Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerpen Telepon Terakhir
20 November 2022 19:32 WIB
Tulisan dari Intan Dafri Hamzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku akan selalu mencintaimu dalam setiap helaan napasku, tidak ada hari tanpa memikirkanmu. Tolong angkatlah telepon ibu agar ibu tenang mengetahui kabarmu, anakku.
ADVERTISEMENT
Bagi seorang ibu, anak adalah segalanya, tak peduli apapun ia tetap mencintai anaknya. Ia rela mengorbankan seluruh hidupnya untuk anak-anaknya. Namun, bagi seorang anak, ibu bukanlah segalanya, mereka memiliki dunia yang menurut mereka lebih penting dari hangatnya kasih sayang seorang ibu di dalam rumah.
Rumah yang merupakan sebuah bangunan tua, yang dibangun oleh cinta dua insan, dikokohkan oleh air keringat, dijaga dengan air mata. Namun ternyata sangat mudah dihancurkan oleh seorang anak, anak yang membuat bangunan itu rapuh, hingga menjadi debu lantas berterbangan menyelimuti dua buah batu nisan yang telah bisu.
Sebegitu kejam, tapi siapa yang harus disalahkan? anak, karena dia masuk pada pintu yang salah atau justru orang tua, sebab membiarkan anak memasuki pintu tersebut?
ADVERTISEMENT
Malam ini seperti malam sebelumnya, Ibu Rukmini sedang gelisah. Kembali matanya menatap jam yang melingkar di dinding. Ia tidak akan bisa tenang bila anaknya belum pulang selarut ini. Kakinya melangkah mendekati jendela, melihat kegelapan malam dari dalam rumah tuanya, ia sangat menunggu suara sepeda motor.
Benar saja, tak lama terdengar suara sepeda motor, Ibu Rukmini mengintip kembali dari jendela kacanya, ternyata itu hanya sepeda motor asing yang lewat depan rumah.
Ibu Rukmini terdiam cukup lama, pikirannya melayang mengingat saat-saat dulu anaknya yang selalu berada di rumah, selalu mendengar nasihat ibunya, namun semenjak ia menganal teman-temannya, semuanya berubah.
"Uhuk, uhuk, uhuk," Ibu Rukmini sejak tadi terus saja terbatuk, tapi ia tak menghiraukan itu, ia hanya mengingat anaknya yang belum juga pulang.
ADVERTISEMENT
"Kenapa kau belum pulang, Nak?" ujar Ibu Rukmini menatap ke arah pintu. Setelah itu tubuh tua Ibu Rukmini berjalan mengambil sesuatu di atas meja, sebuah benda pipih yang berharap dapat menghubungkan ia dengan anaknya.
***
Tring, sejak tadi ponsel itu bergetar, menandakan ada telepon masuk, namun hanya diabaikan oleh sang empunya.
Tring, ponsel itu kembali bergetar untuk kesekian kalinya, kali ini ada yang mengambil ponselnya, namun setelah membaca nama 'Ibu' ia matikan panggilan itu sebelum mengangkatnya.
"Ayo gue taruh segini!" anak laki-laki itu menaruh beberapa lembar uang seratusan dan menaruhnya di atas meja, di antara tumpukan kartu.
"Yakin lo? Nanti kalah nangis," ujar salah satu temannya yang ada di sana.
ADVERTISEMENT
"Kurang ajar lo, nantangin gue, ayo cepat kocok kartunya!" suruh anak laki-laki itu sambil kembali meminum minuman beralkohol di tangannya.
Tring, ponsel itu kembali bergetar, karena terlanjur kesal, anak laki-laki itu langsung mematikan teleponnya dan menaruh ponselnya ke atas meja sedikit kasar hingga menimbulkan bunyi.
"Siapa sih bro? Angkat aja kali!" ujar temannya yang lain.
"Bacot lo, gak penting, udah ayo lanjutin!" ujarnya.
Anak laki-laki itu melanjutkan permainan kartu bersama teman-temannya dan mengabaikan panggilan telepon dari kontak yang bertuliskan 'Ibu'.
***
Alasan anak-anak lebih memilih teman dari pada keluarga?
Ibu Rukmini menulis itu dalam papan ketik di ponselnya, berharap situs tercanggih dapat membantunya mencari solusi dari permasalahan yang ia hadapi.
ADVERTISEMENT
Tangan tua itu terus menggesek layar ponselnya membaca setiap tulisan yang ada di sana.
Brakkk, suara itu mengalihkan fokus ibu Rukmini. Ia menaruh benda pipih itu ke atas meja lalu berjalan keluar dari kamarnya.
"Tio, kau ingin ke mana?" tanya Ibu Rukmini pada anaknya.
"Main."
"Tadi subuh kau baru pulang, sekarang sudah ingin main lagi? Istirahatlah dulu, nak!" ujar ibu Rukmini, "Ibu juga sudah masak makanan kesukaan Tio, mari kita makan bersama. Kita kan sudah tidak pernah makan bareng lagi, kapan lagi kita bisa makan bareng kalau bukan hari ini," Ibu Rukmini terus membujuk anak laki-lakinya itu, namun tidak ada tanggapan sedikitpun dari sang anak.
"Oiya, nanti setelah makan ibu minta ditemani sama Tio ke makam bapak, ibu kangen pergi berdua dengan Tio, nanti kita Ziarah ke ...."
ADVERTISEMENT
"Ah ibu berisik, udah Tio mau berangkat dulu," belum selesai ibu Rukmini berbicara, anak laki-lakinya itu sudah memotong ucapannya. Tio akhirnya melangkah tanpa mencium tangan sang ibu. namun tiba-tiba ponselnya berdering, anak laki-laki itu langsung menatap layar ponselnya, ada panggilan dari nama yang tertulis 'Ara Sayang'.
Tio mengangkat panggilan telepon itu, "Hallo sayang ... " Tio terus berbicara bersama kekasih hatinya itu dengan suara yang pelan dan lembut, berbeda sekali dengan Tio yang berbicara pada Ibu Rukmini. Setelah selesai mengobrol di telepon, Tio ingin lanjut melangkah keluar rumah, namun tiba-tiba ponselnya kembali berdering menampilkan nama 'Aldo'.
Anak laki-laki itu langsung mengangkat panggilan telepon dari temannya, ia mengobrol selama lima menit bersama orang yang bernama Aldo, setelah selesai ia memasukan ponselnya ke dalam saku celananya.
ADVERTISEMENT
Tanpa anak itu sadari, wanita yang telah melahirkannya meneteskan air mata di balik tubuhnya, ia sedih bilamana melihat setiap telepon yang masuk di ponsel anaknya selalu diangkat namun mengapa satupun telepon darinya tak pernah diangkat, "Tio tunggu!" Ibu Rukmini berjalan mengejar Tio yang sudah sampai di teras rumah.
"Apa lagi sih, Bu? Tio buru-buru nih," bentak Tio.
"Nak, ponselmu selalu hidupkan ya! nanti saat ibu telepon diangkat, biar ibu tenang kalau sudah tau kabar Tio baik-baik saja."
"Iya, Bu," ujar Tio malas.
"Tapi Tio kenapa tidak pernah angkat telepon, Ibu? Telepon teman-teman cepat sekali diangkatnya?" ujar ibu Rukmini, "Tio dengarkan ibu baik-baik, bertingkahlah yang baik, nak. Ibu tidak mau Tio jadi anak nakal. Kemarin ada tetangga yang bilang kalau liat Tio main judi sambil mabuk-mabukan, apa itu benar?"
ADVERTISEMENT
Tio tidak menjawab apapun, wajahnya seperti tidak peduli dengan ucapan sang ibu yang terus menasihatinya, "Tio, Ibu gak mau denger hal itu lagi, ibu mau ... "
"Ah ibu banyak omong, Tio itu udah gede, Tio gak perlu nasihat Ibu, Tio tau mana yang baik dan buruk buat diri Tio," bentak Tio.
Ibu Rukmini hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap anaknya yang sangat tidak sopan, "Selama ibu hidup, ibu akan selalu ngomong seperti ini, ibu akan selalu menasihati kamu, kehidupan kamu itu kehidupan ibu juga, kamu mati ibu juga bisa mati, bagitupun sebaliknya. Karena ada ikatan batin diantara kit," Ibu Rukmini menghentikan ucapannya ketika melihat Tio melenggang pergi dari hadapannya, dilihatnya punggung sang anak yang melewati pintu gerbang semakin menjauh.
ADVERTISEMENT
Air mata kembali mengalir dari mata berkerut Ibu Rukmini, "Uhuk, uhuk, uhuk," Ibu Rukmini kembali terbatuk dan sekarang di tambah rasa sesak di dadanya, "Uhuk, uhuk, uhuk," wanita tua itu terkejut melihat darah yang keluar dari mulutnya.
***
Tring, ponsel Tio kembali bergetar untuk yang kesekian kalinya sejak tadi, panggilan telepon dari nama kontak bertuliskan 'Ibu' kembali ia abaikan.
"Woy nyokap lo tuh, Angkat dulu kali, siapa tau penting," ujar Aldo, teman Tio.
"Udah pasti gak penting, ayo lanjut!" Tio dan teman-temannya kembali lanjut bermain kartu. Beberapa saat kemudian ponsel Tio kembali bergetar, dengan malas Tio melihat nama yang tertera di sana, ternyata dari penelepon yang berbeda, itu adalah kekasihnya "Hallo sayang kamu di mana? iya aku lagi sama teman-teman nih. Oh kamu minta jemput? oke tunggu di situ nanti aku datang, dah sayang love you," sekiranya itulah yang dapat didengar oleh teman-teman Tio.
ADVERTISEMENT
Tio beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil jaket serta kunci motor Aldo, "Gue pinjem motor lo bentar ya, mau jemput Ara," ujar Tio sembari menaiki motor besar milik Aldo.
"Giliran nyokap lo telepon gak diangkat, giliran pacar lo langsung diangkat, anak durhaka emang lo," ujar Aldo.
"Bodo amat, gue cabut ya!" Tio akhirnya menjalankan motor itu pergi untuk menjemput kekasih hatinya.
***
01.00
Tio pulang ke rumah dalam keadaan yang sedikit mabuk, kakinya berjalan memasuki gerbang rumah, pria itu tak sadar bahwa di gerbang rumah ada sesuatu yang melambai hingga menyentuh wajahnya.
Anak laki-laki itu membuka pintu rumah, ia tersenyum, bersyukur hari ini ibu tak berdiri depan pintu seperti malam-malam sebelumnya yang selalu menunggu ia untuk pulang. Tio lega akhirnya ia pulang tidak disambut dengan berbagai pertanyaan dari Ibu Rukmini
ADVERTISEMENT
Anak laki-laki itu berjalan memasuki kamarnya dan mengunci pintunya, agar Ibu Rukmini tidak bisa masuk ke dalam dan menganggu tidurnya saat adzan subuh berkumandang. Malam ini entah mengapa suasana terasa sepi, rumah ini terasa kosong, tapi Tio tak begitu memperdulikan hal itu, ia langsung merebahkan dirinya di atas kasur dan tidur.
Saat pagi tiba, Tio terbangun, diliriknya jam yang sudah menunjukan pukul 2 siang. Ia baru ingat kalau ia ada janji mengantar kekasihnya pergi, "Gue telat jemput Ara, aduh ibu kenapa gak bangunin gue sih," Tio segera keluar kamarnya dan bersorak memanggil sang Ibu, "IBU!" Tio sudah tersulut emosi karena sang ibu tidak membangunkannya hingga jam 2 siang "IBU!"
Kaki Tio melangkah ke kamar Ibu Rukmini dan tak melihat ada siapapun di sana, ia berjalan mengelilingi setiap sudut rumah untuk mencari Ibunya, namun tetap saja Ibu Rukmini tidak terlihat di rumah ini. Tio bergegas mengambil ponselnya dan melihat banyak telepon masuk dari ibunya kemarin, hari ini belum ada paggilan telepon dari siapapun.
ADVERTISEMENT
Tangan Tio dengan lincah mencari kontak di ponselnya yang bertuliskan 'Ibu' lalu ia menelepon nomor itu, tapi tidak diangkat.
Tio mencobanya berkali-kali, tetap nihil. Ibu Rukmini tidak mengangkat telepon dari Tio, anak laki-laki itu terlihat khawatir, ia takut ada sesuatu yang terjadi namun ia tidak tau, jantung Tio sudah berdetak hebat sejak tadi. Tio terus mencoba menghubungi ibunya namun tetap tidak diangkat. Sekarang Tio sadar betapa ibunya khawatir bila Tio tak mengangkat telepon.
KRINGGG, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Ibu Rukmini, Tio berusaha mencari di mana suara itu. Bunyi dering itu terdengar semakin mendekat.
"Tio."
Tio yang mendengar suara itu menoleh, ia melihat Ibu Lastri yang merupakan tetangganya tengah berdiri di belakangnya sambil memegang ponsel Ibu Rukmini.
ADVERTISEMENT
"Bu Lastri, ini ponsel ibu saya bukan?" Tio menoleh kiri dan kanan seolah mencari satu sosok yang hilang, "Ibu saya mana?" tanya Tio.
"Tio, sejak kemarin sore, ponsel ini ada di rumah saya, malam kemarin saya berusaha menghubungi kamu tetapi tidak diangkat," ujar Ibu Lastri, wanita itu menyodorkan benda pipih itu kehadapan Tio, "Ini simpan baik-baik kenangan ibumu."
"Kenangan apa? Ibu saya ke mana?" Tio kembali melihat setiap sisi rumah dan bersorak memanggil ibunya "IBU!"
"Nak, Tio!" Ibu Lastri kembali mendekat pada Tio, "Yang sabar ya, Ibu Rukmini telah meninggal dunia, tepat jam 2 siang kemarin."
Tio tertawa renyah, ia mengira bahwa Ibu Lastri sedang berbohong, "Tidak mungkin, siang kemarin ibu saya masih terus menelepon, saya akan perlihatkan!" Tio membuka ponselnya dan melihat daftar telepon tidak di angkat, kemarin Ibu Rukmini meneleponnya hingga 8 kali dan telepon terakhir ibunya tepat pukul 14.00, itu artinya.
ADVERTISEMENT
"Saya tahu ini berat buat kamu Tio, kehilangan sosok Ibu yang sangat baik," Ibu Lastri menepuk pundak Tio yang terdiam, "Kami telah menunggu kamu cukup lama untuk datang kemarin, kata Pak Ustaz tidak baik jenazah dibiarkan berlama-lama tidak dikubur, jadi kami memutuskan untuk mengubur secepatnya jenazah Ibu Rukmini."
Tio menggelengkan kepalanya, "Ini semua bohong, kemarin ibuku masih ada, masih sehat. Gak mungkin ibu pergi. GAK MUNGKIN!" Tio berlari ke kamar ibunya, membuka lemari sang ibu dan menciumi semua baju kesayangan ibunya, air mata sudah membasahi seluruh wajahnya.
Tio kembali berlari menuju meja makan dan melihat masakan ibu kemarin yang tidak ia makan, dengan posisi yang masih sama, Tio memakan lahap semua makanan yang ada di meja makan, "Bu, Ibu di mana? Ibu liatkan Tio makan masakan Ibu," Tio segera menghapus air matanya dan berlari keluar pintu, dilihatnya sekeliling rumah sudah dipenuhi dengan bendera kuning, sebuah tenda berdiri tegak di depan rumah.
ADVERTISEMENT
Tio memaki dirinya yang bodoh, semalam ia pulang bahkan ia tak menyadari hal ini, "IBU!" Tio berlari menarik semua bendera kuning dan merobeknya menjadi helaian kertas yang tak berarti.
~ Aku menyesal karena kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupku dengan keadaan yang tak pernah terlintas di benakku. Menyesal aku mengabaikan telepon terakhirmu, takkan lagi kudengar suaramu dan semua tentangmu untuk selamanya. Sekarang hanya tinggal mengiklaskan semua dan mulai membenahi kembali yang telah hancur ~TIO