Isu Rasisme Anti Asia Terus Menggema di Amerika Serikat

Inove Adetyaningrum
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2022 15:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Inove Adetyaningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat terkenal sebagai negara multikultur atau negara dengan begitu banyak keragaman ras, agama, dan budaya. Sejak awal, berdirinya Amerika Serikat tak lepas dari campur tangan begitu banyak kelompok ras. Namun, hal ini menyisakan isu rasisme dan berbagai sentimen yang bermula dari dominasi dan fanatisme kelompok tertentu. Akibatnya, kelompok minoritas seperti orang kulit hitam, orang hispanik, masyarakat muslim, dan orang Asia mengalami sentimen sporadis di seluruh Amerika Serikat, terlebih saat pandemi Covid-19 merebak luas.
Gambar: Pixabay
Sejak pandemi Covid-19 merebak, kekerasan terhadap orang-orang Asia meningkat pesat hingga 150 persen. Stigma ‘Virus Cina’ yang melekat pada Covid-19 terus menyebar hingga seantero negeri. Diskriminasi yang ada tak hanya terbatas pada hate speech saja, tetapi juga kekerasan fisik bahkan pembunuhan. Hal ini pun ternyata telah berlangsung sangat lama dan menjadi sebuah rasisme struktural, jauh sebelum hadirnya pandemi Covid-19 di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Setidaknya sudah 160 tahun lamanya, warga keturunan Asia menjadi sasaran kefanatikan sejak pertama kali mereka tinggal di Amerika Serikat. Supremasi kulit putih yang terus digaungkan selama bertahun-tahun menjadi masalah yang semakin serius. Hal ini kian diperparah dengan adanya propaganda-propaganda kebencian terhadap orang Asia, serta tokoh publik yang secara gamblang menyerukan sikap rasisnya. Bahkan, Trump pun turut menyerukan sikap bencinya terhadap orang Asia saat masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat.
Menurut survei dari STOP AAPI HATE, ada lebih dari 6.600 sentimen anti Asia yang terjadi sejak Maret 2020 sampai Maret 2021. Dilansir dalam BBC, melalui kisah yang dialami oleh kerabat dari Tracy Wen Liu tentang temannya dari Korea yang mengalami perlakuan rasis saat berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan. Dia mengalami kejadian tidak menyenangkan karena memiliki identitas sebagai orang Asia ataupun China di Amerika. Dia diteriaki hingga didorong oleh warga setempat sampai diminta paksa untuk pergi dari sana dengan alasan, teman Lucy adalah seorang warga Asia yang tengah menggunakan masker.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, beberapa tindakan rasisme yang terjadi di negara Amerika bagian New York, Texas, dan juga California mengalami kekerasan non-fisik dan juga kekerasan fisik hingga ditusuk. Lebih jauh, warga Amerika yang memiliki keturunan Asia juga merasa identitas mereka sebagai warga Amerika merasa semakin terancam. Hal ini dapat dilihat pada sebuah kasus yang menimpa seorang Kakek dari Thailand yang didorong oleh remaja kulit putih berusia 19 tahun. Dua hari berselang, kakek tersebut dikabarkan meninggal dunia karena cedera yang dialaminya.
Rasisme Struktural Tak Kunjung Usai
Sedikit menilik ke belakang, isu rasisme terhadap orang-orang Asia di Amerika Serikat telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Sebut saja ketika wabah cacar menyeruak di Eropa pada tahun 1700-an, orang Asia terutama Tiongkok disalahkan dan dicap sebagai ras kotor dan penyebar penyakit berbahaya. Hal ini berlanjut dengan insiden Perang Opium yang kemudian memaksa adanya migrasi besar-besaran orang-orang Asia ke Amerika Serikat untuk menghindari konflik.
ADVERTISEMENT
Migran yang datang ke Amerika Serikat mengalam diskriminasi besar. Hal ini dapat dilihat melalui pemukiman terpisah yang sangat rasis seperti Chinatown atau Pecinan bagi orang-orang Tiongkok, Japantowns bagi orang-orang Jepang, dan kawasan lainnya. Migran ini juga dicap sebagai perebut pekerjaan orang kulit putih karena kemauan mereka untuk menjadi buruh dan siap untuk diberikan upah minimum.
Regulasi Amerika Serikat pun seakan mendukung sikap rasisme dan diskriminasi tersebut, melalui adanya serangkaian undang-undang yang membatasi hak asasi manusia bagi orang Asia terhadap akses pendidikan, agama, dan bisnis. Hal ini membuat sentimen anti-Asia menjalar tak hanya pada masyarakat saja, tetapi juga ke pemerintahannya yang dapat dilihat melalui kasus persidangan di tahun 1854. Saat itu, Mahkamah Agung California tidak mengizinkan orang Asia untuk bersaksi di pengadilan ketika melawan orang kulit putih. Sampai kemudian pada tahun 1882 sebagai puncaknya, di mana disahkan Chinese Exclusion Act yang sangat mendiskriminasi etnis tersebut yang melarang imigran Tiongkok memasuki Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Hadirnya Pandemi Covid-19
Kehadiran Covid-19 pada 2020 silam seakan meningkatkan gejolak isu rasisme yang dialami warga Asia dan keturunanya di Amerika Serikat. Covid-19 adalah sebuah penyakit yang dapat menular dengan batuk, bersin, dan juga tetesan dari cairan tubuh penderita yang menempel di benda sekitarnya. Penyebabnya hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi para peneliti mengatakan virus ini disebarkan oleh hewan dan dapat menular dari spesies satu dengan lainnya.
Masyarakat Internasional juga beranggapan bahwa virus Corona ini berasal dari Kota Wuhan di China yang muncul pada akhir tahun 2019, tepatnya pada bulan Desember. Belum lagi sikap dari mantan Presiden Amerika Serikat dalam pidatonya memberikan sebutan virus ini sebagai virus China. Hal ini berdampak pada meningkatnya isu rasisme yang terjadi pada warga Asia di Amerika Serikat secara masif.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya rasisme yang terjadi di Amerika Serikat disebabkan oleh isu Covid-19 melalui media yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Media memiliki dampak yang begitu besar dalam pembentukan opini publik. Permainan politik digaungkan melalui adanya narasi-narasi yang menyudutkan atau menyalahkan suatu kelompok atas kekacauan global yang terjadi. Hal ini bertujuan untuk menjadi alat politik dan membentuk opini publik seperti ujaran kebencian, teori konspirasi, dan saling menyalahkan. Belum lagi stigma virus Covid-19 yang dilakukan pejabat tinggi politik seperti Donald Trump yang mempengaruhi opini masyarakat, baik secara langsung maupun tidak.
Hal ini justru semakin memperburuk keadaan, baik Presiden Donald Trump maupun Joe Biden dituding memicu sentimen anti-Asia ke berbagai masyarakat dengan opini yang mereka gunakan ketika berbicara tentang peran China dalam pandemi tersebut. Sejak saat itu, ujaran kebencian yang diterima warga Asia maupun keturunan Asia meningkat drastis. Mereka mengalami kekerasan, diskriminasi, dan juga rasisme. Masalah rasisme yang ini bukan lagi menjadi masalah domestik, tetapi sudah menjadi masalah global yang perlu ditangani dengan serius.
ADVERTISEMENT
Melihat begitu masifnya isu-isu rasisme terhadap kelompok-kelompok minoritas di Amerika Serikat menandakan bahwa negara yang menjunjung tinggi kebebasan tersebut sejatinya tidak benar-benar bebas. Baik itu anti-Asia maupun stigma kebencian terhadap suatu kelompok tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Pendekatan-pendekatan baik secara struktural maupun regulasi yang lebih ketat dapat menjadi solusi.
Sebab, saat ini sentimen terhadap kelompok minoritas sangat tinggi, salah satunya adalah kepada orang-orang Asia dan keturunannya. Rasisme yang mengakar secara struktural sudah sepatutnya diselesaikan secara struktural juga melalui pendekatan yang lebih dini. Adapun pandemi Covid-19 yang hadir beberapa waktu lalu dapat dijadikan acuan, bahwasanya kebencian atas suatu musibah tidak seharusnya disangkutpautkan ke hal-hal yang berada di luar konteks. Amerika Serikat sebagai negara yang mengedepankan demokrasi dan kebebasan sudah seharusnya lebih berkaca diri dan dapat memperbaiki masalah sosial seperti rasisme anti-Asia dengan perhatian yang lebih.
ADVERTISEMENT