Konten dari Pengguna

Perjalanan Eksistensial dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang

Intan Aura Wijaya
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13 Oktober 2024 13:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Intan Aura Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Iwan Simatupang adalah salah satu penulis dan sastrawan penting dalam sejarah sastra indonesia, yang dikenal karena karyanya yang mengusung tema-tema eksistensialisme dan filosofis. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah "Ziarah", yang diterbitkan pada tahun 1969. Novel ini menempatkan posisi sebagai pelopor sastra modern di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu karya sastra Indonesia terbaik, bahkan memenangkan Hadiah Sastra Nasional pada tahun 1970. Novel ini merupakan salah satu karya sastra Indonesia yang mendalam dan penuh makna filosofis, terutama karena tema sentralnya yang berfokus pada perjalanan eksistensial. Di dalam novel ini, tokoh utama yang tidak disebutkan namanya mengalami perjalanan hidup yang mengungkap pertanyaan mendasar tentang eksistensi manusia, kematian, dan makna hidup.
ADVERTISEMENT
Novel "Ziarah" bercerita pada seorang tokoh penziarah, seorang pria yang tidak disebutkan namanya, yang menjalani pencarian eksistensial setelah kematian istrinya. Kematian istrinya menjadi titik awal bagi penziarah untuk merenungkan kehidupan, kematian, dan ketidakpastian eksistensial. Kematian, dalam hal ini, mengonfrontasi penziarah dengan absurditas kehidupan—bahwa meskipun hidup terus berjalan, kematian adalah takdir tak terhindarkan yang membawa makna kehidupan ke dalam pertanyaan besar. Dalam filsafat eksistensialisme, peristiwa seperti kematian sering kali memicu perenungan mendalam tentang hakikat hidup dan keberadaan manusia. Bagi penziarah, dunia tiba-tiba tampak tidak bermakna dan penuh dengan absurditas, mengarahkan dirinya pada refleksi filosofis yang mendalam.
Sepanjang novel, penziarah terlibat dalam perjalanan fisik dan batin. Ia bertemu dengan orang-orang yang hidup dalam dunia yang tampak absurd dan kacau, namun semua orang itu menjalani kehidupan mereka tanpa mempersoalkan makna terdalam dari eksistensi mereka. Di mana orang lain tampaknya hidup tanpa mempertanyakan makna eksistensi mereka. Penziarah sepenuhnya bebas untuk memilih jalannya sendiri, namun kebebasan ini datang dengan perasaan terisolasi. Kebebasan ini menuntutnya untuk menghadapi tanggung jawab penuh atas pilihannya, termasuk bagaimana dia akan memberi makna pada hidupnya sendiri. Melalui berbagai pertemuan dengan karakter-karakter lain, penziarah menyadari bahwa makna hidup tidak diberikan dari luar, melainkan harus ditemukan atau diciptakan sendiri.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari pencarian eksistensialnya, penziarah menolak nilai-nilai dan norma-norma konvensional yang umumnya diterima masyarakat. Ia tidak mencari jawaban atas kehidupannya melalui agama, moralitas tradisional, atau kebudayaan mainstream. Sebaliknya, ia merasakan bahwa hidup dan keberadaan manusia harus dihadapi dalam kondisi keterasingan dan kebebasan, tanpa tergantung pada sistem nilai eksternal. Menurutnya makna kehidupan hanya bisa ditemukan melalui pengalaman personal dan refleksi diri.
Di akhir novel, perjalanan eksistensial penziarah mengarah pada penerimaan bahwa kehidupan tidak memiliki makna objektif yang melekat. Ia belajar menerima absurditas kehidupan dan menemukan cara untuk hidup di dalamnya tanpa keputusasaan. Ia menyadari bahwa banyak aspek dalam hidup tidak akan pernah memiliki makna yang jelas atau ditetapkan. Melalui proses ini, ia mampu menerima absurditas kehidupan dan berdamai dengan kondisi tanpa kepastian. Penerimaan ini merupakan inti dari eksistensialisme, di mana individu harus menghadapi kenyataan bahwa hidup sering kali tidak memiliki tujuan yang jelas, tetapi mereka tetap bisa menemukan kepuasan dalam menjalani perjalanan itu sendiri. Ini mirip dengan konsep eksistensialisme Albert Camus tentang "pemberontakan" terhadap absurditas, di mana seseorang tidak tunduk pada keputusasaan, melainkan melanjutkan hidup dengan penuh kesadaran.
ADVERTISEMENT
Dalam novel ini, Iwan Simatupang mengajak pembaca untuk merenungkan isu-isu eksistensial yang mendalam, seperti makna kehidupan, kematian, dan absurditas. Dengan membawa pembaca pada perjalanan tokoh penziarah, ia ingin pembaca juga memikirkan kondisi eksistensial mereka sendiri dan bagaimana mereka memberi makna pada hidup mereka. Dengan menekankan pentingnya penerimaan terhadap realitas kehidupan yang absurd. Ia ingin menunjukkan bahwa meskipun hidup tidak selalu memiliki tujuan yang jelas, seseorang dapat menemukan kepuasan dan makna dalam perjalanan mereka sendiri, dengan cara melanjutkan hidup meskipun dihadapkan pada kesulitan.