Langkah Optimalisasi Penegakan Hukum dan Peradilan
12 Februari 2025 15:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ressy Nisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djajadi Hanan, mengatakan sebanyak 41,6 persen masyarakat menilai penegakan hukum di Indonesia berjalan positif dalam 100 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. (Antaranews.com, 9/2)
ADVERTISEMENT
Dalam rilis survei yang dilaksanakan secara daring, hari Minggu, di Jakarta, Djajadi menyatakan 42,6 persen penilaian positif terdiri dari 4,16 persen menilai penegakan hukum berjalan sangat baik, 36,9 persen berjalan baik. Sisanya, 30,9 persen menyatakan sedang atau biasa-biasa saja, 21,7 persen menilai buruk dan 3,4 persen menilai sangat buruk.
"Yang menilai positif belum mencapai 50 persen. Artinya, belum mayoritas, sementara lebih dari seperempat masyarakat kita menilai penegakan hukumnya buruk," ucap Listyo.
No Viral No Justice
No Viral No Justice, menjadi stigma penegakan hukum dan peradilan di masyarakat. Lambannya respons pihak aparat dalam menangani pengaduan dan keluhan masyarakat membuat masyarakat lebih memilih memviralkan permasalahan mereka dibanding menempuh jalur hukum.
Senada dengan hal tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam Rapat Pimpinan Polri 2025 di Gedung The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Jumat (31/1/2025), meminta jajaran mulai dari pejabat Kapolda, Kepala Satuan Kerja (Kasatker) hingga Kapolres untuk membuat akun media sosial khusus sebagai wadah pelayanan pengaduan masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Sehingga kemudian setiap ada peristiwa, ada kejadian, itu bisa langsung dijawab oleh akun resmi dan tidak menunggu viral. Karena setelah lewat dua hari, tiga hari, kecenderungannya akan menjadi viral," kata Listyo. (Liputan6.com, 31/1)
Keresahan lain yang dialami masyarakat diantaranya penyelesaian hukum yang tidak tuntas bahkan terkesan asal-asalan. Seperti kita ketahui banyak kasus yang tidak tuntas, terutama kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Beberapa kasus korupsi yang belum tuntas seperti korupsi PT ASABRI, PT Jiwasraya, poyek BTS 4G dan berbagai kasus mega korupsi lainnya yang hingga kini belum tuntas.
Selain itu, vonis hukum yang asal-asalan serta dugaan mafia peradilan juga menurunkan kredibilitas penegakan hukum dan peradilan di Indonesia. Sebagai contoh kasus mega korupsi Harvey Moeis senilai Rp 271 triliun yang hanya mendapat vonis 6,5 tahun penjara. Kasus dengan kerugian negara sebesar itu hanya divonis 6,5 tahun penjara, tentu ini sangat tidak logis. Kasus lainnya, dugaan suap terhadap 3 hakim Mahkamah Agung (MA) atas kasasi kasus Ronald Tannur. Kasus-kasus tersebut berimplikasi pada kredibilitas penegakan hukum dan peradilan di mata masyarakat. Jika MA sebagai lembaga peradilan tertinggi terindikasi bisa “dibeli”, lantas kepada siapa masyarakat meminta keadilan?
ADVERTISEMENT
Maka tidak heran jika pada akhirnya masyarakat lebih memilih memviralkan kasus dan keluhannya dibanding mengikuti proses hukum. Masyarakat menilai hukuman sosial melalui media sosial lebih berdampak dibandingkan proses peradilan. Sehingga muncul istilah, “No Viral, No Justice”.
Optimalisasi Penegakan Hukum dan Peradilan
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban dan akan ditanya tentang anggotanya (rakyatnya)” (HR Bukhari)
Petikan sabda Rasulullah saw di atas menegaskan bahwa setiap hamba adalah pemimpin bagi yang dia pimpin. Skala kepemimpinan sendiri memiliki beberapa tingkatan, mulai dari tingkat pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara.
Islam membagi jabatan menjadi dua, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional. Jabatan struktural merupakan jabatan yang bersifat sementara dan memiliki konsekuensi yang sangat berat, namun memiliki pahala yang sangat besar. Sementara jabatan fungsional merupakan jabatan yang dimiliki setiap orang, melekat sepanjang hayat dan tidak pernah lepas darinya.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan jabatan struktural setiap orang penting untuk memperhatikan jabatan fungsionalnya sebagai hamba dari Sang Maha Pencipta, Allah swt. Dengan melandaskan pada iman, setiap orang menjadikan setiap perbuatannya senantiasa dalam pengawasan Allah swt. Sehingga dalam mengambil langkah dan kebijakan dalam rangka taat dan takwa. Dengan demikian, pemangku jabatan struktural akan bertindak sigap, adil, bijak dan takwa, karena langkah serta sikap yang mereka ambil berimplikasi pada pahala dan dosa yang akan mereka terima di hadapan Allah swt.
Setiap pejabat atau pengemban amanah, melandaskan setiap kebijakannya melalui sumber hukum dari Allah swt yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta Ijmak Sahabat dan Qiyas. Dengan sumber hukum tersebut, setiap individu hanya berdaulat kepada Allah swt, Sang Maha Kuasa, serta jauh dari konflik kepentingan atau potensi mencari keuntungan pribadi. Dengan mengadopsi hukum Allah swt, ketetapan hukumnya tetap serta bersifat jawabir (menebus dosa) dan zawajir (membuat efek jera). Dengan demikian, pelaku, petugas dan hakim menjalankan penegakan hukum dan proses peradilan secara adil dan bijaksana sesuai ketentuan Allah swt.
ADVERTISEMENT
Wallahu a'lam bishawab.