news-card-video
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

TKA Pengganti UN: Solusi Evaluasi Pendidikan atau Sekadar Ganti Baju

Syarifuddin
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
7 Maret 2025 13:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Pendidikan di Indonesia selalu menjadi topik yang tak pernah sepi perdebatan. Salah satu kebijakan terbaru yang memancing diskusi panjang adalah penghapusan Ujian Nasional (UN) yang telah lama menjadi tolok ukur kelulusan siswa di Indonesia. Sebagai gantinya, pemerintah memperkenalkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang disebut-sebut lebih relevan dengan kebutuhan pendidikan masa kini. Namun, kebijakan ini memunculkan tanya, apakah TKA benar-benar solusi yang dibutuhkan, atau hanya sekadar ganti baju yang tidak menyentuh akar persoalan pendidikan kita?
ADVERTISEMENT
Selama bertahun-tahun, UN dianggap sebagai momok menakutkan bagi siswa. Tekanan untuk meraih nilai sempurna membuat proses belajar di sekolah berubah fungsi menjadi sekadar persiapan menghadapi ujian akhir. Siswa didorong menghafal rumus dan teori demi mengejar angka, sementara kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah seringkali terabaikan. Kritik demi kritik mengalir, menyoroti bahwa UN tidak mencerminkan kemampuan sesungguhnya dari seorang siswa, apalagi jika mempertimbangkan ketimpangan kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
Dengan hadirnya TKA, pemerintah berupaya merespons kritik tersebut. TKA diklaim lebih adaptif, berfokus pada kemampuan esensial seperti literasi, numerasi, dan logika berpikir. Tidak lagi mengejar hafalan, tetapi mengukur kemampuan dasar yang relevan dalam kehidupan nyata. Konsepnya memang terdengar menarik. TKA diharapkan menjadi evaluasi yang lebih manusiawi, sekaligus mengurangi tekanan berlebih pada siswa. Format yang lebih fleksibel juga dinilai memberi ruang bagi sekolah-sekolah di daerah untuk menyesuaikan pelaksanaan sesuai kondisi masing-masing.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik konsep yang terlihat modern, bayang-bayang skeptisisme muncul. Sejarah kebijakan pendidikan kita menunjukkan bahwa pergantian nama atau format evaluasi seringkali tidak diiringi perubahan substansial. Dulu UN, lalu sempat berubah menjadi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), lalu kini TKA. Polanya mirip: menghapus sistem lama yang dianggap bermasalah, menggantinya dengan sistem baru yang diklaim lebih baik, namun eksekusinya kerap setengah hati. Jika pola ini terulang, TKA hanya akan menjadi formalitas baru, sementara persoalan mendasar pendidikan tak pernah tersentuh.
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
Kualitas pengajaran yang belum merata di seluruh Indonesia menjadi salah satu akar persoalan yang lebih krusial daripada sekadar format ujian. Ketika metode mengajar di kelas masih didominasi ceramah satu arah dan hafalan menjadi strategi utama, maka apapun nama ujiannya, hasilnya tetap sama. Siswa tidak didorong untuk berpikir kritis, bertanya, atau mengeksplorasi gagasan baru. Dalam konteks ini, TKA berpotensi menjadi sekadar ujian hafalan dalam kemasan berbeda.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan fasilitas pendidikan juga menjadi tantangan tersendiri. TKA yang digadang-gadang berbasis teknologi, jelas membutuhkan infrastruktur yang memadai. Padahal, hingga hari ini, masih banyak sekolah di daerah pelosok yang kesulitan mengakses internet stabil atau bahkan kekurangan perangkat komputer. Bagaimana mungkin evaluasi berbasis kemampuan berpikir kritis bisa berjalan optimal jika fasilitas dasar pendidikan saja belum merata?
Ilustrasi gambar dari www.shutterstock.com
Lebih dari itu, persoalan sosialisasi dan kesiapan teknis TKA juga patut dikritisi. Banyak guru mengaku bingung karena belum sepenuhnya memahami format baru ini. Apakah TKA akan seragam secara nasional, atau diserahkan sepenuhnya kepada sekolah? Apakah evaluasinya mengacu pada standar kompetensi nasional, atau masing-masing daerah punya standar sendiri? Ketidakjelasan ini mencerminkan lemahnya perencanaan kebijakan pendidikan kita, yang kerap terburu-buru diterapkan tanpa melibatkan para pelaku pendidikan secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, esensi pendidikan yang berkualitas tidak ditentukan oleh jenis ujiannya semata. Pendidikan yang baik lahir dari proses belajar yang menghargai rasa ingin tahu, mendorong siswa berpikir kritis, serta mengasah kemampuan analisis dan kreativitas. Jika hal-hal fundamental ini tidak dibenahi, maka TKA hanyalah episode baru dalam drama panjang kebijakan pendidikan instan di Indonesia.
Maka, bukan soal apakah TKA lebih baik dari UN atau tidak. Pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah pendidikan kita benar-benar bergerak ke arah yang lebih bermakna? Atau justru kita terjebak dalam lingkaran ganti nama dan format tanpa berani menyentuh akar persoalan yang sebenarnya? Pendidikan tidak bisa dibenahi hanya dengan mengganti ujian, tetapi dengan merombak seluruh ekosistemnya, mulai dari kurikulum, metode mengajar, hingga cara kita memandang arti belajar itu sendiri.
ADVERTISEMENT