Mobil Listrik Bukan Solusi Unik

Insan Ridho Chairuasni
Pekerja Transportasi. Lulusan MSc Transport Planning and Engineering di Newcastle University, Inggris.
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2021 9:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Insan Ridho Chairuasni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Gedung Sate oleh Gubernur Jawa Barat (Foto: Twitter @jabarprovgoid)
zoom-in-whitePerbesar
Peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Gedung Sate oleh Gubernur Jawa Barat (Foto: Twitter @jabarprovgoid)
ADVERTISEMENT
Saya pernah tersihir oleh mobil listrik. Empat tahun lalu, saya berjumpa dengan mobil listrik pertama kali. Mobil listrik yang pertama saya tumpangi adalah sebuah taksi di sebuah kota kecil. Saya setengah takjub sepanjang perjalanan unik itu.
ADVERTISEMENT
Bunyi mesin taksi ini tidak sedikit pun menggelitik. Yang bisa saya rasakan hanya desir dari pengondisi udara dan suara radio FM yang berisik. Namun, pengalaman pertama ini jelas membuka cakrawala anyar saya soal mobil listrik.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan laporan terbaru dua pekan silam. Laporan ini dianggap sebagai peringatan keras. Bumi diramalkan memanas secara drastis. Sesuai estimasi IPCC, temperatur bumi akan naik sebesar 1,5 derajat celsius.
Bagi sebagian orang, perbedaan temperatur itu tidak signifikan. Selisih sekecil itu bukan ancaman kehidupan. Akan tetapi, ilmuwan menolak keyakinan tanpa dasar ilmiah semacam itu. Bencana alam akan makin mengamuk jika bumi memanas 1,5 derajat celsius.
Banyak sektor berdosa atas kenaikan temperatur bumi saat ini. Sektor transportasi tentu tidak luput dari kekeliruan. Menurut World Resources Institute (WRI), 14% dari emisi karbon tahunan muncul dari transportasi. Transportasi darat menjelma sebagai momok utama.
ADVERTISEMENT
Belakangan, mobil listrik maju sebagai solusi isu emisi transportasi. Beberapa perusahaan mengembangkan teknologi tersebut, seperti Tesla. Hasil usaha tersebut tidak sia-sia. Jumlah mobil listrik berbasis baterai di dunia menjadi 6,8 juta unit pada 2020 menurut Statista.
Capaian tersebut tentu fantastis. Pada 2016, mobil listrik di dunia hanya berjumlah 1,2 juta unit. Empat tahun berselang kemudian mobil listrik berlipat ganda lebih dari lima kali. Kelipatan populasi dunia antara 2015-2020 bahkan tidak lebih dari dua kali lipat.
Di Indonesia, banyak mobil listrik pun telah mengaspal. Pabrikan besar turut mengambil pasar mobil listrik di sini, seperti Hyundai dan Nissan. Pemerintah pun gencar dalam pemberian insentif bagi mobil listrik. Berbagai pajak dan biaya mobil listrik dipangkas habis.
ADVERTISEMENT
Hampir semua cerita soal mobil listrik sungguh manis. Mobil listrik bak obat mujarab emisi dunia. Akan tetapi, mobil listrik pun dapat mengancam. Yang paling berbahaya dari ancaman mobil listrik adalah ilusi emisi. Koar-koar rendah emisi perlu ditelaah dengan repetisi.
Seperti kendaraan berbahan bakar fosil, mobil listrik tetap butuh bahan bakar. Bahan bakar mobil listrik bukan sejenis minyak bumi melainkan listrik. Listrik disimpan dalam baterai lalu memutar roda mobil. Mobil listrik ibarat mainan mobil anak anda berukuran jumbo.
Pasokan listrik mobil didapatkan dari pembangkit listrik. Di sini, masalah utama muncul. Pembangkit listrik yang menyebalkan adalah pembangkit listrik yang kotor. Maksud dari kata "kotor" pada kalimat sebelumnya adalah paling banyak memproduksi emisi berbahaya.
ADVERTISEMENT
Pada 2020, nyaris 50% dari pasokan listrik di Indonesia berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menurut Kementerian ESDM. Batu bara mendominasi bahan bakar PLTU di Indonesia. Dalam hal besar emisi, batu bara tak terkalahkan dibandingkan bahan bakar lain.
Batu bara menjadi primadona untuk PLTU karena ekonomis. Namun, peran batu bara terhadap lingkungan dari batu bara begitu antagonis. Pasokan listrik dari batu bara bagi mobil listrik menjadi dilematis. Pembelaan mobil listrik lewat energi batu bara terdengar egois.
Oleh karena itu, mobil listrik tidak bisa menjawab semua persoalan saat ini. Mobil listrik bukan panacea bagi perubahan iklim. Mobil listrik hanya bagian dari solusi. Mobil listrik sekadar salah satu alat untuk mengurangi emisi dari sektor transportasi.
ADVERTISEMENT
Sektor-sektor di luar transportasi juga mesti tahu posisi. Bidang industri dan agrikultural memproduksi emisi yang tidak remeh. Pembahasan mobil listrik mungkin lebih seksi, tetapi fokus pada sektor lain tak boleh terpecah. Mobil listrik diperhatikan secukupnya.
Banyak pendegung teknologi mobil listrik harus bercermin diri. Mereka mesti mengilhami Hukum Kekekalan Energi: energi tidak bisa diciptakan dan dimusnahkan. Energi dari dan ke mobil listrik hanya bisa berubah. Maka, mobil listrik tidak berdiri sendiri.
Meskipun demikian, Anda juga bisa jadi salah jika Anda mengkritik mobil listrik terlalu sadis. Tanpa mobil listrik, pembangkit listrik rendah emisi pun tak berarti. Pemanfaatan listrik di hulu dan hilir sama-sama penting. Usaha pengurangan emisi perlu terus mengalir.
Jalan tengah dari isu mobil listrik ini adalah pemanfaatan bersama yang sinergis. Pembangkit listrik berbenah dan mobil listrik berubah. Kebersihan pembangkit listrik harus menjadi prioritas. Kebermanfaatan mobil listrik perlu menjadi identitas.
ADVERTISEMENT
Hal yang saya ingat juga dari pengalaman mobil listrik tadi adalah sopirnya. Umur sopir itu mungkin setengah baya. Pemandangan itu tentu kontras dengan karakter mobil listrik itu. Saya yakin umur mobil listrik itu tidak lebih dari sepersepuluh dari umur sopirnya.
Saya masih terpesona oleh mobil listrik hingga kini. Namun, pesona itu bertahan dengan sewajarnya. Kekaguman atas mobil listrik perlu disertai dengan kesadaran energi yang apik. Saya hanya seorang penggemar, bukan sesosok bandar.