Konten dari Pengguna

Menjadi Manusia Beriman di Era Sains

Innocentius Kredo Ananta Anindito
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
16 Januari 2024 5:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Innocentius Kredo Ananta Anindito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: www.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: www.pexels.com
ADVERTISEMENT
Modernitas dan teknologi yang dirasakan masyarakat saat ini adalah sebuah produk dari sains. Berkat sains, manusia telah mengunjungi bulan, sebuah objek yang tak tersentuh peradaban kuno. Perang senjata, perdebatan nuklir, atau masalah lingkungan hidup juga menjadi perdebatan yang bercorak sains. Sains telah digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena manusia kontemporer.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia zaman ini, masyarakat bernalar adalah mereka yang mampu menguasai sains dan pengetahuan. Sains dianggap sebagai salah satu tolak ukur dari kemajuan peradaban suatu bangsa. Bangsa yang tertinggal dalam penguasaan sains dan teknologi dianggap terbelakang. Buku-buku sains populer semakin banyak bermunculan sebagai usaha memperkenalkan sains kepada banyak orang. Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat saat ini harus bersinggungan dengan sains dan teknologi.

Sains Problem bagi Agama?

sumber: www.pixabay.com
Sains dan iman kerap dianggap sebagai hal yang saling berlawanan. Sains terkesan menyerang peran agama dalam menjelaskan dunia. Hubungan ini tercipta sebagai pengaruh dari modernitas yang muncul di Eropa mulai abad ke-17. Abad ini memang ditandai dengan berkembangnya usaha membangkitkan usaha intelektual manusia. Masa-masa inilah yang kerap disebut dengan “Pencerahan” yang mengupayakan akal budi manusia keluar dari kepercayaan-kepercayaan irasional. Segala sesuatu harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan nalar dan apa yang tidak bertahan di hadapannya harus ditolak. Sikap inilah yang kerap disebut sebagai rasionalisme.
ADVERTISEMENT
Perkembangan ilmu pengetahuan yang berasal dari usaha rasio telah memberi kesan bahwa proses di alam semesta berjalan menurut tatanan hukum alam dengan sendirinya tanpa ada campur tangan kekuatan adi-kodrati. Kemajuan ilmu pengetahuan inilah yang kemudian membuka usaha untuk “mencoret” Tuhan. Kehadiran Tuhan sendiri telah menjadi titik sentral untuk menjelaskan alam semesta di masa-masa sebelumnya. Sampai akhirnya abad ke-19 menjadi titik puncak dari kepercayaan akan kemajuan yang diperoleh dari sains. Misalnya, Charles Darwin menjelaskan perkembangan makhluk hidup memerlukan waktu sangat panjang dalam teori evolusinya. Teori ini menjadi bukti bahwa seolah-olah manusia dapat berkembang dengan sendirinya tanpa memerlukan campur tangan Allah dan konsep tentang kekuatan adi-kodrati.
Kepercayaan akan kekuatan adi-kodrati, yang dipercaya sebagai Tuhan, perlahan mulai ditinggalkan. Manusia modern pun dianggap telah keluar dari alam kegelapan dan menjadi umat yang beradab dan rasional. Ilmu pengetahuan dianggap menjadi jalan keluar dan Solusi dari segala masalah manusia. Semangat ini terekam jelas dalam tiga tahap perkembangan ilmu pengetahuan menurut August Comte. Ia melihat tahap pertama adalah tahap teologis dimana manusia menjelaskan gejala-gejala alam sebagai hasil dari kekuatan adi kodrati. Kedua, adalah tahap metafisik dimana gejala-gejala alam dijelaskan menurut konsep-konsep spekulasi filsafat. Yang ketiga, tahap positivisme dimana gejala-gejala alam dijelaskan menurut ilmu pengetahuan yang ilmiah.
ADVERTISEMENT

Bagaimana Beriman di Era ini?

sumber: www.pexels.com
Iklim dunia modern tetap menuntut orang beriman untuk mempertanggungjawabkan kepercayaannya pada Allah. Hal ini terutama karena modernitas mulai meragukan ketuhanan karena pengaruh empirisme pada pengalaman inderawi sementara percaya pada hal-hal yang adikodrati dianggap sebagai sesuatu yang tertinggal dan terbelakang. Bagi orang beriman, pertanggungjawaban ini perlu untuk menunjukkan bahwa beriman pada Tuhan memungkinkan manusia untuk mengatasi masalah dan tantangan kehidupan.
Pergaulan agama dengan sains membuat iman ditantang untuk tetap diterima oleh nalar agar iman tetap relevan dan konkret sesuai zaman. Pemahaman agamapun tidak bisa hanya didasarkan pada Wahyu karena hanya terbatas bagi orang yang menganut agama tertentu. Orang dari luar belum tentu bisa mengerti karena tidak mengakui wahyu agama tertentu. Oleb karena itu, iman juga harus menyangkut ranah nalar dimana iman harus menemukan sisi rasionalitasnya. Ajaran dogma harus diikuti dengan penjelasan yang bisa diterima oleh nalar.
ADVERTISEMENT
Usaha pembuktian agama ini hendak menunjukkan bahwa kepercayaan pada Allah bukan didasarkan pada kepercayaan secara buta. Pembuktian eksistensi Tuhan dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap orang yang berpikir akan diyakinkan bahwa eksistensi Tuhan memang perlu diakui (Suseno, 2006: 124). Dengan begitu, hubungan sains dan agama bukan saling serang tetapi justru mampu untuk saling terintegrasi dimana sains dianggap memperkaya pemahaman orang percaya terhadap agama. Keduanya memang tetap memiliki sifat yang khas, namun bukan berarti keduanya tidak bisa dipertemukan.