Konten dari Pengguna

Menata Ulang Pajak Lintas Negara di Era Ekonomi Digital

Intan Fitria
Saya seorang mahasiswa aktif di Universitas Pamulang Jurusan Akuntansi Perpajakan
7 Mei 2025 18:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Intan Fitria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-penulisan-uang-teks-8927687/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-penulisan-uang-teks-8927687/
ADVERTISEMENT
Di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi ekonomi, transaksi lintas negara menjadi semakin mudah dan kompleks. Perusahaan multinasional kini dapat beroperasi di berbagai negara tanpa kehadiran fisik yang nyata. Sayangnya, sistem perpajakan internasional belum sepenuhnya mampu mengakomodasi perubahan ini, sehingga menciptakan celah bagi praktik penghindaran pajak melalui skema seperti profit shifting dan tax haven. Akibatnya, banyak negara, terutama yang sedang berkembang, kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan utama dalam perpajakan lintas negara adalah ketidakharmonisan kebijakan pajak antarnegara. Setiap negara memiliki kepentingan fiskal masing-masing, termasuk dalam menetapkan tarif pajak korporasi yang kompetitif. Kondisi ini menciptakan "perlombaan ke dasar" (race to the bottom), di mana negara-negara bersaing menurunkan tarif pajak untuk menarik investasi asing. Namun, strategi ini justru dapat menggerus basis pajak global dan memperlebar ketimpangan ekonomi antarnegara.
Organisasi internasional seperti OECD dan G20 telah berupaya mencari solusi melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dan pengenalan pajak minimum global. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa perusahaan membayar pajak di negara tempat mereka menghasilkan keuntungan, bukan hanya di tempat mereka mendirikan entitas hukum. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah progresif untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan seimbang.
ADVERTISEMENT
Namun, implementasi kebijakan global tersebut tidaklah mudah. Banyak negara, khususnya negara berkembang, masih menghadapi tantangan kapasitas administrasi pajak yang rendah dan keterbatasan dalam mengakses informasi keuangan lintas yurisdiksi. Di sisi lain, negara-negara dengan rezim pajak rendah atau bebas pajak cenderung menolak kerja sama karena khawatir kehilangan keunggulan kompetitifnya. Ketimpangan ini menunjukkan pentingnya kerja sama internasional yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga politik.
Pajak lintas negara juga sangat relevan dalam konteks ekonomi digital. Perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Amazon, dan Facebook dapat memperoleh pendapatan besar dari negara-negara tertentu tanpa harus membayar pajak sesuai proporsi aktivitas ekonominya di negara tersebut. Dalam konteks ini, pembentukan kerangka pajak digital yang adil dan inklusif menjadi agenda mendesak. Negara berkembang perlu dilibatkan secara aktif dalam merumuskan regulasi agar kepentingannya tidak terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan ekonomi digital yang tumbuh pesat, memiliki kepentingan besar dalam pembenahan sistem pajak lintas negara. Pemerintah harus aktif dalam forum-forum internasional untuk memperjuangkan kebijakan yang adil, sekaligus memperkuat sistem perpajakan dalam negeri. Modernisasi administrasi perpajakan, peningkatan transparansi, serta kerja sama bilateral dan multilateral dalam pertukaran data menjadi langkah penting yang perlu terus didorong.
Pada akhirnya, reformasi pajak lintas negara bukan sekadar soal meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga soal menciptakan keadilan ekonomi global. Dunia membutuhkan sistem perpajakan yang dapat menyesuaikan diri dengan dinamika ekonomi modern, tanpa mengorbankan kepentingan negara-negara kecil dan berkembang. Pajak yang adil adalah fondasi bagi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif bagi semua.