Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tuan Guru Bajang Mempertemukan Dua Persimpangan Jalan
20 April 2021 17:14 WIB
Tulisan dari Ahmad Hadi Ramdhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bermula dari ruang sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), gemuruh perdebatan tentang dasar negara mulai terdengar. Perdebatan panjang, alot dan sewaktu-waktu memanas itu, akhirnya membagi para founding father kita menjadi dua arus dominan. Kelompok pertama adalah mereka yang menginginkan negara berdasarkan syariat Islam yang secara otomatis menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Kelompok kedua ialah mereka yang hendak memisahkan negara dari urusan-urusan agama yang dengan itu mereka menginginkan Indonesia menjadi negara nasionalis-sekuler (lebih lanjut baca : Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, 2006).
ADVERTISEMENT
Perdebatan itu pun tidak kunjung menemukan titik temu. Adalah Soekarno yang mencoba mengajukan suatu konsep dasar negara yang dihajatkan mampu mengakomodir seluruh golongan, konsepsi Soekarno itu dikenal dengan 'Pancasila'. Namun, pancasila dalam konsepsi Soekarno dianggap oleh kelompok Islam cendrung melecehkan umat beragama karena menempatkan sila ketuhanan di posisi paling akhir, pun kosepsinya tentang ekasila yang merupakan sari pati dari hasil perasan pancasila berupa gotong royong.
Perdebatan panjang yang membawa para pendiri bangsa ke masa-masa sulit itu, akhirnya menuai titik temu berupa kompromi politik dalam bentuk piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, yang dirumuskan oleh panitia sembilan (Syafii, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, 2006). Piagam Jakarta merupakan modifikasi dari Pancasila yang ditawarkan Soekarno dalam sidang BPUPKI dengan menjadikan sila ketuhanan menjadi sila pertama serta manambahkan klausul "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
ADVERTISEMENT
Kompromi politik dalam bentuk piagam Jakarta itu, merupakan hal yang penting bagi umat Islam. Karena, dengan penambahan kalimat pada sila pertama tersebut, umat islam berpeluang menerapkan syariat Islam dalam konstitusi negara. Namun, tak lama berselang, satu hari pasca Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, terjadi pertemuan yang melibatkan para pemimpin negara pada saat itu, dengan agenda mengkaji ulang rumusan dasar negara (piagam Jakarta) yang dianggap diskriminatif terhadap kelompok-kelompok agama minoritas. Pertemuan mendadak itu menghasilkan satu rumusan baru dengan menghilangkan kalimat "kewajiban menjalankan syariat Islam.." dan diganti dengan "Ketuhanan yang maha esa".
Tentu, keputusan itu berat bagi umat Islam, karena dengan begitu kemungkinan untuk memasukkan syariat Islam dalam konstitusi negara menjadi tertutup. Namun, jika kelompok Islam kekeh, musibah yang lebih besar berupa disintegrasi bangsa akan terjadi. Perubahan nomenklatur tersebut oleh Alamsyah Prawiranegara (Menteri Agama tahun 1978) dianggap sebagai hadiah umat Islam bagi bangsa dan negara demi menjaga persatuan.
ADVERTISEMENT
Namun bara api perdebatan tentang dasar negara itu tak pernah padam. Segera setelah pemilu 1955 yang menghasilkan dua partai Islam (masyumi dan NU) menempati posisi 3 besar, perdebatan tentang dasar negara pun berlanjut dalam sidang konstituante yang mengajukan tiga rumusan dasar negara yaitu Pancasila, Islam dan Sosial-ekonomi. Semisal sidang dalam BPUPKI, sidang dalam konstituante pun tak kunjung menghasilkan kesepakatan, sampai pada Juli 1959 Presiden soekarno mengeluarkan dekrit Presiden yang membubarkan majelis konstituante dan perintah untuk kembali pada UUD 1945.
Keputusan presiden Soekarno tersebut tak lantas membuat golongan Islam puas. Dalam diri para tokoh-tokoh Islam masih tertanam keinginan kuat untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Hingga hari ini, keinginan sebagian kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara masih terasa. Kondisi tersebut dengan jelas bisa kita amati pada setiap dinamika sosial dan politik yang terjadi di negeri kita. Bahkan, pasca reformasi bermunculan kelompok-kelompok Islam yang mengadopsi gagasan-gagasan transnasional, menginginkan pergantian sistem pemerintahan dan bentuk negara, dan cendrung membenturkan paham keislaman dan kebangsaan secara diametral.
ADVERTISEMENT
TGB dalam arus Keislaman dan Kebangsaan
Tuan Guru Bajang atau TGB, adalah sosok yang dalam setiap dakwahnya mengawinkan antara nilai-nilai keislaman dan kebangsaan. Ditengah upaya-upaya membenturkan kedua entitas moral tersebut, TGB tetap pada pendirian bahwa antara keislaman dan kebangsaan dalam satu tarikan napas.
Dalam sebuah forum TGB menyitir pandapat Imam Al Ghazali, bahwa antara Islam dan Kebangsaan seperti air terhadap wadah. Islam sebagai air memerlukan wadah yang baik agar dapat dinikmati dan menghilangkan dahaga, pun dengan wadah, ia juga memerlukan air yang jernih dan sejuk agar dapat memberikan manfaat untuk orang banyak.
Sebagai alumni Al Azhar dan Gubernur NTB 2008-2018, Tuan Guru Bajang mengedepankan sikap washatiyyah dalam menanggapi perkara tersebut. Di tangan TGB kedua entitas moral itu, saling melengkapi satu dengan yang lain dan memberikan demarkasi ruang yang jelas antara keduanya. Dalam sebuah kesempatan beliau menyampaikan sebuah analogi, bahwa dalam berbangsa, kita seperti dalam satu rumah, yang terdiri atas kamar dari masing-masing penghuni serta ruang tamu dan keluarga sebagai ruang bersama. Seperti itu pun kita dengan segala macam perbedaan baik itu agama, suku dan ras, mempunyai kamar tidur masing-masing. Tidak boleh ada penghuni kamar yang lain menerobos dan mengganggu penghuni kamar lainnya, karena masing-masing memiliki kamar dan privasi, itulah ruang aqidah, ritual atau ibadah. Tetapi dalam satu bangunan rumah tersebut terdapat ruang bersama yang memungkinkan kita untuk berjumpa dan berinteraksi. TGB menambahkan bahwa dalam interaksi tersebut masing-masing dari kita harus berpegang dan mengedepankan nilai-nilai universal dari agama masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa cuplikan pandangan TGB tersebut penulis berpendapat bahwa dalam kacamata TGB antara kita sebagai warga bangsa dan umat Islam sekaligus, memiliki dua ruang tanggung jawab. Pertama, ruang yang mengaharuskan kita bertanggung jawab secara spiritual. Kedua, ruang yang memberikan kita tanggung jawab secara sosial. Namun terdapat satu titik yang mempertemukan persimpangan jalan antar keduanya. Titik itu merupakan nilai-nilai universal yang ada pada Islam dan bangsa kita yaitu nilai penghormatan, toleransi, kemanusiaan, keadilan dan nilai-nilai baik lain nya.