news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Rendahnya Minat Matematika, Ancaman Nyata Menuju Generasi Emas 2045

Syarifuddin
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
6 Maret 2025 10:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Matematika kerap dianggap sebagai momok di kalangan pelajar Indonesia. Bagi sebagian besar siswa, matematika identik dengan rumus-rumus sulit, angka-angka membingungkan, serta soal-soal yang terasa jauh dari kehidupan nyata. Rendahnya minat belajar matematika ini bukan sekadar masalah akademik belaka, melainkan sebuah ancaman serius yang dapat menggagalkan cita-cita besar bangsa, yakni mewujudkan Generasi Emas 2045. Visi Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita besar Indonesia untuk melahirkan generasi yang unggul di usia 100 tahun kemerdekaan. Generasi ini diharapkan memiliki kecakapan intelektual yang tinggi, menguasai teknologi, serta mampu bersaing di tingkat global. Namun, bagaimana mimpi besar ini bisa terwujud jika literasi numerasi yang menjadi fondasi kemampuan berpikir logis dan analitis justru terabaikan?
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
Berdasarkan hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment) yang dirilis oleh OECD, kemampuan matematika siswa Indonesia terus-menerus berada di peringkat bawah. Dalam laporan terakhir, Indonesia menempati posisi ke-69 dari 81 negara dalam kemampuan matematika. Data ini mencerminkan lemahnya kemampuan siswa Indonesia dalam memahami konsep matematika, menerapkan logika numerik, serta menyelesaikan masalah yang membutuhkan pemikiran kritis. Rendahnya capaian tersebut tentu berkaitan erat dengan rendahnya minat siswa terhadap matematika. Banyak siswa menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang sulit dipahami dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ketakutan terhadap angka dan rumus ini bahkan muncul sejak pendidikan dasar, kemudian berlanjut hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga berdampak signifikan terhadap lemahnya kemampuan berpikir logis, sistematis dan analitis siswa.
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
Minat belajar matematika yang rendah tidak sepenuhnya salah siswa. Ada banyak faktor yang berkontribusi, salah satunya adalah metode pembelajaran yang monoton dan tidak kontekstual. Di banyak sekolah, matematika masih diajarkan secara konvensional: ceramah di depan kelas, menghafal rumus, dan mengerjakan soal tanpa memahami konsepnya secara mendalam. Siswa jarang diajak berdiskusi tentang bagaimana matematika sebenarnya berperan dalam kehidupan nyata, seperti dalam mengelola keuangan pribadi, menganalisis data sederhana, atau memahami pola di lingkungan sekitar. Ketika matematika diajarkan sebagai sesuatu yang terpisah dari realitas sehari-hari, wajar jika siswa merasa terasing dan akhirnya kehilangan minat untuk belajara matematika.
ADVERTISEMENT
Mengapa matematika begitu penting dalam mewujudkan Generasi Emas 2045? Karena matematika bukan sekadar soal angka, melainkan fondasi berpikir logis, kritis, dan analitis. Di era yang dipenuhi oleh data, teknologi canggih, dan tantangan global yang kompleks, kemampuan bernalar matematis menjadi modal penting bagi generasi muda. Industri masa depan yang berbasis kecerdasan buatan (AI), data science, ekonomi digital, hingga teknologi kesehatan, semuanya membutuhkan kemampuan numerasi yang kuat. Generasi yang gagap angka dan logika akan kesulitan bersaing, baik di pasar tenaga kerja lokal maupun global. Tanpa literasi numerasi yang baik, mimpi besar Generasi Emas 2045 bisa berujung sekadar slogan kosong.
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
Mengatasi rendahnya minat belajar matematika harus dimulai sejak pendidikan dasar. Cara mengajarkan matematika perlu direvolusi. Guru-guru harus dibekali dengan pendekatan yang lebih kreatif, seperti pembelajaran berbasis proyek, eksplorasi masalah nyata, hingga penggunaan teknologi yang dekat dengan kehidupan siswa, seperti aplikasi edukasi interaktif. Selain itu, mindset tentang matematika juga perlu diubah. Alih-alih menekankan bahwa matematika adalah mata pelajaran yang harus dikuasai demi nilai rapor semata, siswa perlu diajak memahami bahwa matematika adalah alat berpikir yang akan membantu mereka memahami dunia dengan cara yang lebih rasional dan terstruktur.
ADVERTISEMENT
Dukungan dari keluarga juga penting. Orang tua sering kali memperkuat stigma negatif tentang matematika dengan mengatakan, “Dulu mama juga nggak suka matematika.” Sikap ini tanpa disadari membentuk pola pikir negatif pada anak. Sebaliknya, jika orang tua melibatkan anak dalam aktivitas numerasi sederhana sejak kecil, seperti menghitung uang belanja atau mengukur bahan saat memasak, anak akan melihat bahwa matematika itu nyata dan bermanfaat. Oleh karena itu perbaikan minat dan kemampuan matematika tidak bisa dibebankan hanya kepada sekolah dan guru. Perlu ekosistem pendidikan yang mendukung, mulai dari kurikulum yang relevan dengan tantangan zaman, pelatihan guru yang berkelanjutan, hingga keterlibatan dunia usaha dan industri dalam mendukung pembelajaran numerasi berbasis praktik nyata. Kebijakan pendidikan nasional juga perlu memberi perhatian lebih besar pada literasi numerasi. Jangan sampai fokus kebijakan hanya pada penguasaan teknologi digital tanpa memperkuat kemampuan dasar berpikir logis dan analitis.
ADVERTISEMENT