Eksistensi Hukum Adat dan Arah Pemidanaan Tindak Pidana Adat Perspektif UU KUHP

Insanul Hakim Ifra
Petugas Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Depok
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2023 7:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Insanul Hakim Ifra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menurut Soerojo Wignjodipoeru (1995:15) dalam bukunya Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, hukum adat berurat-akar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata.
ADVERTISEMENT
Sedangkan menurut Ter Haar, seorang pakar ahli hukum, untuk melihat apakah suatu hukum adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka kita wajib melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap si pelanggar peraturan adat istiadat yang bersangkutan. Kalau penguasa terhadap si pelanggar menjatuhkan putusan hukum, maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
Hukum adat tidak hanya berisi muatan keperdataan saja, namun juga berisi muatan pidana. Perbuatan pidana tidak lepas dari asas legalitas. Menurut Erdianto (2018:14) perbuatan pidana itu harus dapat diberi sanksi berupa pidana, larangan atas perbuatan itu diatur dalam undang-undang.
Pelanggaran hukum yang tidak dimuat dalam undang-undang bukanlah tindak pidana. Meskipun sedemikian tercelanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut tidak bisa dianggap sebagai tindak pidana jika tidak ditentukan dalam hukum tertulis, lebih khusus lagi undang-undang, sehingga asas ini di dalam KUHP lama bersifat absolut terpaku dalam bentuk sumber hukum yang tertulis.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam KUHP baru dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat UU KUHP) terjadi disparitas dan perubahan yang cukup substansial mengenai asas legalitas ini, dengan menggunakan asas legalitas secara tidak absolut dan rumusannya diperluas secara materiel dengan perlu menegaskan bahwa ketentuan tersebut tidak mengurangi berlakunya ”hukum yang hidup” di dalam masyarakat.
Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis (undang-undang), asas legalitas dalam UU KUHP baru sekarang memberi tempat kepada hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis (the living law) yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat baik itu secara de facto maupun de jure.
ADVERTISEMENT
Di samping diakuinya hukum adat maka diakui pula pidana adat dalam wilayah masyarakat hukum adat tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum adat atau living law menjadi sumber hukum pidana dalam perspektif UU KUHP, sehingga hukum adat merupakan satu kesatuan/integral dengan sumber hukum pidana di Indonesia.
Pemberlakuan delik atau pidana adat merupakan sebagai bentuk upaya perlindungan masyarakat yakni perlindungan terhadap korban dan pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu dalam masyarakat.
Selain itu, pidana adat sebagai sarana penyeimbang atau terganggunya stabilitas dalam masyarakat akibat pelanggaran delik. Delik adat itu sendiri terjadi apabila suatu perbuatan yang menurut masyarakat hukum adat tersebut merupakan perbuatan yang tidak baik, tidak patut, dan tercela sehingga mengganggu stabilitas keamanan, kenyamanan dan ketertiban dalam masyarakat itu.
ADVERTISEMENT

Sanksi Pidana Tambahan bagi Pelanggar Delik Adat

Ilustrasi mengajukan gugatan hukum. Foto: Salivanchuk Semen/Shutterstock
Bagi pelanggar pidana adat baik itu secara personal atau perorangan maupun korporasi dalam UU KUHP dikenakan sanksi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat (vide: Pasal 66 ayat (1) huruf f dan Pasal 120 ayat (1) huruf d).
Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika Tindak Pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan bahwa hukum yang hidup tersebut sesuai dengan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 96 ayat (2) UU KUHP menegaskan bahwa Pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II yaitu Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Dalam hal kewajiban adat tersebut tidak dipenuhi, pemenuhan kewajiban adat diganti dengan ganti rugi yang nilainya setara dengan pidana denda kategori II. Apabila ganti rugi tidak dipenuhi, ganti rugi diganti dengan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial.
ADVERTISEMENT
Jenis sanksi berupa pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat, dimasukkan sebagai jenis pidana tambahan, karena dalam kenyataan sering terungkap, bahwa penyelesaian masalah secara yuridis formal dengan menjatuhkan sanksi pidana pokok saja kepada terdakwa belum dirasakan oleh warga masyarakat sebagai suatu penyelesaian masalah secara tuntas.
Hal ini mengandung arti bahwa standar, nilai, dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat adat. Pemenuhan kewajiban adat setempat juga merupakan bentuk penyelesaian secara restorative justice.
Menurut Erdianto (2018:25), pendekatan restorative justice digunakan dalam memecahkan masalah konflik antara para pihak dan memulihkan perdamaian di masyarakat. Dengan pemenuhan kewajiban adat, kegoncangan yang terjadi dalam masyarakat akibat adanya delik adat dapat segera dipulihkan.
ADVERTISEMENT