Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sengkarut Persepsi Kemiskinan : Beda Data, Sama Derita
7 Mei 2025 13:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ressy Nisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Isu kemiskinan kembali mengemuka seiring laporan Bank Dunia yang menyebut sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan internasional yakni USD 5,5 per hari berdasarkan paritas daya beli (PPP). Temuan ini mengundang respons beragam dari pemerintah, lembaga internasional, hingga para ekonom.
ADVERTISEMENT
Standar Bank Dunia dan BPS
Menurut Bank Dunia, standar USD 5,5 (sekitar Rp 85.000,-) per hari digunakan untuk negara-negara berpendapatan menengah atas, seperti Indonesia. Penetapan tersebut mengacu pada daya beli minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar, bukan hanya untuk bertahan hidup tetapi juga untuk hidup layak. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan nasional, yang hanya mematok sekitar Rp500 ribu per kapita per bulan. Dengan pendekatan Gross National Product (GNP) dibagi jumlah penduduk.
Perbedaan metodologi ini menjadi pangkal sengkarut persepsi. Di mata pemerintah, angka kemiskinan menurun. Tetapi di mata internasional, mayoritas warga Indonesia masih masuk kategori miskin.
Sejumlah pihak menilai perdebatan ini mengaburkan substansi. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengkritik Menteri Keuangan Sri Mulyani yang terkesan melempar tanggung jawab ke BPS. Di sisi lain, IMF dan Presiden Prabowo Subianto mencoba meredam polemik dengan menekankan perlunya melihat data dalam konteks pembangunan.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan Struktural dalam Sistem Kapitalisme
Akar masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah dari persepsi sistemik yang mengakibatkan kemiskinan struktural.
Sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi saat ini memfokuskan pada bagaimana memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas. Sehingga metode yang ideal untuk mendistribusikan kekayaan adalah dengan meningkatkan produksi. Dengan menjadikan struktur harga sebagai pengendali distribusi, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan standar kelayakan hidup berdasarkan pada kemampuan untuk berinvestasi pada produk barang dan jasa. Sehingga, kaum kapitalis (pemilik modal) memiliki potensi memperoleh harta secara tidak terbatas.
Hal ini sejalan dengan temuan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Bambang Widianto, selaku Sektertaris Eksekutif TNP2K mengatakan, "1 persen orang kuasai 50 persen aset Nasional, jika dinaikan jadi 10 persen keluarga, maka ini menguasai 70 persen. Artinya, 90 persen penduduk sisanya memperebutkan 30 persen sisanya. Itu yang perlu dikoreksi." (Detik.com, 9/10/19)
ADVERTISEMENT
Oxfam, sebuah LSM dari Inggris pun mengilustrasikan, harta 4 orang terkaya di Indonesia setara dengan akumulasi harta kekayaan 100 juta penduduk. Temuan ini berdasarkan data publik kepemilikan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan yang dilansir setiap bulan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dikombinasikan dengan data kepemilikan rekening versi Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI). Sebanyak 53 persen atau Rp 4.231 triliun dari total DPK perbankan yang mencapai Rp 8.049 triliun dimiliki oleh 0,02 persen populasi penduduk Indonesia. (CNBC, 8/2/23)
Kapitalisme menjadikan kekayaan terkonsentrasi di tangan pemilik modal. Negara hanya berfungsi sebagai regulator pasar, bukan penjamin kesejahteraan. Akibatnya, akses terhadap tanah, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak kurang terjangkau bagi kalangan bawah. Kemiskinan pun tidak lagi sekadar soal kurang pendapatan, tetapi soal distribusi kekayaan yang timpang secara sistematis.
ADVERTISEMENT
Solusi Islam: Distribusi, Bukan Sekadar Pertumbuhan
Islam tidak hanya menekankan zakat sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga menetapkan peran negara sebagai penjamin kebutuhan dasar seluruh rakyat dari mulai sandang, pangan dan papan hingga kebutuhan dasar kolektif berupa rasa aman, kesehatan dan pendidikan.
Sistem Islam mendorong distribusi kekayaan melalui pelarangan riba, larangan monopoli, serta pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk kepentingan publik. Dalam sistem ini, negara wajib memastikan tidak ada satu pun warga yang hidup telantar atau kelaparan. Khalifah perlu memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhan pokoknya secara menyeluruh dan sempurna. Ini sangat berbeda dengan pendekatan neoliberal yang menyerahkan urusan kesejahteraan ke mekanisme pasar. Sehingga standar kemiskinan bukan hanya data, tetapi pemenuhan kebutuhan dasar individu per individu secara menyeluruh dan sempuna.
ADVERTISEMENT
Islam pun mengatur harta dalam 3 kepemilikan yaitu, kepemilikan individu, negara dan umum. Dengan demikian, kepemilikan individu bersifat terbatas sehingga tidak memungkinkan adanya ketimpangan sosial akibat penguasaan harta secara berlebihan oleh pemilik modal.
Kemiskinan bukan sekadar hasil kurangnya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga akibat dari faktor kegagalan distribusi. Diperlukan upaya peninjauan ulang fondasi sistem ekonomi bukan hanya mempercantik statistik. Karena dalam kebijakan publik, data hanyalah alat bantu, sehingga negara didorong untuk menghadirkan keadilan sosial bukan sekadar memenangkan narasi.
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al-Bukhari)
Wallahu a'lam bishawab.