Mobilitas Suku Badui dan UMKM yang Kandas

Insan Ridho Chairuasni
Pekerja Transportasi. Lulusan MSc Transport Planning and Engineering di Newcastle University, Inggris.
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2021 9:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Insan Ridho Chairuasni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertemuan Masyarakat Adat Suku Badui (Foto: Twitter @idwiki)
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan Masyarakat Adat Suku Badui (Foto: Twitter @idwiki)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Stasiun Cisauk terasa modern. Saya tidak menyangka stasiun kereta di pinggiran Jakarta bisa begitu keren. Pemandangan stasiun semacam ini hanya terjadi di luar negeri. Namun, sosok lain ikut menyita perhatian saya.
ADVERTISEMENT
Dua orang berpakaian hitam duduk di sisi pagar luar stasiun. Dengan ikat kepala, mereka jelas bagian dari masyarakat adat. Tentengan mereka adalah botol beling yang terlihat seperti madu. Belakangan, saya sadar mereka pedagang dari suku Badui.
Sisi yang menarik dari mereka adalah cara mereka berdagang. Mereka tidak berteriak. Mereka duduk manis sambil menunggu pembeli menghampiri. Kini, saya takut tak ada yang membeli dagangan mereka lagi sekalipun mereka berkoar.
Pandemi COVID-19 memukul keras seluruh lapisan masyarakat. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terdampak signifikan. Pedagang kaki lima merugi dan sulit bertahan hidup. Pembatasan mobilitas membuat mereka kian merana.
Sebagian pelaku UMKM di Jabodetabek adalah pengguna Commuter Line atau KRL. Syarat-syarat ketat perjalanan membatasi gerak mereka, seperti Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP). Pekerja seperti mereka tidak bisa memegang STRP.
ADVERTISEMENT
Pelaku UMKM tidak punya atasan. Mereka adalah nakhoda dari penghidupan mereka sendiri. Syarat perjalanan semacam STRP tidak relevan bagi mereka. Keadaan ini sungguh menghantam mereka untuk pergi ke kota demi mencari nafkah.
Mengapa pelaku UMKM tidak berjualan di pinggiran kota saja? Pusaran ekonomi terjadi di dalam kota. Pencarian nafkah di tengah kota saja belum tentu menguntungkan apalagi di pinggiran kota. Syarat STRP tentu mengganggu mereka.
Kondisi ini terjadi pada banyak moda transportasi umum di ibukota. Pengguna Transjakarta pun mengalami hal serupa. Sejumlah pedagang pasar tradisional urung menggunakan bus. Opsi mereka makin terbatas dalam menyambung hidup.
Sepekan lalu, kabar baik lalu muncul. Syarat perjalanan KRL tidak lagi memerlukan STRP. Yang dibutuhkan sekarang adalah sertifikat vaksinasi COVID-19. Langkah ini tentu berpotensi membawa angin segar bagi banyak orang.
ADVERTISEMENT
Dampak positif dari kebijakan tersebut cukup menjanjikan. Pelaku UMKM bisa kembali menggunakan KRL dengan syarat vaksinasi. Mereka bisa kembali mencari penghidupan di tengah kota dengan aman dan sehat.
Sebagian pelaku UMKM juga makin yakin untuk melakukan vaksinasi. Tanpa vaksinasi, mereka tidak bisa berdagang ke pusat kota. Angka vaksinasi di kalangan pelaku UMKM akan meningkat. Dalam urusan pagebluk, potensi ini sungguh melegakan.
Cakupan vaksinasi di pinggiran ibukota menjadi perkara lain. Vaksinasi di sebagian daerah punya sejumlah kendala. Selain kendala administrasi, faktor logistik juga turut berkontribusi. Masalah-masalah ini harus dijawab segera.
Pemerintah juga perlu mendorong proses vaksinasi di simpul-simpul transportasi. Stasiun-stasiun KRL merupakan wahana yang cocok untuk program vaksinasi. Pelaku UMKM yang juga pengguna transportasi umum bisa terfasilitasi.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bentuk sertifikat vaksinasi. Sertifikat vaksinasi ditunjukkan kepada petugas. Dokumen dibuktikan dalam format elektronik atau cetak. Namun, ini bisa menjadi peluang masalah lain.
Sebagian orang tidak paham soal gawai bahkan tidak memilikinya. Petugas tambahan mesti diterjunkan demi membantu pengguna yang masih kikuk. Walaupun hasil vaksinasi perlu ditunjukkan, proses pembuktian perlu dimudahkan.
Selepas dua tahun lalu, saya belum lagi menyambangi Stasiun Cisauk. Saya tidak yakin pedagang madu dari suku Badui masih ada di sana. Jika mereka pun masih ada, pendapatan mereka sepertinya telah berkurang signifikan.
Di balik pikiran pesimis saya, saya percaya suku Badui selalu bisa beradaptasi dari waktu ke waktu. Perubahan kebijakan syarat perjalanan tentu memberi mereka pilihan lebih. Harapan saya tidak redup: semoga mereka bertahan hidup.
ADVERTISEMENT