Konten dari Pengguna

Media Massa dalam Era Modern: Komersialisasi Hingga Budaya Konsumtif Masyarakat

Inney Silda Latifah
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas
21 Oktober 2024 13:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inney Silda Latifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Picture by Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Picture by Pixabay
Media massa memberikan arus dan perputaran informasi yang sangat deras tentunya secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat seperti cara berkomunikasi, pembentukan opini publik, budaya konsumsi masyarakat, perubahan dalam identitas diri, gaya hidup bahkan sampai pada norma sosial. Arus deras informasi yang diberikan oleh media massa kepada masyarakat memberikan dan berdampak sebagai bentuk ketergantungan masyarakat dengan media massa. Hal ini didukung oleh salah satu teori komunikasi yaitu teori Ketergantungan Media atau Media Dependency Theory yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur pada tahun 1976. Teori ketergantungan media menyatakan bahwa individu maupun kelompok pada dasarnya bergantung pada media untuk memenuhi kebutuhan mereka baik untuk informasi, hiburan, orientasi dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT

Komersialisasi Media Massa

Menyadari ketergantungan masyarakat modern terhadap media massa, hal ini tentunya menjadi peluang besar untuk menciptakan keuntungan finansial sebesar-besarnya. Peluang ini dimanfaatkan oleh media massa dimana aktivitas media terhadap khalayak tidak lagi menganggap para masyarakat sebagai audiens yang harus diberikan informasi dan edukasi, tetapi sebagai konsumen yang harus dipuaskan. Hal ini bisa dilihat dari media yang menghadirkan konten yang hanya sesuai dengan kebutuhan atau hal yang disukai oleh para khalayak saja sehingga dapat meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa melihat asas manfaatnya (Adila dan Prasetya, 2020). Hal tersebut dilihat dari aspek komersialisasi dimana struktur, proses, berserta isi dari media diatur oleh keinginan dari para audien dan hanya berdasarkan profit oriented. Banyak fenomena yang bisa kita lihat dari berbagai konten hiburan yang tidak bermanfaat seperti konten prank yang berlebihan, konten yang mengandung clickbait, konten game, vlog artis yang memperlihatkan hedonisme, acara infotaiment gosip dan lain-lainnya. Selain dari fokus konten, media massa juga berfokus pada rating, iklan dan sponshorship untuk memaksimalkan keuntungan mereka.
ADVERTISEMENT

Konglomerasi Media Massa

Selain itu, media massa menjadi unsur peluang dalam meningkatkan keuntungan finansial dilihat dari aspek konglomerasi. Konglomerasi adalah fenomena sekelompok orang yang mempunyai kepemilikan di beberapa perusahaan media serta memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dalam perusahaan (Adila dan Prasetya, 2020). Konglomerasi ini tentunya memiliki kontrol banyak informasi dan produk media, sehingga dapat menciptakan keuntungan yang besar karena diversifikasi produk seperti platform media, televisi, radio, layanan streaming dan media sosial. Selain itu akan meningkatkan efesiensi biaya produksi informasi dan mempermudah komunikasi karena kepemilikan media mengacu pada kelompok konglomerat dan membentuk suatu grup media. Dibalik semua keuntungan finansial oleh kelompok tersebut, ekonomi politik memiliki cara pandang tersendiri terhadap media yang tertarik pada bentuk-bentuk perluasan konsentrasi perusahaan media, terutama sangat tertarik dengan kepemilikan yang merupakan elemen utama dalam definisi konsentrasi media, karena perhatian konsentrasi kepemilikan dapat membatasi arus informasi dengan membatasi keberagaman produksi dan distribusi (Rustandi & Yusanto, 2021).
ADVERTISEMENT
Dengan konglomerasi dapat melemahkan fungsi kontrol media, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemilik. Media Indonesia dan Metro TV enggan memberitakan keterlibatan pemiliknya Surya Paloh dalam kredit macet Bank Mandiri. ANTV dan TVONE tak mau memberitakan lumpur Lapindo yang melibatkan perusahaan Bakrie yang sekaligus pemilik kedua televisi itu (Rustandi & Yusanto, 2021). Bayangkan, jika sebagian besar informasi yang dikonsumsi masyarakat berasal dari satu grup media besar, bagaimana bisa kita mengharapkan berita yang disajikan tetap obyektif dan tidak bias? Ini menciptakan situasi di mana narasi yang diproduksi media cenderung memihak kepentingan pemilik modal ataupun satu kubu politik, dan masyarakat menjadi penerima pasif dari informasi yang telah dikurasi untuk mendukung status quo. Hal ini adalah bukti dari dampak negatif konglomerasi yang mengubah arus informasi dan bersifat merugikan.
ADVERTISEMENT

Media Sosial dan Konsumerisme Digital

Sementara itu, sistem ekonomi kapitalis atau borjoius pada saat ini berkembang secara global yang memberikan dampak semakin terbukanya persaingan dan pergeseran fungsi pemerintah dalam pendistribusian. Herbert Marcuse menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern, ideologi kapitalis telah menciptakan kondisi dimana masyarakat terjebak dalam keragaman pemikiran dan tindakan yang mendorong konsumsi dan reproduksi kapitalisme (Putri et al., 2024). Masyarakat, terutama anak muda Indonesia, kini dibombardir dengan pesan-pesan yang mendorong mereka untuk membeli lebih banyak, mengikuti tren terbaru, dan mengukur kesuksesan pribadi melalui barang-barang yang mereka miliki. Media sosial telah menjadi platform yang sangat kuat untuk menciptakan budaya konsumsi yang tak henti-hentinya didorong oleh iklan dan promosi produk. Media sosial memiliki peran penting dalam mempengaruhi berbagai aspek perilaku konsumen, seperti preferensi terhadap merek, keputusan pembelian, hingga tingkat kepuasan. Iklan yang menarik dan informatif di platform ini sering kali mendorong konsumen untuk mencoba produk baru dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Selain itu, media sosial juga membuka ruang interaksi antara konsumen dan brand, yang berpotensi meningkatkan loyalitas konsumen terhadap merek tersebut (Hunaifi et al., 2024).
ADVERTISEMENT
Konsumerisme ini terus mendorong media kearah komodifikasi. Komodifikasi adalah proses di mana sesuatu yang sebelumnya tidak dianggap sebagai barang yang dapat diperjualbelikan, berubah menjadi komoditas di pasar. Banyak hal yang dikomodifkasikan baik itu produk atau jasa seperti pakaian, musik, makanan dan lain – lain hanya untuk memenuhi gaya hidup. Sebagai contoh korean wave yang hadir di Indonesia, banyak mengubah gaya hidup dari anak remaja ataupun dewasa terutama perempuan. Dimulai dari komodifikasi musik seperti album fisik, photoboth, konser virtual, fan meeting dan produk-produk lain yang dijual dengan harga yang tinggi dan meskipun tidak memiliki nilai substansi.

Post-Modernisme: Tantangan Terhadap Kebenaran

Fenomena yang dibawa oleh media massa dan media sosial tidak lepas dari pengaruh gerakan post-modernisme. Dalam komunikasi, teori postmodern menekankan pada fragmentasi, simulasi, dan dekonstruksi makna dalam masyarakat yang semakin diatur oleh media dan teknologi. Dalam dunia post-modernisme, kebenaran dianggap bersifat relatif, dan tidak ada satu narasi yang dianggap lebih benar dari yang lain. Dalam konteks media, ini berarti setiap informasi dapat dikemas sebagai “kebenaran” yang sah, tanpa harus melalui proses verifikasi yang ketat. Di Indonesia, kita dapat melihat ini melalui penyebaran hoaks dan berita palsu yang sering kali meresahkan publik.
ADVERTISEMENT
Masyarakat menjadi bingung antara fakta dan opini, antara yang benar dan yang salah, karena semua informasi terlihat sama validnya. Ini diperburuk dengan algoritma media sosial yang cenderung hanya menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, menciptakan Bubble filter yang membuat masyarakat hanya terpapar pada sudut pandang yang mereka setujui.