Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Egois: Kritik Naskah Badai Sepanjang Malam karya Max Arifin
22 Maret 2024 20:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Intan Dafri Hamzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Intan Dafri Hamzi
"Aku mau pindah dari sini!" ucap Jamil yang menganggap pergi dari masalah adalah sebuah penyelesaian terbaik. Jamil seorang guru SD di Klaulan, Lombok Selatan, berumur 24 tahun. Dia mengharapkan hidup di pedesaan yang jauh dari kebisingan, sunyi di desa, dengan penduduknya yang polos dan sederhana. Manusia yang belum dipoles sikap sikap munafik dan pulasan belaka.
ADVERTISEMENT
Namun kenyataanya saat ia pindah ke desa, ia tidak mendapatkan kehidupan yang menjadi impiannya, ia ingin pindah lagi ke tempat lain. Saenah, istri Jamil berusaha mengingatkan bahwa dimanapun kita tinggal masyarakat itu akan selalu punya konflik, sering pula konflik dengan sifat sifat manusia yang paling dibutuhkan, yang justru ditekan oleh masyarakat itu sendiri.
Perdebatan sempat berlangsung antara sepasang suami istri yang memperlihatkan pola kehidupan kota. Dengan kata lain, mereka berdua memang berasal dari kota. Tampak pada cara dan bahan pakaian yang mereka kenakan pada malam hari percakapan itu. Mereka juga terlihat sebagai orang baik-baik. Hanya idelisme menyala-nyala yang menyebabkan mereka berada di desa terpencil itu.
Lama berdebat, Saenah terus menyadarkan Jamil atas keegoisan pikirannya. apakah kau menyerah dalam hal ini? Ketika kau melangkahkan kakimu memasuki desa ini terlalu banyak yang akan kausumbngkan padanya, ini harus kauakui. Tapi kini akuilah kau menganggap desa ini terlalu banyak meminta dirimu. Inilah resiko hidup di desa. Seluruh aspek kehidupan kita disorot. Sampai sampai soal pribadi kita dijadikan ukuran mampu tidaknya kita bertugas. Dan aku tahu hal itu. Karena aku kenal kau.
ADVERTISEMENT
Aku sama sekali tak menyalahkan kau. Malah dim diam menghargai kau, dan hal itu sudah sepantasnya. Aku tidak ingin kau tenggelam begitu saja dalam suatu msyarakat atau dalam suatu sistem yang jelek namun telah membudaya dalam masyarakat itu. Di mana pun kau berada. Juga sekiranya kau bekerja di kantor. Kau pernah dengan penuh semangat menceritakan bagaimana novel karya Leon Uris yang berjudul QB VII.Di sana Uris menulis, katamu bahwa seorang manusia harus sadar kemanusiaannya dan berdiri tegak antara batas kegilaan lingkungannya dan kekuatan moral yang seharusnya menjadi pendukungnya. Betapapun kecil kekuatan itu. Di sanalah manusia itu diuji. Ini bukan kuliah. Aku tak menyetujui bila kau bicara soal kalah menang dalam hal ini. Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Dialog yang masih kurang. Jamil akhirnya memutuskan tetap tinggal di desa tersebut, sebagai seorang guru.
ADVERTISEMENT
Naskah berjumlah 1.982 kata ini, dapat merepresentasikan orang-orang yang egois, selalu semuanya harus sesuai keinginannya, bahkan alam pun harus bisa menyesuaikannya. Sifat-sifat ini marak terjadi pada zaman sekarang ini.
Di kampus, di sekolah, di rumah, di tempat bermain, di tempat kerja, bahkan di tempat umum kita sering menemukan orang berwatak seperti ini. Mereka yang selalu memprioritaskan kebutuhan mereka sendiri. Mereka yang selalu menjaga fokus pembicaraan hanya pada diri mereka sendiri. Mereka berpikir pendapat mereka adalah satu-satunya persepsi yang benar. Orang yang egois, membangun dunia mereka di sekitar nilai dan pendapat mereka sendiri. Mereka tidak ingin memperluas pola pikir mereka. Mereka hanya ingin meyakinkan Anda mengapa mereka benar dan Anda salah.
ADVERTISEMENT
Naskah ini singkat. Namun, karena singkat pembaca dibuat tidak paham dengan alur ceritanya yang tiba-tiba sudah ending saja. Pembaca akan berpikir ekstra dari hasil bacaan singkat itu, keterkaitan antara naskah tersebut dengan judul "Badai Sepanjang Malam" Tapi ketika kita baca ulang, kita akan paham makna sebenarnya dari judul tersebut.
Karena sangat singkat penulis tidak mecantumkan unsur lain yang bisa digunakan dalam pementasan atau tidak menjelaskan detail, semisal pergerakkan tokoh dan suasana pada saaat dialog berlangsung. Tokoh dalam cerita hanya 3, ini bisa membuat penonton bila dipentaskan merasa bosan, sebab aktornya hanya sedikit dan itu-itu saja yang nongol di setiap adegan. Juga ada beberapa tipo pada naskah, seperti kata “bnyk” dan “harsus” yang seharusnya ditulis dengan benar yaitu, “banyak” dan “harus”.
ADVERTISEMENT
Namun, naskah ini tersusun rapih, tidak dibuat bertele-tele, butuh waktu sepuluh menit naskah tersebut sudah selesai dibaca. Naskah ditulis tanpa basa basi menjelaskan suasana dan hal lainnya menggunakan narasi. Jika naskah ini dipentaskan, maka para pemain drama dibuat bisa berkreasi lebih, atau menambahkan unsur-unsur lain yang membuat drama lebih hidup dan berwarna. Sebab Max Arifin penulis naskah tersebut, di beberapa bagian memberikan kebebasan itu. Naskah ini juga memberikan kita pengetahuan yang cukup luas, dengan memasukan penjelasan mengenai novel terkenal karya Leon Uris yang berjudul QB VII.
Kesimpulannya, naskah ini bisa dipentaskan di panggung teater, dan akan menarik bila dikreasikan lebih dengan menambahkan unsur kreatif lainnya, seperti penambahan tokoh masyarakat sekitar yang sebetulnya menjadi unsur permasalahan dalam dialog. Atau penambahan unsur penceritaan keasrian desa tersebut dan lain-lain sebagainya. Naskah tersebut ke depannya mempunyai potensi yang cukup baik untuk dipentaskan oleh aktor-aktor hebat Indonesia.
ADVERTISEMENT