Konten dari Pengguna

Upaya Hegemoni Kapitalisme Dibalik Perang Dagang AS-Cina

Ressy Nisia
Kepala Unit di Bimba AIUEO Kertasari, Ciamis Pengamat Isu Aktual Kebangsaan, Pegiat Literasi
20 April 2025 13:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ressy Nisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi World Trade (Sumber : Foto Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi World Trade (Sumber : Foto Pribadi)
ADVERTISEMENT
Menurunnya perekonomian dan peningkatan pengangguran di AS (Amerika Serikat) mendorong Presiden AS, Donald Trump, menerapkan tarif resiprokal 10 persen bagi setiap komoditas impor yang masuk ke Amerika Serikat serta tambahan tarif senilai defisit perdagangan AS dari setiap negara.
ADVERTISEMENT
Langkah tersebut merupakan politik ekonomi proteksionis AS untuk menumbuhkan perekonomian dalam negeri, terbukanya lapangan kerja dalam negeri, serta upaya realokasi perusahaan-perusahaan AS yang berada di luar negeri agar tercipta balanced trade (keseimbangan perdagangan).
Di sisi lain, upaya Trump tersebut merupakan langkah politik hegemoni AS untuk unjuk diri "Now you know, who is the boss?", hingga mengundang banyak negara mendatangi Trump untuk bernegosiasi.
Dorongan tersebut disebabkan pemberlakuan dolar sebagai mata uang internasional yang membuat seluruh transaksi ekonomi global membutuhkan dolar sebagai alat pembayaran. Sehingga mau tidak mau setiap negara membutuhkan dolar untuk berbagai transaksi keuangan global seperti devisa, pembayaran utang dan perdagangan global. Bea impor yang mahal akan berpotensi berkurangnya impor ke AS yang secara otomatis akan mengurangi jumlah dolar yang beredar di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Terkecuali Cina, sebagai rival utama AS, Cina menantang AS dengan memberlakukan tarif retaliasi (tarif balasan) atas barang impor AS ke Cina. Tarif reproksikal AS sebesar 145 persen dibalas oleh Cina dengan tarif retaliasi 125 persen, yang memicu kemarahan Trump hingga mengancam akan menaikan tarif sampai dengan 245 persen. Namun Cina tidak bergeming, dengan pangsa pasar yang luas Cina merasa percaya diri komoditas yang tidak diterima AS dapat dialihkan ke negara-negara lain.
Dampak Perang Dagang AS - Cina
"Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah", nampaknya peribahasa ini cocok untuk menggambarkan kondisi perekonomi global saat ini.
Perang dagang antara AS dan Cina bukan sekadar konflik tarif, tetapi kompetisi strategis dua kekuatan besar dunia yang melibatkan dimensi ekonomi, teknologi dan geopolitik.
ADVERTISEMENT
Pada Geopolitik dan Ketahanan Ekonomi Indonesia, perang dagang menyebabkan gangguan rantai pasok global. Indonesia yang bergantung pada ekspor bahan baku ke Tiongkok dan AS menghadapi penurunan permintaan. (Kemhan.go.id, 16/4)
Direktur Ekonomi Digital, CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Najlul Huda, juga mengatakan penerapan tarif resiprokal berdampak pada penurunan permintaan. Dengan defisit perdagangn 64 persen, Indonesia dikenakan tarif resiprokal 32 persen. Dari 32 persen tersebut terjadi penurunan permintaan hingga 24 persen atau setiap kenaikan 1 persen setara dengan penurunan permintaan 0,8 persen. Sehingga dapat menurunkan produktivitas dalam negeri yang selanjutnya berdampak pada efisiensi bahan baku bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai dengan 1,2 juta pekerja. Selain itu, menurunnya permintaan dan kenaikan harga akan berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah ke tahap yang mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Cengkraman Hegemoni Kapitalisme
Berakhirnya kolonialisme tidak menghentikan imperialisme di dunia. Imperialisme modern ini tidak mengangkat senjata, tetapi memperebutkan pangsa pasar perdagangan. Kapitalisme yang menggejala di seluruh penjuru dunia membuat setiap negara berlomba memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan menguasai pangsa pasar perdagangan.
Meskipun upaya hegemoni AS mendapat tandingan dari Cina, namun keduanya masih berada di perahu yang sama yaitu kapitalisme. Perang tarif hanya sebagian kecil dari upaya dua negara adidaya menancapkan hegemoninya.
Perdagangan merupakan aktivitas ekonomi sektor riil yang hanya menyumbang 10 persen dari perekonomian kapitalisme, 90 persen lainnya berasal dari sektor non riil berupa spekulatif, derivatif, crypto spekulatif, pasar uang dan berbagai transaksi non riil lainnya sebagai alat penjajahan ekonomi. Artinya, masih ada potensi yang lebih besar bagi para kapitalis menguasai dunia melalui penguasaan sektor non riil.
ADVERTISEMENT
Mitigasi Krisis Ekonomi Global
Sistem ekonomi kapitalisme mengarah pada peningkatan kekayaan negara secara total dengan meningkatkan produksi setinggi-tingginya. Sistem ini membiarkan rakyatnya secara bebas bekerja untuk memproduksi dan mengumpulkan kekayaan. Dengan terpenuhinya pendapatan nasional, akan terjadi distribusi pendapatan melalui kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja bagi anggota masyarakat.
Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam, tujuan perekonomian Islam adalah kemashalahatan umat, distribusi pendapatan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan setiap individu secara sempurna, sesuai nash-nash syariat.
Aktivitas ekonomi Islam hanya berjalan pada ekonomi sektor riil seperti perindustrian, pertanian, perdagangan dan berbagai sektor ekonomi riil lainnya. Islam secara tegas mengharamkan aktivitas ekonomi non riil seperti riba, derivatif, spekulatif dan aktivitas ekonomi non riil lainnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Islam menggunakan emas dan perak sebagai mata uang yang sah. Pemilihan emas dan perak sebagai mata uanh merupakan perintah Allah swt dan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw sebagai bentuk ketaatan dan ketakwaan. Selain itu emas dan perak merupakan alat tukar yang memiliki nilai instriksik riil, bersifat stabil dan tidak bisa dicetak sembarangan sehingga akan terhindar dari inflasi dan monopoli mata uang negara lain.
Praktik ekonomi luar negeri Islam dipandu oleh politik Islam. Dalam menjalankan perdagangan luar negeri, Islam tidak melihat berdasarkan komoditas tetapi pelaku perdagangan. Dengan berdualat pada syariat, Khalifah akan menentukan siapa saja yang dibolehkan melakukan aktivitas perdagangan dengan negara. Kkalifah juga akan menentukan komoditas apa saja yang dibolehkan dalam aktivitas perdagangan terhadap pelaku perdagangan yang dibolehkan oleh syariat.
ADVERTISEMENT
Salah satu tujuan utama perdagangan luar negeri Islam adalah menyebarkan dakwah Islam. Dakwah dimaksudkan agar Islam menjadi pedoman dalam berbagai aspek kehidupan sehingga Islam mewujud sebagai rahmatan lil alamin. Bukan hanya panduan ibadah ritual saja, aturan yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah ini menjadi problem solver bagi permasalahan ekonomi, sosial, hukum dan berbagai persoalan kehidupan lainnya. Sehingga menyebarnya aturan Islam akan mampu menjawab setiap pesoalan individu dan kolektif manusia.
Dengan jumlah penduduk Muslim yang besar, bonus demografi yang terletak di jalur startegis perdagangan dunia dan sumber daya alam yang melimpah, negeri-negeri Muslim yang terintegritas berpotensi menjadi negara adidaya tidak tertandingi.
Bangkitnya negeri-negeri Muslim dalam politik dan ekonomi Islam, diharapkan mampu membawa kaum Muslimin terbebas dari cengkraman hegemoni kapitalisme, memiliki sistem politik ekonomi yang independen dan terciptanya kemashlahatan umat.
ADVERTISEMENT
Wallahu a'lam bishawab.