Membangun Mental Hygiene di Lapas dan Rutan

Insanul Hakim Ifra
Petugas Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Depok
Konten dari Pengguna
8 Februari 2023 11:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Insanul Hakim Ifra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
konsultasi warga binaan
zoom-in-whitePerbesar
konsultasi warga binaan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mental hygiene merujuk kepada pengembangan dan aplikasi seperangkat prinsip-prinsip praktis yang diarahkan kepada pencapaian dan pemeliharaan psikologis manusia yang sehat dan pencegahan dari kemungkinan timbulnya kerusakan mental atau maladjustment (Alexander A. Schneiders, 1964). Menurut M. Surya (1976) mental hygiene dikelompokkan ke dalam ilmu kesehatan dan diartikan sebagai usaha-usaha yang dilakukan agar tercapai mental yang sehat (mental health). Menurut Syamsu Yusuf (2018) dalam bukunya Kesehatan Mental Perspektif Psikologis dan Agama, mental hygiene berfungsi memelihara dan mengembangkan mental yang sehat dan mencegah terjadinya mental illness (mental yang sakit). Schneiders (1964:510-511) menyebutkan mental hygiene mempunyai tiga fungsi. Pertama, Preventif (pencegahan). Definisi ini menunjukkan mental hygiene berupaya untuk mencegah terjadinya kesulitan atau gangguan mental (mental disorder) dan penyesuaian diri (self adjusment). Kedua, Amelioratif (perbaikan). Fungsi ini merupakan upaya untuk memperbaiki kepribadian dan meningkatkan kemampuan menyesuaian diri sehingga gejala-gejala tingkah laku dan mekanisme pertahanan diri dapat dikendalikan. Ketiga, Suportif (pengembangan). Fungsi ini merupakan upaya untuk mengembangakan mental yang sehat atau kepribadian sehingga seseorang mampu menghindari kesulitan-kesulitan psikologis yang mungkin dialaminya. Melalui mental hygiene dapat diupayakan bagaimana menata kehidupan mental (rohani), baik diri sendiri, lingkungan sekitar, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara secara sehat sehingga dapat mencapai suasana kehidupan yang nyaman, tentram, dan bahagia. Syamsu Yusuf (2018) mengemukakan kegagalan dalam mencapai kondisi mental yang sehat berarti berkembangnya pribadi-pribadi yang memiliki mental yang sakit. Mental yang sakit ini ditandai dengan beberapa ciri, seperti: Kecemasan/kegelisahan dalam menghadapi kehidupan (anxiety); Perasaan mudah tersinggung (perasa); Sikap agresif (pemarah) atau berperilaku menyerang dan destruktif (merusak); Sikap kurang mampu menghadapi kenyataan secara realistis (tidak sabar atau kana’ah) sehingga mudah frustrasi; Memiliki gejala psikosomatis (sakit fisik yang disebabkan oleh gangguan psikis karena stres); dan Tidak beriman kepada Allah. Apabila dalam masyarakat banyak manusia yang memiliki perilaku menyimpang (misbehaviour), salah suai (maladjusment), atau psikopat (tawuran, tindak kekerasan, pembunuhan, perampokan, pencurian, pembakaran, pemerkosaan, free sex, miras, narkoba, perselingkuhan, perjudian, prostitusi, homoseks, dan korupsi), maka akan terjadi malapetaka dalam kehidupan. Hal itu menandakan karena sebab mental yang tidak sehat. Tidak semua dari Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menjalani hukumam penjara mempunyai sikap, kesadaran, pemahaman, atau perilaku yang menunjukkan kerelaan dan keikhlasan menerima keadaan dirinya yang tengah menjalani hukuman penjara. Hilangnya kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) merupakan salah satu faktor pemicu dari sumber terjadinya stres, frustrasi, ataupun gangguan kesehatan mental sebab inilah yang harus diupayakan jajaran petugas Lapas dan Rutan agar terbangun kesehatan mental yang baik bagi seluruh WBP. Dalam Sistem Pemasyarakatan, WBP dan tahanan mendapatkan perawatan, pembinaan, dan pembimbingan, baik secara fisik maupun rohani. Tentunya pembinaan secara rohani semata-mata untuk membentuk sikap, kesadaran, pemahaman, atau perilaku yang sehat. Menurut Sutardjo (2004) dalam bukunya Pengantar Psikologi Klinis, ciri-ciri individu yang memiliki sehat mental sebagai berikut: ● Kematangan  emosional Terdapat tiga ciri perilaku dan pemikiran pada orang yang emosinya disebut matang, yaitu memiliki disiplin diri, determinasi diri, dan kemandirian. Dalam kehidupan bermasyarakat di Lapas dan Rutan, WBP dituntut untuk memiliki disiplin diri, mengatur diri, serta memiliki  kemandirian dengan program-program pembinaan di Lapas dan Rutan. WBP yang memilki disiplin diri dapat mengatur diri, hidup teratur menaati hukum, dan peraturan yang ada.  ● Kemampuan menerima realitas Orang yang memiliki kemampuan untuk menerima realitas antara lain memperlihatkan perilaku mampu memecahkan masalah dengan segera dan menerima tanggung jawab. Dalam konsiderans Undang-Undang Pemasyarakatan dikatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan membuat WBP menyadari kesalahannya, hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik, dan bertanggung-jawab. ● Dapat hidup bersama dan bekerja sama dengan orang lain Hal ini menyangkut hakikat dirinya sebagai makhluk sosial (homo socius) yang tidak sekedar mau dan bersedia serta mampu bekerja sama untuk mencapai prestasi yang tinggi daripada dikerjakan sendiri, melainkan juga karena tidak dapat hidup sendiri. Sistem Pemasyarakatan mempersiapkan WBP untuk kembali dengan baik kepada masyarakat dengan membawa perubahan serta turut serta dan ikut dalam pembangunan. ● Memiliki filsafat atau pandangan hidup Artinya, memiliki pegangan hidup yang senantiasa membimbingnya untuk berada dalam jalan yang benar, terutama saat menghadapi atau berada dalam situasi yang mengganggu atau membebani. Melalui pembinaan rohani di Lapas dan Rutan, WBP diberikan pengajaran dan  pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mampu kembali ke jalan yang dibenarkan agama serta mampu mengambil hikmah dari musibah yang dialami. ● Peran Agama bagi Kesehatan Mental Menurut Zakiah Daradjat (1982), salah satu peranan agama adalah sebagai terapi (penyembuhan) bagi gangguan kejiwaan. Pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi orang dari kejatuhan kepada gangguan jiwa dan dapat pula mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang yang gelisah. Makin dekat seseorang kepada Tuhan dan makin banyak ibadahnya, maka akan makin tentramlah jiwanya serta makin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup. Demikian pula sebaliknya. Makin jauh orang itu dari agama, akan makin susahlah baginya untuk mencari ketentraman batin. Dalam Surah Ar-Ra’du ayat 28 menunjukkan tentang kesehatan mental yang artinya: “...yaitu, orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan berzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berzikir kepada Allah-lah, hati akan menjadi tentram (bahagia)”. Makna zikir di sini adalah menegakkan salat; mengucapkan lafaz tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil; membaca Al-Qur’an dengan memahami arti dan maksudnya; bersikap ihsan; serta menyadari bahwa hidup ini tidak lepas dari ujian. Jika ia bersabar, maka hidupnya akan bahagia (sehat mentalnya) dan terhindar dari gangguan mental.  Orang yang mentalnya sehat, hidupnya akan produktif dan kontributif. Maksud produktif di sini adalah kemampuan untuk membangun dirinya ke arah pencapaian sosok pribadi yang matang, mandiri, atau dewasa. Sementara itu, kontributif adalah kemampuan memberikan nilai manfaat bagi kepentingan atau kesejahteraan orang lain (Syamsu Yusuf: 2018). Tentunya kaitan kesehatan mental dengan hidup yang produktif dan kontributif sejalan dengan model Reintegrasi Pemasyarakatan yang menganut paham bahwa ketika WBP kembali ke dalam masyarakat untuk menjadi warga masyarakat yang patuh hukum dan produktif dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat dari program pembinaan kemandirian yang telah diberikan selama di Lapas dan Rutan.
ADVERTISEMENT