Konten dari Pengguna

Paradoks Efisiensi Anggaran dalam Kabinet Gemuk

Ressy Nisia
Kepala Unit di Bimba AIUEO Kertasari, Ciamis Pengamat Isu Aktual Kebangsaan, Pegiat Literasi
19 Februari 2025 18:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ressy Nisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi APBN (Sumber : Foto Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi APBN (Sumber : Foto Pribadi)
ADVERTISEMENT
Instruksi Presiden No 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Tahun Anggaran 2025 yang diterbitkan pada 22 Januari 2025, menetapkan Kementerian Keuangan akan memangkas anggaran sebesar Rp 306,6 triliun dari 16 pos pengeluaran. Terdiri atas Rp 256,1 triliun belanja kementerian dan lembaga, serta Rp 50,5 triliun dana transfer ke daerah.
ADVERTISEMENT
Menurut Setri Yasra, sebagaimana dilansir Tempo.co (14/2), pemangkasan anggaran dilakukan karena kekeliruan penyusunan APBN 2025 oleh Joko Widodo dan tim ekonominya. Selama 10 tahun menjabat sebagai Presiden utang negara bertambah hampir Rp 6.000 triliun, melonjak 224 persen. Dalam 5 tahun ke depan utang pokok dan bunga serta Surat Berharga Nasional (SBN) yang jatuh tempo sebesar Rp 3.036 triliun, yang pada tahun ini harus dibayar Rp 803,5 triliun. Selain itu, dalam APBN 2025 masih terdapat pos anggaran mercusuar alokasi bujet IKN (Ibu Kota Nusantara) sebesar Rp 14,4 triliun dan program populis MBG (Makan Bergizi Gratis) sebesar Rp 71 triliun.
Di sisi lain, penerimaan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama negara meleset akibat bermasalahnya Cortex sebagai sistem perpajakan digital terbaru. Dampaknya, hingga Januari 2025 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya bisa mengumpulkan 20 juta faktur dengan penerimaan pajak Rp 50 triliun, lebih rendah dari periode yang sama pada tahun 2024 dengan perolehan 60 juta faktur dengan penerimaan pajak Rp 172 triliun.
ADVERTISEMENT
Defisit anggaran berdampak pada keuangan kementerian dan lembaga tidak memiliki dana untuk melaksanakan program yang dirancang. Bahkan untuk sementara, dalam dua bulan ini pembelanjaan negara menggunakan sisa anggaran 2024 sebesar Rp 45,5 triliun. Yang kemudian melatari pemangkasan anggaran dengan dibalut istilah efisiensi anggaran.
Blunder Efisiensi Anggaran
Efisiensi anggaran terkesan paradoks, di saat pelayanan publik, pendidikan hingga infrastruktur dasar sebagai objek vital negara terdampak efisiensi, tatapan masyarakat tertuju pada kabinet gemuk Prabowo.
Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, menyatakan tambunnya kabinet Prabowo berpotensi memboroskan anggaran Rp 39,55 triliun hingga Rp 158,21 triliun untuk tahun 2025 saja.
Selain itu ada 17 lembaga yang tidak terdampak efisiensi, 3 diantaranya, Kementrian Pertananan, Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung. Sehingga memunculkan dugaan masyarakat adanya lobi pada pihak istana dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) atas lembaga-lembaga tersebut.
ADVERTISEMENT
Efisiensi anggaran sekilas tampak rasional ketika disandingkan dengan defisit anggaran. Namun menjadi paradoks, karena pemangkasan anggaran terkesan tanpa kriteria, pilih kasih dan potensi keborosan atas gemuknya kabinet yang diusung.
Buruknya Pengelolaan Keuangan Negara
Menyandarkan pemasukan utama pada utang dan pajak merupakan konsekuensi dari mengemban sistem ekonomi kapitalisme. Menjadi bencana ketika penerimaan pajak mengalami penurunan karena 80 persen APBN disokong melalui pajak. Di sisi lain, jatuh tempo utang pokok dan pinjaman negara yang ekstra besar sudah menanti. Maka tidak heran jika pada akhirnya negara kalang kabut mengambil langkah pemangkasan atau efisiensi anggaran.
Sebagai raa'in (pengurus), negara dinilai lalai mengelola keuangan negara. Warisan utang membengkak periode lalu, kurang matangnya proyeksi pejabat baru dalam menghadapi tantangan membuat negara kalang kabut. Pemenuhan kebutuhan rakyat diambil dengan mengurangi jatah anggaran kebutuhan vital lainnya. Sehingga muncul keresahan dan kegaduhan pada masyarakat. Tidak hanya itu, efisiensi anggaran berdampak terancamnya kenyamanan dalam pemenuhan hak dasar masyarakat dan menurunnya konsumsi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Islam, politik ekonomi Islam mengarah pada bentuk masyarakat yang ingin diwujudkan sebagai asas pemenuhan kebutuhan. Dengan berlandaskan iman dan takwa, negara sebagai raa'in berkewajiban dalam memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakatnya secara menyeluruh dan sempurna. Karenanya Islam memiliki banyak pos pendapatan negara, diantaranya kepemilikan umum yang dikelola negara (tambang, air, padang rumput), kepemilikan negara (kharaj, jizyah, pungutan), zakat, fa'i, 1/5 rikaz dan berbagai sumber pendapatan lainnya.
Dengan banyaknya sumber pendapatan negara, negara akan mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat secara menyeluruh dan sempurna. Sebagaimana pernah dicontohkan Khalifah Umar ibn Khatab ra, beliau turun langsung memanggul gandum untuk masyarakatnya yang tidak memiliki makanan. Beliau pun memastikan semua jalanan bagus, sampai suatu hari beliau pernah menangisi keledai yang terperosok karena jalan berlubang. Sikap beliau merupakan wujud tanggung jawab kepala negara atau Khalifah terhadap semua makhluk yang dipimpinnya, termasuk keledai.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, seorang Khalifah merupakan raa'in bagi masyarakat akan dipertanggungjawaban dihadapan Alloh swt. Sehingga, kebutuhan setiap individu masyarakat bukan pilihan, melainkan suatu kewajiban yang harus dipenuhi secara menyeluruh dan sempurna. Tata kelola keuangan negara dari mulai pendapatan, distribusi hingga konsumsi harus merujuk pada hukum syara' sebagai bentuk ibadah dan takwa kepada Allah swt. Dengan demikian Islam mewujud bukan hanya sebagai rahmat bagi manusia tetapi rahmat bagi seluruh alam.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS An-Nisa : 58)
Wallahu a'lam bishawab.
ADVERTISEMENT